Anggota baru?

1.9K 190 10
                                    

.

.

.

|Limerence;|

Ezra menaruh peralatan sehabis bersawah di belakang rumah, sebelum memasuki kamar pria itu lebih dulu memilih membersihkan diri.

Ternyata, hidup sebagai manusia seperti ini tak ada salahnya.

Cukup menyenangkan.

Pekerjaannya tak hanya melahap setiap dosa kemalasan para manusia.

  Setelah membersihkan diri dan hanya menggunakan handuk di pinggang, Ezra menatap anaknya yang terduduk anteng dengan benda persegi di atas meja.

"Itu apa Aciel?"

"Oh? Ini sebenarnya udah lama aku punya, tapi tetep aja aku ga ngerti."

Ezra melangkah mendekati anaknya. "Kamu banyak teman di sekolah, kenapa ga nanya. Pasti manusia lebih paham, atau tanya mamamu."

Kepala bermahkota coeklat kayu itu menggeleng. "Nanti aku di ledek, mama bilang aku ga boleh celakain mereka pake kekuatan."

"Gak bakal, coba aja tanya. Papa mau ke kamar dulu."

   Kaki jenjang kekar itu berjalan menuju pintu bercat putih dengan hiasan biru di depannya.

Setelah benda itu terbuka aroma manis dan nuansa menenangkan menyambutnya, tubuh kecil yang sedang berbaring dengan buku bacaan di tangannya itu menjadi objek paling indah.

Sepertinya Adelio baru saja bepergian karena masih menggunakan kaus kaki, tapi sudah berganti baju.

Sepertinya Adelio baru saja bepergian karena masih menggunakan kaus kaki, tapi sudah berganti baju

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Michael, jangan tengkurap. Perut kamu keteken, sayang."

Adelio terkesiap, ia buru buru duduk bersila menatap pria yang mulai kembali mengisi hatinya sedang memakai baju tanpa malu.

"Kenapa ga bilang kalau udah pulang? Lio bisa angetin makanannya."

"Michael. Nama kamu Michael, honey."

Adelio menunduk, salahnya juga karena sering menyebut dirinya sendiri. Kebiasaan dulu benar benar susah di ubah.

Pemuda manis itu berdiri mengambil handuk basah yang tersampir di atas kursi kayu tempat biasa ia berkaca, lalu berjalan ke arah balkon untuk menjemurnya.

Pelukan di pinggang ia terima sebelum Adelio sempat berbalik, elusan lembut di perutnya membuat ia terpejam.

"Udah mulai tumbuh, apa kamu kuat buat ngelahirin penerus aku?"

Adelio terdiam membisu, maniknya terbuka menatap hamparan langit. "Aciel punya kekuatan melebihi kamu, aku ga yakin sama yang ini. Kadang aku ngerasa kalau ada aura melebihi Aciel kalau lagi marah."

"Hm? Gapapa, aku bakal setia di samping kamu. Walaupun akhirnya di suruh memilih, aku lebih baik kehilangan bayi ini di banding aku kembali menunggu kamu ribuan tahun."

Kurva tipis itu membentuk senyuman manis. "Dia tetep anak kamu, Ezra."

"Namaku Belphegor."

"Tapi aku lebih suka nama manusia kamu, lebih keren."

"Nama itu ak--





"Kenapa pelukan gak ajak Aciel?"

Pemuda dengan pakaian santai itu berlari ke arah mereka, menyempil di antaranya untuk memeluk tubuh yang lebih kecil.

Perut lembut itu ia elus pelan. "Aciel mau adek cepet lahir, biar bisa di ajak tarung pake kekuatan papa."

Ezra tersenyum lebar. "Papa seneng, makasih nak, udah bertahan sampe sini buat nemenin papa nunggu mama."

"Hehe, soalnya Aciel sayang mama papa."

Ya, cinta memang tak ada yang salah. Perasaan itu muncul tiba tiba tanpa pemberitahuan. Semuanya kembali ke kehendak masing masing, bagaimana mereka mengekspresikan perasaan itu sendiri.

Hidup tergila gila oleh seseorang karena cinta tak selamanya baik, semua pasti ada konsekuensi yang harus di terima.

Layaknya Ezra yang harus bertahan dan setia menunggu kehadiran istrinya, walaupun tak pasti kapan reinkarnasi itu di wujudkan.

Tapi setiap perjuangan punya hasil yang indah, kita hanya perlu menunggu.

|Limerence;|

.

.

.

Tbc

Ini fiksi, jangan di anggep serius pliiiis.
Imajinasi gue tuh emang kadang suka berlebihan gini. 🙏

Limerence; ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang