Luna ~ 81

121 1 0
                                    

Jangan lo renggut semangat gue, lo gak tau gimana rasanya bertahan hidup tanpa kasih sayang ayah

Luna

***

Dua orang, eh maksudnya tiga orang kini tiba di salah satu mall ternama di Yogyakarta. Dengan langkah besar dan cepat, tiga orang itu berjalan bahkan hampir berlari demi mengejar waktu tayang film yang 4 menit lagi akan mulai.

Aturannya dua orang, Luna dan Tabitha. Tapi kalian tau sendiri siapa satu orang lagi.

Ya pastilah Viko. Si manusia perusuh, kata Tabitha ya.

Niatnya hari ini mereka mau ala-ala gurl time setelah kemarin ada sedikit drama. Tapi ya, cowok satu ini yang gak akan pernah bisa lepas dari mereka, memaksakan diri untuk ikut mereka.

Katanya sih...

"Gue mau cuci mata juga kalee, yakali kalian doang yang bisa cuci mata liatin cogan, gue juga lah. Manatau ada cecan paha mulus badan bak gitar spayol ada kan mayan, pahala."

Yeuu, pahala apaan tong, dosa yang ada ya ges ya.

Dan akhirnya mereka tiba di bioskop XXI, lalu memesan tiket film yang lagi trending sekarang tuh. Apa ya nama filmnya...

Ah ya miracle in cell no 7.

Tiket 3 dengan popcorn serta minuman soda 3. Lalu mereka memasuki studio yang sudah ditentukan.

"Kan udah gue bilang, gak akan telat, ini aja masih iklan." ucap Viko setelah mendaratkan bokongnya ke kursi yang sesuai nomor tiket. Dan untung saja mereka dapat bangku sama sebaris. Dengan posisi Luna ditengah-tengah Tabitha dan Viko. Antisipasi kalau terjadi perang dunia.

Ya namanya kucing dan anjing, mana bisa disatuin.

"Brisik Lo. Ini juga dapat kursi bagian e. Enaknya bagian D tau. Lagian Lo ngekor aja kerjanya. Orang mau gurl time jadi gagal, ck!"

"Loh kan suka-suka gue. Toh Luna ga rempong kek elu!" balas Viko gak mau kalah.

"Ya dia juga pasti terganggu dong!" Tabitha menatap Luna seolah menyuruh meng iya kan ucapan nya barusan. "Ya kan Lun? Ini kadal jantan satu perusuh banget cih!"

"Heh pantat tepos, sejak kapan gue kadal hah?"

Nah kan, kalau dah gini gak akan selesai-selesai drama nya.

"HEH KOK LO MALAH-"

"Bisa diam gak! Kalau mau ribut ribut keluar. Ngeganggu orang aja lu pada."

Nah loh, dimarahin sama salah satu penonton kan?

Tabitha hanya bisa diam seraya menatap tajam seakan ingin menghabisi nyawa Viko saat ini juga. Sedangkan cowok itu? Ya bodo amat.

Jeda iklan sudah selesai, dan film pun dimulai. Muncul dua orang beda usia, si anak perempuan dengan ayahnya yang tengah diperjalanan menuju sekolah anaknya. Dengan gurauan disepanjang jalan dan tawa anaknya mengiringi jalan mereka.

Sial, baru mulai air mata Luna perlahan keluar dan menetes. Mengingat dirinya semasa kecil dengan anak di film itu. Terlihat jelas si ayah begitu menyayangi anaknya. Beda jauh dengan dirinya dulu yang hanya sempat menikmati hangatnya kasih sayang ayah. Yang sayangnya hanya sebentar.

Sadar merasa ada air yang jatuh ditangan Viko yang di dekat Luna, membuat fokus cowok itu ke arah gadis di sebelahnya. Sedari mereka ke mall dia sudah yakin kalau gadis disebelahnya ini bakalan nangis. Apalagi dia sedikit tau tentang kehidupan Luna yang sangat menyedihkan baginya.

Siapa yang gak sedih melihat anak yang bisa bercanda tawa dengan ayahnya, sedangkan dia gak?

Apalagi kata orang, ayah itu cinta pertama nya. Lantas apa ayah Luna pantas disebut cinta pertamanya? Bahkan dia sendiri lupa bagaimana rasanya dipeluk hangat ayahnya, diapresiasi atas usaha nya, dijagain pas lagi sakit. Karena yang dipikiran dan hatinya sekarang hanya satu. Rasa sakit  yang amat mendalam.

Cowok itu menarik tisu saku yang udah dia sediakan dari kantong celana nya, lalu memberikan tisu itu ke Luna. Karna dia tau, gadis itu pasti bakalan terus menangis dan sangat membutuhkan tisu itu.

Setelah diterima tisu itu, Viko menarik pelan kepala gadis itu hingga bersandar di dada nya. "Nangis aja. Jangan ditahan. Kalau emang gakuat nonton ini, kita bisa keluar."

Luna menggeleng pelan. "Gak. Gue kuat. Gue cuma iri, kenapa dia beruntung, gue engga? Padahal sama-sama punya ayah, kok gue gapernah digituin?"

TBC

Gimana? Lanjut?


LunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang