Warning: Harsh words, attempt of self-harm.
___
Siapa yang sanggup jika harus terbelenggu oleh perasaan kacau yang terus menghantui sepanjang waktu?
Tidak ada yang bisa terus berdiam diri membiarkan diri sendiri dibunuh oleh rasa penyesalan, kecewa, dan merasa tak berharga. Sudah berhasil menyembunyikannya berhari-hari, tidak akan sanggup jika terus-menerus dipendam. Semakin lama rasa itu bercokol semakin sulit untuk keluar dan bebas.
Shena terbebani. Terbebani oleh stigma sekitar yang akan ia terima setelah semua orang mengetahui kehamilannnya. Terbebani oleh pikirannya sendiri dan masa depan yang sedang ia rajut. Semua pasti akan terjadi padanya. Tidak akan lama lagi.
Shena benci memikirkan hal itu. Ia benci mengapa pikirannya tidak bisa beralih memikirkan hal yang membebaninya. Berdiam dan seolah tidak bisa melakukan apa-apa. Ia tidak akan bisa mengubah seperti semula hidupnya yang normal.
Gelap langit semakin lama menyambut fajar. Redam suara yang tercipta sejak berjam-jam lalu masih terasa. Sejak sedu tangisnya terhenti, Shena tidak bisa mengistirahatkan tubuh dan pikirannya dengan tenang. Hanya berdiam dengan isi kepala yang kusut. Seolah uluran benang panjang yang bersarang di kepalanya tak berujung dan semakin runyam.
Shena beranjak, mencoba berdiri dengan landasannya yang goyah. Melangkah maju meski ia tidak tahu tujuannya ke mana. Sorot netra redupnya meninggalkan Alex yang terlelap di atas sofa, tidak jauh dari tempat tidurnya. Berlalu dengan langkah putus asa di setiap langkah yang ia pijak.
Tatapan penuh kebencian menghunus mengarah pada pantulan bayangan tubuhnya dari cermin yang membingkai di hadapannya. Shena tidak melihat adanya kehidupan dari pancaran wajah muram, lingkaran hitam di bawah mata, juga linang air mata yang tak mampu dibendung lagi. Shena benci melihat dirinya sendiri.
Shena harus gimana, Ma?
Apalagi yang bisa Shena lakuin?
Tidak pernah terbesit sedikit pun untuk mengakhiri semua ini. Kali ini Shena merasa seribu kali lebih yakin.
Dadanya naik turun. Semakin menyesak, menyulitkan Shena untuk mengambil napas dengan benar. Oksigen terasa hilang saat itu juga. Tangannya mengepal kuat, dalam sekejap mengubah cermin besar di hadapannya hingga menyisakan remuk.
Tidak ada yang ia pedulikan termasuk rasa sakit pada tangannya yang perlahan menegas. Tapi, Shena sudah tidak dapat merasakan apa-apa. Ia tak lagi merasa hidup. Ia telah dibunuh oleh rasa percayanya sendiri.
Tangis sedu yang coba ia keluarkan, bersuara pilu mencoba keluar dari sesak dengan air mata yang luruh. Terduduk lemas di lantai bersama serpihan kaca dan bercampur darah. Shena membiarkan hidupnya diambil sekarang. Ia bersedia jika itu terjadi.
"SHENA!"
Teriakan Alex yang memekak seketika merengkuh tubuh gemetar Shena seraya mencoba menghentikan darah yang masih memancar dari pergelangan tangan Shena. Laki-laki itu seolah ikut merasakan kepiluan yang Shena rasakan. Dekapan erat yang enggan terlepas, mencoba membuang semua perasaan berantakan yang menyelimuti Shena.
KAMU SEDANG MEMBACA
STALEMATE
Romance⚠️Harsh words, physical and psychological violence, verbal abuse, and some parts have adult scenes. Only recommended for readers 17 years and up⚠️ Apakah sebuah pengkhianatan masih bisa dimaafkan? Pertanyaan yang selalu menjadi bumerang ketika Edgar...