Bab 2

23 0 0
                                    


"Zeli, aku mau bicara. Ke ruanganku. SEKARANG!"

Jemariku mecengkeram mouse sampai mengacaukan desain yang sedang aku kerjakan. Kenapa dia membentakku? Aku sudah menyerahkan hasil desainku dua hari yang lalu, lebih awal enam jam sebelum deadline. Kesalahan apa yang aku buat? Sepertinya tidak ada.

Begitu Adrian berlalu aku menoleh ke Rachel. Dia sedang menatapku dengan wajah aneh. Bahkan Celine menatapku dengan iba sekarang.

"Tenang saja, Zel. Pasti cuma gertak sambalnya saja. Dia mana bisa garang." Celine menggeleng mencemooh. Kurasa dia hanya mencoba menghiburku. Sayangnya usahanya gagal. Jantungku tidak baik-baik saja sekarang.

"Zel. Aku khawatir kamu lupa caranya bernapas di dalam sana. Sekarang saja kayaknya kamu sudah lupa. Duh, segitunya." Kemudian Rachel terkikik, sesuatu yang jarang dilakukannya. Dia benar-benar senang melihat penderitaanku.

Setelah berjuang keras menenangkan detak jantung, akhirnya mataku mampu berkedip. "Rachel, gimana ini?" Suaraku bergetar. Tentu saja aku takut, tidak biasanya Adrian membentak ketika memintaku menghadapnya.

"Sana, hadapi nasipmu." Rachel menarikku dari kursi.

Sekarang aku sudah berdiri di depan ruangan Adrian. Kutarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu. Jantungku sudah berdebar saja dari tadi.

"Selamat siang, Pak." Aku mengangguk kecil dan melangkah menuju ke depan meja kerjanya. Kedua tanganku saling meremas. Aku mulai panik.

"Duduk." Adrian memajukan tangan memberi kode supaya aku duduk di kursi di depannya. Wajahnya masih dingin. Dia bahkan tidak perlu repot-repot menatapku.

Setelah aku duduk, Adrian malah berdiri dari kursinya. Sepertinya dia sedang bingung. Keningnya mengkerut. Bibir merahnya mengatup rapat. Menggemaskan sekaligus menyebalkan.

"Zel."

Kepalaku langsung tersentak. "Ya, Pak. Ada apa ya, Pak?" Aduh, sepertinya aku menjawab terlalu cepat. Kalau begini ketahuan kalau aku gugup. Bagaimana lagi, jemariku saja sudah dingin semua. Jangan ditanya bagaimana jantungku.

Adrian memutar badan dan berkata, "Jangan tegang, ini bukan berita buruk. Bukan tentang pemecatan. Bukan juga pemotongan gaji. Aku hanya ingin bertanya, kamu mau makan malam denganku?" Sekarang dia menatapku.

Apa pertanyaan terakhir tadi? Makan malam?

"Jangan tegang dong, Zel. Aku cuma bercanda supaya kamu tidak setegang itu. Tidak mungkin aku makan malam sama kamu, bukan?" Adrian terbahak.

Tidak mungkin makan malam denganku? Ada nyeri di dalam sini ketika mendengarnya. Adrian benar, kenapa dia harus mengajakku makan malam? Harusnya aku tidak terpancing hal seperti ini. Terus maunya apa sih Adrian ini? Tadi bentak-bentak sekarang malah tertawa.

"Begini, aku akan mengatakan dengan ringkas keadaan yang sebenarnya. Ini supaya kamu paham kenapa dan apa." Adrian menarik napas panjang. Dadanya membusung. Segera kuarahkan mataku ke meja kerjanya sejenak. Tidak sopan menatapnya lekat dalam posisi sedekat ini.

"Perusahaan ini sedang dalam masalah." Adrian berhenti bicara. Dia kembali duduk ke kursinya dan membalik-balik lembaran kertas di meja.

Aku tidak terkejut. Aku tahu. Berita ini sudah ramai dibicarakan semua karyawan. Perusahaan sedang tidak baik keadaannya. Ke-valid-an berita ini didukung Sarah yang mengetahui langsung neraca keuangannya.

"Jadi, besok kemasi semua barangmu,"

"TAPI, PAK?"

"Ya?"

Secret LoveWhere stories live. Discover now