🌺🌺🌺
“Kazuma! Apa yang terjadi?!”
Suara Hokuto terdengar samar di balik pintu kamar mandi yang tertutup. Kazuma memejamkan matanya, mencoba mengatur napas yang tersengal di tengah rasa sakit di dada. Kakinya bergetar saat berusaha berdiri dengan susah payah untuk mematikan kran air yang sejak tadi menyamarkan rintihnya. Puluhan kelopak bunga kosmos itu lekas dibuangnya ke tempat sampah, tentu saja Kazuma tidak ingin Hokuto tahu.
Setelah dirasa kondisinya sudah lebih stabil, Kazuma membuka pintu secara perlahan dan langsung disambut oleh wajah pias Hokuto yang sepertinya ingin mengetuk pintu lagi. Mata itu memerah dan bibirnya bergetar, membuat Kazuma merutuki dirinya sendiri yang begitu lemah di hadapan Hokuto.
“Maaf,” ujar Kazuma begitu pelan.
Hokuto menggeleng dan menuntun Kazuma untuk kembali duduk di sofa. Keduanya diliputi kesunyian, membiarkan detik jarum jam dinding berbunyi. Hokuto meninggalkannya untuk membersihkan sisa makan malam mereka yang masih berserakan.
Sementara Kazuma hanya mengamati kesibukan sahabatnya dalam diam. Seharusnya dia tidak selemah ini, seharusnya dia menerima semua yang sudah terjadi, seharusnya dia tidak egois. Hokuto berhak mempunyai kebahagiaannya sendiri dan Kazuma tidak berhak merusaknya barang sedikit pun.
Beberapa menit berselang, Hokuto menghampiri Kazuma dengan segelas teh hangat.
“Minumlah,” katanya.
Kazuma menerimanya, setelah itu tidak berani menatap Hokuto atau dadanya akan terasa sesak kembali. Dia menunduk, mengamati teh di dalam gelasnya tanpa berniat untuk membuka pembicaraan. Otaknya sibuk berpikir mengenai apa yang tepat dan tidak untuk dilakukan setelah ini. Bertahan berarti mengikis waktunya di dunia ini dan jika mengakhiri, Kazuma tidak bisa membayangkan bagaimana perasaannya menghilang begitu saja. Sekali lagi, dia merasa egois. Semuanya terkesan begitu rumit, ataukah hanya Kazuma yang membuatnya rumit sejak awal?
Di sampingnya, Kazuma bisa melihat Hokuto memainkan ponselnya. Seperti sedang saling bertukar pesan dengan seseorang yang sudah sangat jelas itu siapa. Tidak ada pilihan selain mengalihkan pandangan pada jendela, rintik hujan tadi sore meninggalkan titik-titik air di sana.
“Aku harus pulang,” ujar Hokuto memecah keheningan.
Kazuma hanya mengangguk, dia terlalu enggan mengeluarkan suara karena pasti suaranya akan pecah dan tidak nyaman didengar.
“Jika ada apa-apa kau bisa menghubungiku atau siapapun, Kazuma. Jangan membuatku khawatir,” pesan Hokuto sambil menyampirkan tasnya dan melangkah pergi.
Jadi dia khawatir, ya?
Kazuma menggeleng untuk menepis sedikit perasaan bahagia yang baru saja datang. Pada akhirnya dia membiarkan Hokuto menghilang di balik pintu rumahnya yang tertutup, meninggalkannya dengan kesendirian yang menyedihkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
WIND AND STAR
FanfictionA short story of KazuHoku. Bagi Kazuma, ada seseorang yang seperti bintang untuknya. Dia terlalu indah, tetapi tidak mungkin untuk tergapai oleh tangannya. Sementara dirinya hanya seperti angin, yang kehadirannya bisa dirasakan tanpa pernah terlihat...