DUDA BARU
Sejak kedatangan penghuni baru di rumah yang juga baru selesai di bangun, di samping rumahku itu, banyak ibu-ibu dari komplek belakang, sering hilir mudik di dekat sini. Entah itu sekadar lewat dan membeli sotonya Dek Aya, atau memang sengaja berkunjung untuk pura-pura ngobrol denganku. Kenapa aku bilang pura-pura, karena sebelumnya memang hampir tidak pernah ibu-ibu komplek belakang itu, bertamu kemari selain pas lebaran saja, itu pun tidak lama. Atau, paling basa-basi sedikit kalau pas berpapasan di gang atau di pasar. Oh, atau kalau pas ada undangan pengajian, selamatan dan lain-lain. Cuma itu. Tapi sejak duda baru itu jadi tetangga baru ku, ampun deh, mereka menjadi ramah sekali sama aku. Tak jarang mereka membawa sesuatu di mangkok sebagai alasan kemari. 'ni lho Jeng barusan aku bikin seblak, cobain deh.' atau 'aku baru coba resep baru ni Jeng, menurutmu enak, nggak?' dan seterusnya dan seterusnya.
Anehnya, mereka tak pernah mau masuk ke dalam rumah jika dipersilakan. Semua memilih mengobrol di teras. Mata mereka tak henti melirik ke halaman samping rumah Duda baru yang belakangan ku ketahui bernama Mas Boni. Tak sengaja mendengar percakapan, sewaktu dia mendatangi Mas Hen yang sedang asik di kebun halaman depan.
Dia pernah datang memperkenalkan diri sebagai penghuni baru -- pindahan dari Jakarta. Menurut penuturannya, Mas Boni (kayak nama kucing ya) sengaja mengajukan diri sebagai Manager Produksi pabrik Boneka kota kecil ini. Perusahaan Boneka tempatnya bekerja memiliki dua pabrik, satu di Cikarang dan satunya di sini. Dia bilang ingin hidup baru dan menjauh dari hiruk pikuk kota besar selepas perceraiannya. Dia jual semua asetnya di Jakarta, setelah pembagian harta gono-gini, dia membeli tanah kosong di sebelah rumah ku itu, lalu membangunnya. Kebetulan juga pabriknya memang tidak jauh dari sini, hanya berjarak kurang lebih lima kilometer.
Dia hidup berdua saja dengan putri cantiknya yang baru berusia tujuh tahun. Pas, masuk SD ketika pindah kemari. Oya, dia dibantu asisten rumah tangga juga sih, untuk menjaga anaknya selama ia bekerja.
Kata ibu-ibu komplek belakang, Mas Boni itu ganteng banget, mirip Doni Damara. Buatku sih biasa saja, oke lah, manis, tapi kalau dibilang ganteng banget ya, tetep gantengan Suamiku. Tapi ini benar, bukan hanya aku, Dek Aya juga sama bilang begitu, Mas Boni memang manis, tapi bukan ganteng, jadi ibu-ibu itu saja yang lebay.
Cuma kadang aku ingin sekali Mas Boni dan Dek Aya bisa berjodoh. Sepertinya cocok. Mas Boni duda, dek Aya Janda. Satunya Manis, satunya cantik. Mas Boni kalem, Dek Aya anggun, meskipun sedikit kekanak-kanakan. Entah lah, di mataku sepertinya mereka itu klop. Tapi, sikap Dek Aya biasa-biasa saja pada Mas Boni. Matanya tidak berbinar cling seperti ibu-ibu itu komplek ketika melihat Mas Boni -- beberapa kali ia makan soto bersama anaknya di situ. Dek Aya tidak lantas mendadak senyum-senyum genit ketika berbalas sapa dengan Mas Boni. Pokoknya lain sekali dengan tingkah ibu-ibu komplek belakang. Lempeng saja begitu. Biasa-biasa saja.
Padahal kuperhatikan anaknya terlihat dekat dengan Dek Aya. Sering main ke sini. Dek Aya sering membantu, Helda, nama anaknya itu; mengambil buah kersen yang berwarna merah. Pernah juga membantunya mengerjakan PR di kios sotonya. Helda terlihat suka mengobrol dengan Dek Aya. Kalau sudah begitu, aku melihat Dek Aya keibuan sekali. Padahal Dek Aya belum dapat momongan selama menikah dengan mantan suaminya. Ah, sayang sekali, Dek Aya kelihatan biasa biasa saja pada Mas Boni. Mereka malah sering saling mengejek. Nyek-nyekan. Seperti kejadian suatu pagi, saat Mas Boni akan mengantar Helda berangkat ke sekolah.
"Ya ampun Mas Bon, masa itu badge sekolah Helda dijahit tangan gitu, mending kalau rapih."
Mas Boni menggaruk-garuk kepalanya, "anu Dek, si Mbok sudah pulang semalam ketika saya ingat ternyata badge seragamnya belum dijahit. Tanya-tanya orang juga tidak ada yang tahu di mana ada tukang jahit, jadi terpaksa saya jahit sendiri pakai tangan."
"Sudah bawa ke sini cepat, mumpung masih ada waktu, saya punya mesin jahit portable kecil. Untung belum sempat saya bawa pulang."
Aku terkekeh melihat hasil jahitan mas Boni. Silang-menyilang benangnya ngawur, njlujur tak jelas. Pokoknya acak-acakan. Belum lagi warna benang yang dipakainya kontras. Merah!
"Apa nanti nak Helda nggak terlambat sekolah, dek Aya?
"Nggak Mbak, masih sempat. Helda pernah cerita masuknya jam tujuh tiga puluh."Kami bertiga, aku, Mas Boni, Helda berdiri mengelilingi Dek Aya yang sigap mengambil cutter, mesin jahit portable (kecil banget seperti mainan) dan mencolokkan kabelnya ke listrik. Kemudian, dengan telaten tapi cepat Dek Aya mulai mendedel jahitan tangan Mas Boni. Sementara itu, Helda sibuk mengunyah roti tumpuknya dengan hanya berkaus singlet. Diam dan anteng. Tak sampai lima belas menit, badge sudah tertempel rapih. Dek Aya tersenyum puas melihat hasilnya.
"Wah boleh juga Dek Aya, itu kebetulan ada kameja sa-" Belum selesai Mas Boni bicara, Dek Aya sudah memotong.
"Aaiish nggak, nggak! Enak saja, jahitan saya mahal?
"Waduh, saya bayar berapa buat badge ini kalau begitu?"
"Sejuta!"
"Hah!"
"Serius?"
"Iya serius!"
"Ini pemerasan namanya!"
"Ya biar, kalau tidak mau, ya sudah saya dedel lagi nih."
"Waduh jangan!"
"Nggak bisa ditawar gitu?"
"Nawar berapa?"
"Sepuluh ribu."
"Ish miskin banget! Ya sudah bayar saya pakai es krim rasa coklat dan vanila," pungkas Dek Aya sambil mengedipkan sebelah matanya kepada Helda."Kok saya curiga, kalian berkomplot," kata Mas Boni tertuju pada Helda dan dek Aya. Matanya memicing.
"Mau saya dedel, nih!" Seru Dek Aya siap-siap dengan cutternya.
"Eh, jangan! Oke, es krim box dua rasa; vanila dan coklat, oke nanti pulang kantor sudah siap!"
Mas Boni berjalan menuju mobilnya sambil menunggu dek Aya membantu Helda memakai kembali seragamnya. Setelah Mas Boni menghilang, Helda tiba-tiba memeluk dek Aya.
"Makasih es krimnya ya, Tan," katanya dengan mata berbinar.
"Lho kok nggak makasih buat badge seragamnya?"
"Nggak Tan, es krimnya aja!" Teriaknya sambil melambai dan berlari menyusul ayahnya.
Aku merinding lihat pemandangan ini."Lho Mbak kok berkaca-kaca, kayak mau nangis gitu?" tanya Dek Aya terarah padaku.
"Indah banget Dek, membayangkan seandainya kalian,"
"Tuh, mulai lagi deh, nggak, nggak, Mbak, masih takut saya urusan kuwan kawin, nanti saja kalau hati saya sudah tenang," potongnya tegas. Aku menarik nafas kecewa.
"Tapi kayaknya baik lho Mas Boni itu, seperti tipe yang nggak pernah aneh-aneh gitu," kataku masih usaha.
"Mbak jangan samakan semua laki-laki, sama baiknya seperti Mas Hen. Meskipun Mas Hen nyebelin," ujarnya tersenyum.
"Tapi feeling saya kok bilang Mas Boni juga baik, kayak mantep aja gitu orangnya, pasti cocok kalau sama Dek Aya,"
"Kalau mantep, kok bercerai hayo," goda Dek Aya.
"Ya, kan kita nggak tahu mereka cerai sebabnya apa, siapa tahu lantaran istrinya?"
"Mbak, ndak baik pagi-pagi ghibah," sahut Dek Aya mencubit lenganku.
"Astagfirullah."
"Tapi, memang ganteng sih, Dek,"
"Mbak!"
Aku terkekeh, lalu pergi melenggang dari kiosnya.***