Suatu hari aku tidak sengaja membaca file milik Samuel. Dalam file tersebut tertulis proyek pendirian pabrik di daerah pinggiran. Sontak kenangan lama pun kembali menyeruak dalam diriku. Pada awalnya pabrik memang berhasil dibangun; izin, menyewa jasa teknisi, dan sebagainya. Semua berjalan lancar. Buruh berdatangan, produksi kain dimulai, dan uang mengucur begitu saja.
Akan tetapi, permasalahan pun mengekor kemudian hari. Limbah yang merusak lingkungan. Itu permasalah pertama. Usut punya usut ternyata ada oknum nakal yang tidak mematuhi kontrak. Limbah dibuang di sungai dan mencemari tambak serta menyebabkan penyakit bagi warga sekitar. Kemudia masalah kedua: Upah buruh. Samuel menjanjikan asuransi dan jaminan bagi buruh hamil yang ingin cuti. Praktik di lapangan berbeda. Lagi-lagi gaji tidak dibayar sesuai kontrak, ada potongan, dan itu belum termasuk tindakan tidak menyenangkan dari mandor.
Maka yang terjadi pun terjadilah. Pabrik harus ditutup, Samuel terpaksa membayar sejumlah kerugian kepada buruh, dan kami jatuh miskin!
HEOL! Rafael Verday pasti menunggu kesempatan ini!
Tidak!
Aku tidak akan mengizinkan kehidupan keduaku sebagai Renata berakhir sia-sia.
Lekas aku mencari Samuel yang, terima kasih kepada semesta, tengah menikmati sarapan.
“Papa!” panggilku seraya memperlihatkan kumpulan kertas yang mencakup anggaran dana yang dibutuhkan untuk proyek. “Apa Papa yang berinisiatif mendirikan pabrik tekstil di daerah pinggiran?”
“Re, duduk. Kamu terlihat tidak baik-baik saja.”
Aku yakin wajahku terlihat merah padam seperti tomat yang akan segera meledak. BUUUM. Semacam itu. Namun, kepalaku serasa berputar. Terlalu berat. Telinga berdengung dan jantung berdegup kencang.
“Ada apa, Re?” Kali ini Evelyn yang melontarkan pertanyaan. “Apa ada yang kamu perlukan?”
AKU PERLU MENCEGAH KEBANGKRUTAN!
“Pa, siapa yang mengusulkan ide membangun pabrik?” Aku meletakkan belasan kertas ke meja, tepat di samping tangan Samuel. “Aku perlu tahu!”
Sejenak ada kerutan di dahi Samuel, kemudian lenyap. “Oh, ini dari kakekmu. Katanya ingin memenuhi permintaan pasar. Kamu pahamlah.”
‘Iya, aku paham. Itu awal kejatuhan kita!’ teriakku dalam hati.
Mati-matian aku menahan dorongan ingin menangis. Oh cengeng di saat seperti ini tidak akan menolongku menyelesaikan masalah. Usai meyakinkan Samuel mengenai busuknya bisnis Diego, aku akan menangis sepuasnya dan mengadu kepada Dimitri agar dia lekas pulang!
“Pa, tolak,” kataku dengan suara nyaris pecah. Barangkali karena intonasiku atau kedua mataku yang terlihat merah menahan dorongan ingin menangis, baik Samuel maupun Evelyn akhirnya memusatkan perhatian mereka kepada diriku yang masih berdiri—tersengal-sengal. “Tolak. Proyek ini nggak akan membawa kebaikan bagi kita.”
“Re, Papa nggak bisa begitu saja menolak permintaan Kakek,” Samuel menjelaskan. “Nanti dia marah dan kamu serta Mama akan menjadi bulan-bulanan.”
“Benar, Re,” Evelyn menambahkan, “kakekmu bukan orang yang suka dengan perbedaan pendapat.”
‘Ya, itu karena kitalah yang berada di ujung tombak!’ pekikku dalam hati.
Tidak, aku tidak bisa mundur begitu saja.
“Pa, apa Papa sudah membaca dengan saksama?” tanyaku, kali ini berhasil mengendalikan emosi yang meluap-luap. “Pabrik? Apa Papa yakin? Daerah pinggiran itu sudah ada izin? Dari mana Papa yakin? Kakek?”
Mendadak Samuel dan Evelyn diam, perlahan bisa mengerti arah pembicaraanku.
“Apa Papa lupa kalau ada bisnis milik Bloom yang tiba-tiba kandas?” Aku tidak ingat nama salah satu paman yang terkena imbas dari Verday. Namun, aku yakin ujung-ujungnya keluargaku akan menyusul bila tidak berhati-hati. “Pabrik yang akan Papa urus ini memiliki kekurangan.” Aku menunjukkan jari telunjuk. “Satu, izin yang tidak jelas. Jangan asal percaya saja, Pa. Aku paham bila Papa menghormati Kakek, tapi bukan berarti harus mempertaruhkan masa depan kita.”
Evelyn menyentuh jemari Samuel dan menggenggamnya. “Rere, benar.”
“Lalu,” lanjutku tanpa menunggu respons Samuel. “Di sini hanya dijelaskan limbah akan diurus, tapi nggak dijelaskan diurusnya bagaimana? Dibuang ke mana? Apa Papa nggak takut kalau limbah dibuang sembarangan, ke sungai, danau, tambak? Oh buruh. Pa, percayalah mengurus kesejahteraan sekelompok orang itu tidak mudah. Papa nggak bisa menyepelekan buruh. Mereka butuh asuransi dan jaminan. Bayangkan bekerja sekian jam dan ... oh Papa, mandornya sudah Papa cek? Belum. ‘kan? Cuma asal percaya kepada Kakek!”
Samuel menggigit bibir. Dia mulai membaca ulang semua data yang ada. “Re, Papa hampir saja....”
Bukannya Samuel bodoh sebagai pebisnis, hanya saja dia terlalu iya-iya-iya saja terhadap perintah Diego Bloom!
Luar biasa!
Sekarang aku punya sokongan. Dimitri! Yuhuuuuuu!
“Pa,” panggilku sambil berdeham. Perlahan aku memijat pelan bahu Samuel. “Papa tolak saja, ya? Kalau Kakek ngamuk, katakan saja bahwa Dimitri, calon menantumu, nggak suka. Biar Kakek yang berhadapan dengan Dimitri. Semisal Kakek tanya, ‘Apa hubungannya dengan kesukarelaan Dimitri?’ Papa hanya perlu menjawab bahwa proyek tersebut ternyata berseberangan dengan kepentingan Axton.”
Hei, ini benar. Daerah pinggiran yang hendak disabotase oleh Diego Bloom rencananya akan dibangun daerah wisata. Kontraknya jatuh ke tangan Axton, bukan Bloom.
“Untung Rere tahu, Pa,” kata Evelyn seraya tersenyum pasrah.
Aku tidak suka dengan perangai Diego Bloom. Dulu dia mengabaikan keluargaku dan menyerahkan segalanya kepada Diana. Bahkan ketika kami tersingkir dan harus mati-matian mempertahankan diri dan menjual segalanya demi mengisi perut pun dia tidak peduli. Diego Bloom pasti ingin, andai bisa, menjodohkan Diana dengan Dimitri. Benar-benar keterlaluan! Orang satu itu wajib dipukul pakai sapu! BUK BUK BUK BUK BUK. Berkali-kali.
Sekarang barulah aku bisa bernapas lega. Tidak lagi terbebani dengan serbuan emosi. Perlahan bisa mengendalikan diri.
“Pa, abaikan permintaan Kakek.” Sekarang aku duduk dan mulai memikirkan cara membalas Diego Bloom. “Papa tidak harus selalu menuruti permintaan Kakek!”
“Dia pasti akan berang,” kata Evelyn. Kali ini senyum yang menghias wajahnya terlihat ... lesu? “Dan mulai menyerang kita.”
“Enggak apa-apa,” kataku menyemangati. “Kita bisa meninggalkan Bloom. Nggak ada ruginya. Lagi pula, toko roti yang aku miliki juga lumayan menjanjikan. Papa bisa mulai bisnis lain tanpa embel-embel Bloom.”
“Pa, bukankah kita bisa memulai bisnis yang lain?” Evelyn menyarankan. “Dulu Papa bilang ingin memiliki bisnis yang berhubungan dengan seni. Mama punya simpanan. Cukup untuk mewujudkan impian Papa.”
“Aku juga!” seruku tidak kalah berapi-api. “Ada simpanan yang tidak banyak, tapi cukup. Papa tinggal bilang saja ingin bisnis apa? Aku bisa tanya teman dan nasihat Dimitri. Dia paham dan akan memberi arahan. Papa nggak harus berutang ke bank. Mulai dari yang kecil-kecil dulu.”
Keluar dari Bloom?
BAGUS. Biarkan Rafael Verday memburu Bloom. Aku tidak peduli. Hanya Diana saja yang bisa selamat dalam ajang balas dendam. Hooo aku tahu dia akan melakukan senam sehat bersama Rafael. Terserah! Dimitri ada bersamaku dan takkan aku biarkan diriku jatuh di kubangan derita.
Masa depan cerah itu milikku.
Milikku!
Selesai ditulis pada 10 September 2022.
Halo, teman-teman. Bab spoiler “Godaan dan Kerinduan” sudah terbit di KaryaKarsa. Saran, lebih baik buka dan beli kakoin lewat web www.karyakarsa.com, bukan melalui aplikasi. Jadinya kalian bisa pakai metode Sh00p3 dan lain-lain. Sekalian nggak ada pajak tambahan juga. Gitu. Hehehe.
Oh ya, Milky akhir-akhir ini suka menyabotase selimut. Pokoknya kalau ada selimut bersih, dia langsung klaim. Hmmmm. :”) Akhirnya saya ngalah. Hahahaha.
Jangan lupa jaga kesehatan. Minum air putih secukupnya. Oke?
I love you, teman-teman.
Salam hangat,
G.C
KAMU SEDANG MEMBACA
VILLAIN'S LOVER (SELESAI)
FantasiPada kehidupan kedua diriku terlahir sebagai seorang wanita bernama Renata Bloom. Awalnya aku sama sekali tidak menyadari telah masuk ke dalam salah satu novel dewasa dengan banyak bumbu tragedi dan sensualitas. Hei, apa salahnya membaca roman dewas...