Aku tidak pernah melihatnya merokok, yang kutahu dia peminum kopi. Dan yang paling aku suka, kopi yang diminumnya sama dengan kopi yang ada di tanganku. Kopi hitam tanpa gula. Itu membuatku merasa penting karena mempunyai kesamaan dengannya. Rasanya seperti... aku itu bagian dari dirinya. Entah itu hal yang lucu atau kenyataan yang mengenaskan.
"Zel, dilarang bengong dan ngiler kayak gini ketika hari masih pagi-paginya. Kamu merusak suasana pagiku." Suara Sarah yang begitu dekat dengan telinga membuatku berjengkit.
"Sarah! Bisa nggak jangan bikin kaget seperti ini? Hampir saja tanganku ketumpahan kopi panas." Aku bersungut sambil memutar mata kemudian menyesap kembali kopiku sambil berjalan meninggalkan pantry. Langkah Sarah terdengar mengikutiku.
"Lagian kenapa aku yang disalahin karena rusaknya suasana pagimu?" Bukannya setiap pagi sama saja? Sama-sama membutuhkan secangkir kopi untuk membuat matamu terbuka.
"Karena aku harus kerja keras untuk nyadarin kamu. Aku nyesel kopi itu nggak tumpah. Aku yakin banget panasnya bisa bikin sadar. Kopi itu pasti sudah dingin sekarang. Kamu melotot selama satu abad tadi." Sarah berjalan di belakangku sampai akhirnya kami berpisah di ujung lorong. Kami berbeda divisi. Aku di bagian desain, dan Sarah di bagian akuntansi.
Sebelum Sarah berbelok aku harus kembali mengingatkannya. "Aku baik-baik saja. Makasih sudah khawatir." Sengaja kukeraskan suaraku.
Aku memang baik-baik saja kurasa. Ah, tidak. Sarah benar, siapa bilang aku baik-baik saja? Selama lima menit ke depan pikiranku masih memutar ingatan bagaimana Adrian bisa begitu menawan pagi ini. Aku benar-benar tidak ingin melupakan pemandangan tadi. Terlalu berharga untuk dilupakan. Pagi yang indah.
"Dari tadi kamu senyam-senyum terus. Ada apaan?"
Mendengar pertanyaan Rachel, senyumku mengembang. Aku memang sedang bahagia.
Rachel memundurkan kursi dan memutarnya menghadap mejaku, dengan begitu kami bisa leluasa bicara.
"Pagi ini memang indah banget." Aku mengangguk keras dengan senyum secerah matahari pagi.
Rachel tidak banyak bereraksi. Wajahnya tidak nampak senang. Dia tidak pernah setuju aku mengagumi Adrian.
"Kapan kamu akan berkencan dengan Darius?"
Sudah kuduga, Rachel pasti menanyakannya. "Apa nggak ada pertanyaan lain?" Aku sudah bosan. Aku bukannya menolak setiap ada yang mendekat, tapi kalau tidak ada rasa mau bagaimana lagi.
"Aku nggak ingin waktumu habis gara-gara lelaki itu. Darius sudah berusaha ndeketin kamu, tapi kamu terlalu acuh." Rachel mengambil kalender meja di depannya, membuka lembarannya, dan mengembalikannya kembali.
"Aku belum setua itu, Rachel!" Tentu saja aku tidak ingin terus-terusan mengharap Adrian bakal menyukaiku. "Tapi kamu benar. Aku tahu kamu selalu benar. Aku mau menikmati waktu dulu sekarang. Sebelum aku akhirnya memilih yang lain." Kuhela napas panjang. Usiaku baru duapuluh tiga tahun. Apa salahnya dengan status lajangku sekarang?
"Yang lain? Siapa? Nggak ada bukan? Kamu itu nggak benar-benar nyari. Lagak kamu aja ada yang lain." Rachel melengkungkan bibirnya tidak percaya dengan rencanaku. Dia memang tipe serius. Aku tidak tahu kenapa bisa akrab dengan Rachel.
"Aku mencarinya," jawabku cepat. "Memang baru niat, tapi aku sungguh-sungguh lo ini." Aku kembali tersenyum lebar sambil mengangguk mantap untuk meyakinkan Rachel. Dia tidak mudah ditipu.
Aku memang tidak beruntung dalam percintaan. Sampai di usiaku yang sudah dua puluh tiga ini aku baru punya pacar satu kali saat kuliah. Itu pun hanya lima hari! Aku benar-benar bodoh waktu itu. Padahal aku membuka hati untuk siapa saja yang serius ingin menjalin hubungan, tentu saja syaratnya aku harus menyukainya juga. Itulah kenapa aku belum bisa menerima Darius. Tidak ada getaran ketika aku bersamanya.
Adrian tidak seperti yang mereka--Rachel dan Sarah, kira. Dia bukan playboy. Aku yakin Adrian hanya bersikap ramah saja pada semua wanita di perusahaan ini kecuali aku tentu saja. Aku sendiri tidak tahu kenapa Adrian memperlakukanku berbeda. Adrian tidak pernah menggodaku. Apa dia tidak tertarik sedikitpun kepadaku? Memangnya aku tidak menarik, ya?
"Itu karena kamu sudah lari pontang panting duluan saat Adrian mendekat," begitu menurut Rachel. Sekali lagi, Rachel benar. Aku memang tidak pernah bisa berlama-lama berada di dekat Adrian. Aku pasti gugup dan panik. Aku tidak bisa melakukan kesalahan di dekatnya, bisa hancur image wanita cerdas yang aku bangun selama ini.
Enam bulan yang lalu aku menerima email dari Beauty and Me, perusahaan yang memproduksi perhiasan terbesar di Jakarta. Aku diterima bekerja sebagai desainer perhiasan. Memang tidak sesuai dengan jurusan kuliahku, tapi aku bisa diandalkan dalam pekerjaan ini.
Tadinya aku tidak ingin melamar ke perusahaan ini. Perhiasan? Aku tidak suka memakai perhiasan. Aku hanya pernah belajar mendesainnya, itu juga Mama yang memaksa. Bagaimana seseorang bisa bekerja di bidang yang dia tidak pernah suka? Nyatanya di sinilah aku bekerja sekarang. Aku sudah berusaha mencari pekerjaan lain, mengirim lamaran ke sepuluh perusahaan yang berbeda setiap hari selama satu bulan. Bergelar sarjana komputer tidak lantas membuatku mendapat pekerjaan dengan mudah. Memang ada beberapa panggilan wawancara, tapi tidak ada yang menerimaku.
Aku tidak benar-benar membenci perhiasan, hanya saja perhiasan mengingatkannya pada sesuatu yang glamor, sesuatu yang mewah, sesuatu yang berkilau, sesuatu yang menyakitkan, sebuah perpisahan.
Alasan Mama dan Ayah berpisah katanya sih karena mereka berbeda. Sejauh yang aku tahu, Ayah suka kesederhanaan, dari gaya hidup sampai cita-citanya. Ayah memiliki satu mobil yang sudah bertahan selama lima belas tahun dan mengelola rumah makan dengan lima orang karyawan. Baginya itu sudah merupakan pencapaian terbaik. Ayah tidak ingin membesarkan lagi rumah makannya. Ayah juga tidak suka pergi ke mall. Sandal yang dipakainya pun sudah berumur tiga tahun. Memang masih bisa dipakai, tapi buluk.
Sedangkan Mama suka dengan kilau kemewahan. Koleksi perhiasan dari Tiffani dan Cartier, penggemar berat Prada, Hermes, dan Christian Loubutin, tidak lupa makan malam di Locavore. Apalagi Mama punya sahabat perancang perhiasan yang sudah terkenal sampai luar negeri, koleksi perhiasan Mama semakin lengkap seperti museum.
Mama seorang model. Sekarang Mama mempunyai sekolah model yang ternama di Jakarta dan Surabaya. Mama punya cita-cita membuka sekolah model di semua kota besar di Jawa dan Bali. Tidak ada yang pernah cukup baginya.
Entah bagaimana dulu mereka bisa ke jenjang pernikahan, aku tidak pernah tahu. Mereka tidak mau bercerita. Aku juga tidak ingin menanyakannya.
Mencari pekerjaan sedikit susah akhir-akhir ini. Dengan pertimbangan akan menemukan pekerjaan lain, waktu itu aku memutuskan akan menjalani dulu pekerjaan yang ada sekarang. Bertahan satu atau dua bulan sepertinya tidak begitu buruk. Pemikiran itu langsung runtuh begitu bertemu dengan salah satu manager perusahaan ini, Adrian. Mulai detik itu aku langsung mengubah rencana yang sudah kususun matang-matang dulu. Aku akan bekerja di perusahaan ini selama masih ada Adrian di dalamnya. Setidaknya sebelum laki-laki itu menikah.
Aku tahu Adrian masih lajang. Manager muda yang masih lajang dan tampan, sungguh perpaduan yang menarik. Rachel dan Sarah memang sumber informasi yang baik. Semua informasi tentang Adrian kudapat dari mereka.
Tapi, kenapa ya Adrian terlihat dingin ketika bicara denganku saja? Dia bisa bicara dengan halus dan lemah lembut dengan Rachel. Dia bisa tertawa dengan Oliv. Adrian juga bisa mendengarkan keluh kesah Celine dengan sabar. Sepertinya setiap kali bicara denganku saja dia selalu kesal.
YOU ARE READING
Secret Love
RomanceZeli tahu dia bukan tipe gadis yang disukai Adrian. Setidaknya Zeli bisa bertahan beberapa bulan lagi di kantor ini dengan mengagumi Adrian setiap hari sebelum menemukan pekerjaan baru. Zeli ragu Adrian bisa berkomitmen. Adrian bisa mendekati wanita...