Chapter 3

811 58 8
                                    

Rumi meremas kedua tangannya yang kini berada di atas pangkuannya, ia tak tau harus berbicara apa, keadaan mobil benar-benar hening. Ruri yang biasanya memutar musik untuk menghilangkan rasa suntuknya di mobil memutuskan untuk tidak menyalakan musik.

Matanynya memandang lurus ke depan, fokus pada jalanan sampai pada akhirnya mobil itu berhenti di tempat yang sepi. Ruri mematikan mesin mobil. Melihat hal itu semakin membuat jantung Rumi berdebar dengan keras, apa cowok itu akan memukulnya? Meneriakinya? Atau bahkan menyuruhnya turun di tempat ini dan meninggalkannya?

Rumi berharap pilihan terakhir itu tak terjadi, ia tak mengenal baik tempat ini dan terlebih lagi kouta internetnya pun habis. Kepala yang awalnya tertunduk itu menjadi naik ketika mendengar suara tawa kecil dari orang disebelahnya, Rumi menatap Ruri penuh tanda tanya.

"gue kira permainan kayak gitu sudah enggak zaman lagi, ternyata masih ada ya orang main gituan?" ucap cowok tersebut lalu menatap kearah Rumi.

"entah gue harus merasa sial atau beruntung karena yang nembak gue waktu itu lo." Ruri tersenyum miring, tangan kanannya kemudian menyentuh pipi Rumi dan mengusapnya perlahan.

Setiap kali Ruri menyentuhnya, Rumi selalu merasa gugup dan senang. Ia tak membenci sentuhan Ruri, ia merasakan adanya kenyamanan disentuhan tersebut.

"jadi gini cara dia bisa dapatin hati banyak cewek?" batin Rumi.

Sentuhannya selalu lembut dan begitu perlahan seolah takut apa yang sedang disentuhnya saat ini akan rusak.

"emang kenapa kalau yang lain dapat?" Rumi bertanya, kali ini memberanikan diri melihat langsung ke wajah Rumi.

Ruri bergumam pelan, "pasti gue tolak," ucap cowok tersebut dengan senyum yang entah kenapa membuat jantung Rumi berdebar keras.

Tak sanggup memandangi wajah Ruri berlama-lama, pada akhirnya Rumi kembali menatap ke arah lain. Ruri sendiri sudah berhenti menyentuh pipi Rumi.

"tapi, Rumi..." cowok itu mulai mengubah nada bicaranya menjadi sedikit serius.

"lo semiskin apa sampai minta dibeliin tiket konser sama teman-teman lo?"

Nafas Rumi jadi tercekat mendengar pertanyaan Ruri barusan, sangat tak menyangka Ruri bisa melemparkan pertanyaan seperti itu kepada dirinya. Ia mulai menatap Ruri dengan kedua mata berkaca-kaca.

"gue—"

"atau gue segampang itu dimata teman-teman lo?" Ruri mulai mengeluarkan pertanyaan demi pertanyaan yang sedari tadi memenuhi kepalanya.

Ia menatap Rumi yang kini sudah berlinang air mata, cowok itu tersenyum kecil dan mengusap pipi Rumi sekali lagi yang sudah basah akan air matanya sendiri. Ekspresi Ruri terlihat tenang, ia sama sekali tak menunjukkan emosinya dan hal itu membuat Rumi takut.

Dibanding orang dengan emosi meledak-ledak, Rumi lebih waspada dengan orang yang emosinya susah untuk ditebak seperti Ruri. Cowok itu terlihat transparan tapi disisi lain susah untuk ditebak.

"harusnya lo nolak," ucap Rumi dengan suara pelan namun masih bisa didengar oleh telinga lawan bicaranya.

"nolak?" Rumi mengulang ucapan cewek tersebut, ia kemudian menatap Rumi dengan alis terangkat satu.

"mana bisa gue nolak cewek yang sudah capek-capek nembak gue ditengah lapangan makai toa?"

Rumi langsung menyingkirkan tangan Ruri saat itu juga, ia mengalihkan tatapannya ke arah lain. Ia merasa sesak. Cewek itu tertawa kecil.

"ter—"

"gimana kalau kita buat perjanjian." Ruri menyela dengan cepat, cowok itu kembali memaksa Rumi untuk menatap wajahnya.

His Name, RuriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang