G18J-01

995 164 34
                                    

Seorang pria membuka lipatan surat yang baru ia terima dari tukang pos. Di bacalah tulisan tangan gadis yang dua minggu lagi akan menyandang menjadi istrinya.

Yan, maaf ya. Setelah aku pikir-pikir kayaknya aku belum siap buat nikah muda. Umurku masih 22 tahun, karirku juga lagi naik-naiknya.

Kalau aku nikah sekarang, pasti gak ada waktu luang buat ngejar cita-cita yang udah aku impikan dari kecil. Yang ada aku diwajibkan fokus urusin kamu, urusin pekerjaan rumah tangga.

Emang iya kamu gak ngelarang profesi aku sebagai model. Tapi aku ngebayangin kalau punya anak, terus kasih asi badan aku jelek, melar semua.

Umur kamu udah waktunya jadi bapak, pasti orang tua mu ngelarang kita buat tunda anak.

Maaf, aku ngecewain kamu dan orang tua mu. Aku juga mau pamit, jangan cari aku.

Di cengkram lah selembar kertas putih tersebut, satu tangan merogoh kantung jas putihnya. Mengeluarkan benda pipih nan canggih, di cari nomor si pengirim surat.

Bukan tidak diangkat, namun nomor sudah tidak aktif lagi. Padahal tadi pagi ia masih membalas chat gadis itu.

Tak ada angin, tak ada hujan, mereka juga tidak bertengkar, kemarin masih jalan berdua, namun kenapa gadis itu tega memutuskan hubungan sepihak dengan alasan mengejar cita-cita.

Tidak memikirkan bagaimana malunya orang tua saat undangan sudah disebar. Bukan seratus, dua ratus, tapi ribuan undangan.

Sungguh, ia tak habis pikir dengan pemikiran Santi.

Frustasi, akhirnya pria bernama panjang Sultan Ryan Saputra ini berlari kecil. Sapaan dari para suster tak dihiraukan. Ia ingin pergi ke rumah Santi, meminta pertanggung jawaban atas surat yang ia kirim melalui pos.

Bagaimana bisa gadis itu memutuskan sepihak. Kalau memang belum siap bisa dibicarakan baik-baik, bukan seperti ini.

Pukul sembilan malam Ryan baru tiba di rumah dengan pikiran kacau. Lesuh, lelah, semua campur aduk.

Santi pergi ke Korea Selatan untuk mendalami peran sebagai model. Bahkan gadis itu baru pamit kepada kedua orang tuanya sendiri ketika jemputan sudah menunggu didepan rumah. Berkali-kali orang tua Santi meminta maaf kepada Ryan.

Berdiri dihadapan Aryo dan Sari, menatap dengan pandangan yang sulit diartikan.

Dahi keduanya mengernyit melihat anak sulungnya. "Kenapa Yan?" tanya Sari.

"Mah, Pah. Pernikahan Ryan batal."

Satu kalimat singkat namun mampu mengheningkan suasana. Tak lama sang papa bersuara. "Maksud kamu apa, Yan?"

Sari ikut menimpali. "Gak usah becanda, Kak."

"Ryan serius," jawabnya singkat.

Melihat wajah serius sang anak, keduanya pun mulai ikut serius.

"Undangan sudah disebar, gimana bisa kamu main batalin begitu saja. Ada masalah apa kamus sama Santi? Selesaikan dengan kepala dingin," ucap Aryo.

"Kamu gak boleh egois, Yan. Ujian mau nikah memang begitu, banyak cobaannya. Kalian harus bisa, turunin egonya. Mama udah bangga-banggain kalau sebentar lagi Mama punya menantu, yang bener aja masa masalah kecil main dibatalin. Gak bisa. Kamu selesaikan baik-baik," seru Sari.

"Bukan Ryan, tapi Santi yang gak mau nikah. Mungkin besok udah sampai ke Korea."

"APA?" ucap Aryo dan Sari barengan.

"Alasannya apa? Gak mungkin dia asal pergi. Pasti kalian bertengkar, ngaku!" Todong sang mama.

Merogoh saku celana bahan, lalu menyodorkan kertas yang sudah lecek. Sari menerima uluran kertas tersebut. Begitu dibaca, kedua paruh baya tersebut melihat sang anak.

Gadis 18 JutaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang