3. 20 AMJoanna membuka mata ketika tubuhnya terasa semakin dingin sekarang. Tubuhnya mengigil karena masih basah dan harus menempel pada lantai kamar yang dingin karena pendingin ruangan masih menyala.
Perlahan, Joanna membangunkan badan. Bejalan pelan menuju kamar mandi berada. Melucuti pakaian dan berendam menggunakan air hangat. Cukup lama, hingga suara ayam berkokok kencang.
Dengan tubuh lemas, Joanna mulai bilas menggunkan air hangat. Lalu bersiap untuk kerja. Meskipun kepalanya sudah terasa pusing sekarang.
Setelah memakai pakaian kerja dan mengeringkan rambutnya, Joanna mulai menaiki ranjang. Ingin rebahan sebentar karena langit masih gelap. Masih jam setengah lima dan dia bisa tidur sebentar sebelum berangkat kerja.
Joanna bangun pada jam enam tepat. Ketika sinar matahari terlihat dari jendela. Membuatnya lekas marapikan rambutnya yang sempat berantakan. Lalu memakai tas kerja dan turun ke ruang makan guna sarapan.
Tumben anak ini bangun pagi.
Batin Liana sembari menatap Joanna yang sudah menduduki kursi. Menayantap sarapan dengan lahap sekali. Lalu langsung pergi tanpa pamit dan mengatakan hal lain.
Joanna jalan dari rumah menuju jalan raya seperti biasa. Sebelum tiba, dia sempat muntah-muntah di pinggir jalan. Beruntung ada satpam yang melihat dan membantunya. Memberi minuman dan memesankan kendaraan menuju kantor sekarang.
Joanna tiba di kantor pada jam setengah delapan. Lebih cepat setengah jam dari waktu yang sudah ditentukan. Karena Joanna benar-benar ingin melakukan yang terbaik di sisa hidupnya.
"Tumben datang pagi! Jo, kamu sakit?"
Joanna menggeleng pelan. Karena Maraka tiba-tiba saja menyentuh dahinya. Dengan tangan kanan karena salah satu tangannya dipakai untuk memegang kopi panas.
"Panas! Wajahmu pucat! Pasti sakit, kan? Izin saja! Kuantar ke rumah sakit sekarang, ya? Aku izin ke Pak Jeffrey sebentar!"
Maraka ingin menuju ruangan Jeffrey, namun segera ditahan oleh Joanna saat ini. Sebab dia tidak ingin merepotkan orang lain. Apalagi sampai dianggap lemah oleh orang-orang di sini.
"Aku baik-baik saja. Aku terkena flu karena semalam hujan-hujanan. Aku sudah minum obat, kok. Santai saja."
Maraka tidak tinggal diam, dia langsung menuju dapur dan membuat teh hangat. Untuk Joanna yang kini mulai mengusap hidung dengan tisu yang ada di atas meja. Dengan wajah pucat karena lipsticknya telah pudar.
Dari dalam ruangan, Jeffrey menatap Joanna yang kini tersiksa karena flu yang menyerang. Hingga tisu di atas mejanya habis sekarang. Lalu direfill oleh Maraka dan Teressa yang baru saja datang.
Jeffrey memang datang lebih awal. Mengingat masih ada banyak hal yang harus dipelajari di perusahaan. Apalagi Rosa cukup perfectionist orangnya.
Tinggi badan sama, wajah sama, tatto juga sama, hanya rambut saja yang berbeda. Apa jangan-jangan mereka kembar? Lalu kenapa si Bianca mengaku-ngaku jika namanya Joanna di kelab?
Batin Jeffrey sembari menatap Joanna. Dia berpikir keras guna memecahkan masalah. Mengingat dia sangat penasaran akan apa hubungan mereka sebenarnya. Mengingat wajah mereka benar-benar sama. Hanya warna rambut, penampilan dan kepribadian saja yang berbeda.
Jeffrey akui, Bianca jauh lebih menarik daripada Joanna. Karena wanita itu berani tampil beda dan tampak tidak mudah ditaklukkan. Ya, tipikal girlboss yang suka mengatur semua hal. Tidak seperti Joanna yang tampak biasa saja dan membosankan.
Lihat saja, penampilannya jauh dari kata menawan. Raut wajahnya selalu kosong seperti tanpa jiwa. Sangat tidak menarik bagi pria yang suka tantangan seperti dirinya.
Fix! Mereka pasti kembar! Problem solved Jeffrey! Ayo kerja lagi!
Batin Jeffrey sembari mulai bekerja kembali. Mengabaikan Joanna yang kini juga sibuk mengerjakan tugasnya sendiri. Sembari menyeka ingus yang terus saja datang tanpa henti.
1. 00 PM
Jam istirahat tiba, Jeffrey memutuskan untuk makan siang bersama karyawannya. Sebab Rosa tidak masuk kerja. Sehingga kini, dia ikut makan bersamanya Maraka, Teressa dan Joanna.
"Ayamnya tinggal satu. Ayo taruhan denganku! Joanna pasti akan mengalah dengan ibu hamil itu!"
Jeffrey menatap arah pandang Teressa dan Maraka. Pada Joanna yang kini sedang mengantre makan siang. Sebab sebelumnya, dia harus ke kamar mandi sebentar. Sehingga tertinggal dengan mereka.
"Ogah! Hasilnya juga pasti langsung kelihatan!"
Jeffrey melihat Joanna yang kini berjalan mendekat. Dengan piring yang berisi nasi dan beberapa sayuran saja. Tidak ada lauknya. Karena Joanna memang alergi ikan. Tidak suka makan daging merah pula.
"Kenapa tidak ambil saja, sih? Toh di sana masih ada banyak ikan dan daging!"
Seru Teressa pada Joanna yang kini mulai menduduki kursi yang ada di sampingnya. Dengan piring yang berisi nasi dan sayur saja. Tidak ada lauk apa-apa. Berbeda dengan piring mereka yang sudah berisi dengan berbagai makanan empat sehat lima sempurna.
"Tidak apa-apa, aku sedang diet."
Ucap Joanna sembari menatap depan. Pada Jeffrey yang kini sudah menatapnya. Bersama Maraka di sampingnya.
"Diet juga perlu lemak dan protein!"
Seru Jeffrey sembari memindahkan sepotong ayam dari piringnya ke piring Joanna saat ini. Karena mereka memang belum memulai makan sejak tadi. Menunggu Joanna agar bisa makan bersama nanti.
"Tidak perlu, Pak---"
"Jangan tolak! Aku tahu kamu sakit, kan?"
Teressa mencegah Joanna yang ingin mengembalikan ayam pemberian Jeffrey. Membuatnya langsung berdiam diri. Lalu mengucap terima kasih dan makan dengan tenang saat ini. Sebab dia malas berdebat karena masih sakit.
Mereka sama-sama menikmati makan siang di kantin perusahaan. Jeffrey, Maraka dan Teressa menggunakan daging sapi panggang, sedangkan Joanna menggunakan daging ayam.
Selama makan, Jeffrey tidak berhenti memperhatikan Joanna. Karena dia masih penasaran akan apa hubungannya dengan Bianca. Mengingat mereka memiliki banyak kemiripan.
"Kamu punya kembaran?"
Tanya Jeffrey tiba-tiba. Membuat Maraka dan Teressa berhenti mengunyah. Lalu menatap Joanna yang kini sudah menatap Jeffrey janggal.
"Saya? Tidak ada. Saya anak tunggal."
"Kamu serius?"
Joanna mengangguk cepat. Namun Maraka dan Teressa mulai menatapnya tajam. Seolah ikut menginterogasi dirinya.
"Iya, serius!"
"Aku pernah melihat orang yang mirip denganmu. Tingginya sekamu, wajahnya, tatto---"
"Kamu punya tatto? Di mana? Lihat dong!"
Joanna menatap Jeffrey kesal. Karena pria itu membahas hal ini sekarang. Di tempat umum dan di depan dua temannya pula.
"Di dalam, nanti saja."
Joanna membenarkan bagian atas kemejanya. Takut jika tiba-tiba Teressa menariknya. Karena wanita itu cukup bar-bar dan serampangan.
"Rambutnya pirang, kan? Dia bukan aku apalagi kembaranku. Dia temanku."
Ucap Joanna sembari melanjutkan makannya kembali. Enggan menatap Jeffrey. Seolah tidak tertarik dengan pembahasan ini. Karena ada hal lebih penting yang harus ditangani.
Tbc...