8. Temple dr La Sybill

7 3 1
                                    


Bahkan sampai sosok Tio sama sekali menghilang dari pandangan ditelan kerumunan lalu-lalang para pengunjung museum, Deva masih berdiri dengan wajah kaku. Baru tersadar setelah aku menyentuh lengannya sekilas.


"Aku akan menelpon ibu. Keterlaluan sekali mengirim Tio untuk memata-matai kita. Apa maksudnya?" Ia mengeluarkan ponsel, menekan-nekan penuh emosi. Aku bergeming pasrah.


"Halo, Ibu?" sapanya lima detik setelah ponsel menempel pada daun telinga. "Untuk apa ibu mengirim Tio untuk memata-mataiku dan Hani? Apa dia tidak punya pekerjaan lain?" 


Suasana diliputi ketegangan, aku bersabar menanti Deva bercakap dengan ibunya. Beberapa detik kemudian, Deva menutup sambungan begitu saja, tanpa kata penutup. 


"Sudahlah, mulai sekarang kita harus hati-hati. Ibu sepertinya mulai mencium adanya ketidakberesan dengan pernikahan kita."


Aku membekap mulut, ngeri. "Dari mana ibumu tahu?"


Deva mengangkat bahu sekilas sebagai jawaban, lalu kami sama-sama bergelut dengan pikiran masing-masing.


Hingga tiba-tiba, Deva merangkulku--lagi.


"Hey, apa-apaan?" Kali ini aku mengibaskan lengannya menjauh secara terang-terangan. Setengah memasang kuda-kuda, jika sekiranya Deva hendak melakukan hal yang tidak-tidak.


"Dengar, kita harus lebih mesra! Bagaimana kalau diam-diam Tio memang menguntit kita? Atau mungkin mata-mata ibuku yang lain?" Deva memutar pandangannya memindai sekitar berlagak mencari-cari. Aku yakin ia hanya ingin menakutiku dengan bersikap berlebihan.


"Sekarang, ayo jalan. Bersikaplah seperti kita ini adalah sepasang pengantin baru yang sedang dimabuk asmara." Kalimatnya lebih seperti perintah.


Apa katanya? Pengantin baru yang sedang dimabuk asmara? Bagaimana caranya? Bergandengan sepanjang waktu kah?


Tidak!


Sekali lagi, aku berkelit dari tangannya yang berusaha menjangkauku. Kami sama-sama terlihat kesal.


"Rasanya tidak perlu seperti itu! Atau jangan-jangan ... kamu hendak mengambil kesempatan dalam kesempitan?" ujarku menyipit penuh kecurigaan.


"Dengarkan apa kataku. Kamu tidak mengerti siapa ibuku." Kekeuh, Deva meraih tanganku dan mencengkeramnya erat seakan takut sekali aku melepaskan diri. Sebelum aku sempat melawan, ia segera menarikku menuju keluar.


Pasrah, merasa tak ada gunanya menghindar. Semakin lama, genggaman tangannya pun mengendur dan ... entah sengaja atau karena kedinginan, beberapa kali ia meremas tanganku sekilas. Detik-detik singkat itu membuat sesuatu menari-nari di perutku, selain hatiku yang mendadak diliputi kehangatan. 

(Bukan) Pernikahan CinderellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang