Eleanor memandang berkeliling dengan cemas dan melihat anak-anak lain juga sama takutnya. Di buku Sejarah Sihir Hogwarts yang ia baca, tidak menyebutkan bagaimana para siswa diseleksi atau mungkin ia melewatkan detail penting itu. Mungkin guru-guru akan mnyuruh para murid mengubah tongkat mereka menjadi kain atau memunculkan mawar dari ujungnya. Ia tidak penah memraktekan sihir apapun dengan tongkatnya. Atau yang lebih buruk, ia mungkin tidak cukup untuk memenuhi syarat sebagai penyihir, ia akan dibuang melewati danau gelap dan tebing curam itu sendirian.
Kemudian sesuatu terjadi yang membuat terlonjak sekitar tiga puluhan senti ke atas—beberapa anak di belakang Eleanor menjerit.
“apa apa—“
Eleanor ternganga. Begitu juga anak-anak di sekitarnya. Kira-kira dua puluh hantu baru saja masuk menembus dinding belakang. Putih berkilau bagai mutiara dan agak transparan, mereka melayang di ruangan, sibuk mengobrol dan nyaris tidak memedulikan murid-murid kelas satu. Kelihatannya mereka sedang bertengkar. Hantu yang kelihatan seperti rahib kecil-gemuk berkata, “Maafkan dan lupakan. Menurutku kita harus memberinya kesempatan kedua…”
“Rahibku sayang, bukankah kita sudah memberi Peeves semua kesempatan yang layak diterimanya? Dia membuat kita semua mendapat nama buruk dan kau tahu, dia bahkan bukan hantu betulan—eh, sedang apa kalian semua di sini?” Hantu yang memakai kerah rimpel dan celana ketat tiba-tiba menyadari ada murid-murid kelas satu.
Tak ada yang menjawab.
“Murid-murid baru!” kata si rahib gemuk, memandang berkeliling sambil tersenyum. “Akan segera diseleksi, kan?”
Beberapa anak mengangguk tanpa suara.
“Mudah-mudahan kita ketemu lagi di Hufflepuff!” kata si rahib. “Asramaku dulu di situ.”
“Minggir kalian,” terdengar suara tegas. “Upacara seleksi akan segera dimulai.”
Profesor McGonagall telah kembali. Satu demi satu, hantu-hantu itu melayang keluar menembus dinding yang berhadapan.
“Sekarang berbaris satu-satu,” kata Profesor McGonagall kepada anak-anak kelas satu, “dan ikuti aku.”
Merasa berat seakan kakinya berubah jadi timah, Eleanor masuk barisan di belakang anak beramput pirangnya hampir sama dengannya dan Isabelle mengikuti di belakang. Mereka berjalan meninggalkan ruangan itu, kembali ke aula depan dan masuk lewat sepasang pintu ganda ke Aula Besar.
Eleanor tidak pernah mengira akan melihat tempat seaneh dan sehebat ini. Aula ini diterangi ribuan lilin yang melayang-layang di udara di atas empat meja panjang. Murid-murid kelas yang lebih tinggi duduk mengelilingi keempat meja itu. Meja-meja ini dipenuhi piring dan piala keemasan berkilau. Di ujung Aula, di tempat yang lebih tinggi, ada meja panjang lain, tempat para guru duduk. Profesor McGonagall membawa murid-murid kelas satu ke sana, sehingga mereka berhenti dalam satu barisan panjang, menghadap murid-murid yang lain, dengan para guru di belakang mereka. Ratusan wajah yang memandang mereka kelihatan seperti lentera pucat di bawah kelap-kelip cahaya lilin.
Bertebaran di sana-sini di antara para murid, hantu-hantu berkilau bagai kabut keperakan. Eleanor memandang ke atas dan melihat langit-langit hitam bagai beludru dengan bintang-bintang bertebaran, yang ia tahu dari buku Sejarah Hogwarts, disihir supaya tampak seperti langit di luar. Sulit membayangkan bahwa di atas sana ada langit-langit, dan bahwa Aula Besar itu tidak langsung membuka ke langit.
Eleanor cepat-cepat memandang ke bawah lagi ketika Profesor McGonagall meletakkan bangku berkaki empat di depan murid-murid kelas satu. Di atas bangku itu diletakkannya topi sihir berujung runcing. Topi itu sudah bertambal, berjumbai, dan kotor sekali.
Mungkin mereka harus mencoba menyihir dan mengeluarkan kelinci dari topi itu, pikir Eleanor panik. Kelihatannya begitu, karena semua orang di Aula sekarang mengarahkan pandangan ke topi itu. Eleanor juga memandangnya. Selama beberapa detik, hanya ada kesunyian total. Kemudian topi itu meliuk. Robekan di dekat tepinya membuka lebar seperti mulut—dan topi itu mulai menyanyi.
Oh, mungkin menurutmu aku jelek,
Tapi jangan menilaiku dari penampilanku,
Berani taruhan takkan bisa kautemukan
Topi yang lebih pandai dariku.
Jubahmu boleh hitam kelam,
Topimu licin dan tinggi,
Aku mengungguli semua itu
Karena di Hogwarts ini aku Topi Seleksi.
Tak ada apa pun dalam pikiranmu
Yang bisa kau sembunyikan dariku,
Jadi pakailah aku dan kau akan kuberitahu
Asrama mana yang cocok untukmu.
Mungkin kau sesuai untuk Gryffindor,
Tempat berkumpul mereka yang berhati berani dan jujur,
Keberanian, keuletan, dan kepahlawanan mereka
Membuat nama Gryffindor masyhur;
Mungkin juga Hufflepuff-lah tempatmu,
Bersama mereka yang adil dan setia,
Penghuni Hufflepuff sabar dan loyal
Kerja keras bukan beban bagi mereka;
Atau siapa tahu di Ravenclaw,
Kalau kau cerdas dan mau belajar,
Ini tempat para bijak dan cendekia,
Ajang berkumpul mereka yang pintar;
Atau bisa juga di Slytherin
Kau menemukan teman sehati,
Orang-orang licik ini menggunakan segala cara
Untuk mendapatkan kepuasan pribadi.
Jadi, segeralah pakai aku!
Janganlah takut dan jangan ragu!
Dijamin kau akan aman
Karena aku Topi Seleksi-mu!
Seluruh Aula meledak dalam tepuk tangan riuh rendah ketika topi itu mengakhiri nyanyiannya. Topi itu membungkuk ke arah empat meja dan kemudian diam lagi.
“Jadi kita harus memakai topi itu!” tanya Eleanor pada Isabelle.
“No way out.”
Professor McGonagall maju memegangi gulungan perkamen panjang. “yang dipanggil namanya silahkan maju dan memakai topi. Lalu duduk diatas bangku untuk diseleksi.” Katanya. “Aubrey, Betram.”
Seorang anak dengan rambut gelap keluar dari barisan, langsung memakai topi yang melorot menutupi matanya, dan duduk.
Sejenak kemudian…
“RAVENCLAW!”
Meja di sebelah kiri bersorak dan bertepuk tangan ketika Betram mendekat dan duduk di meja Ravenclaw. Eleanor melihat hantu perempuan muda di meja Ravenclaw menatap Betram lembut kemudian kembali beralih ke Topi Seleksi.
“Bagman, Otto.”
“HUFFLEPUFF!” teriak si topi lagi. Dan Otto berlari kecil ke sebelah kiri.
“Bones, Amelia.”
“HUFFLEPUFF!”
“Caldwell, Gilbert.”
“SLYTHERIN!”
Meja ujung sebelah kanan akhirnya bertepuk tangan, disusul oleh Gilbert yang berlari kecil untuk bergabung.
“Conklin, Arabella.”
Eleanor dan Isabelle menahan napas saat Arabella keluar dari barisan. Waktu sepertinya berjalan lambat bagi mereka sebelum si topi berteriak. “GRYFFINDOR!”
Teriakan di ujung kiri menggema. Arabella segera bergabung di sana.
Nama demi nama disebutkan, dan murid-murid di meja-meja asrama bersorak bergantian. Sampai akhirnya…
“Hart,Isabelle Queenie.”
Isabelle dan Eleanor menahan napas mereka.
“Aku tidak ingin kita berpisah.” Kata Isabelle sebelum ia keluar barisan. Eleanor mengangguk menyetujui.
Isabelle duduk di atas kursi, belum topi mencapai kepalanya, si topi berteriak, “SLYTHERIN!” Meja di ujung kanan kembali berteriak.
“Heath, Eleanor Stellar.”
Eleanor keluar dari barisan dan duduk di atas kursi. Hal terakhir yang ia lihat adalah Conrad yang menatapnya sebelum bagian dalam topi yang hitam menutupi pengliatannya. Dia menunggu.
“Kau sudah menghabiskan banyak buku bacaan.” Terdengar suara kecil di telinga Eleanor atau lebih tepat dilepalanya. Topi itu sedang berbisik padanya. “Kenapa kau ingin di Gryffindor?”
Eleanor mencengkram tepi bangku, memikirkan ia duduk di sebelah Arabelle atau mungkin Conrad juga akan di sana.
“tidak bisa ditempatkan hanya karena kau mengenal salah satu dari Gryffindor.” Kata si topi seakan ia adalah hakim sebuah sidang. “Kau bisa mendapatkan banyak teman di Hufflepuff juga." Eleanor menggerakan kepalanya ke kanan dan ke kiri sesuai keinginan si Topi. "Hmm… Slytherin?”
Eleanor menelan ludah. Isabelle ada di sana. Slytherin adalah harapan terakhirnya, teman pertamanya ada di sana.
“Temanmu di sana rupanya." Eleanor merasa tegang sekaligus terkejut si Topi dapat mengetahui isi pikirannya. Ia lebih berharap diterima di asrama mana pun asal ia jadi pusat perhatian banyak orang. Ia ingin di manapun asal Topi itu tidak memulangkannya kembali ke Downing Street. "Kalau begitu…" gumam si Topi. "RAVENCLAW!” jerit Topi itu akhirnya.
Eleanor mendengar si topi meneriakan kata terakhir ke aula. Ia mencopot topinya dan berjalan gemetar ke meja Ravenclaw. Ini tidak sesuai harapannya. Dia tidak mengenal siapapun di sana. Kepalanya menjulur ke meja Gryffindor saat Betram Aubrey memperkenalkan dirinya sambil menjabat tangan, mata Eleanor masih mencari ke setiap meja panjang, mencari temen atau mungkin seseorang yang ia kenal di sana.
Sementara di meja Gryffindor, Preston memandang panik meja Ravenclaw, tidak memedulikan ucapan Profesor McGonagall yang tengah mengabsen anak-anak kelas satu.
“Ada apa dengan mata gadis itu?” tanya James Potter di sebelah kanannya. Matanya mengarah ke Eleanor yang masih kalut karena ditempatkan di Ravenclaw. Kepala gadis itu terlihat mencolok karena lehernya manjulur mencari entah untuk melihat siapa berbanding terbalik dengan murid-murid di mejanya yang kembali memperhatikan Topi Seleksi.
“Jangan sentuh dia, James.” Kata Preston.
“Kau mengenalnya?” tanya Remus Lupin di sebelah kiri Preston.
Preston merangkul pundak Remus. “Kau ingat anak Perdana Menteri Muggle yang aku ceritakan sebelumnya?” Remus mengangguk. “Itu dia. Dia anak Perdana Menteri Muggle.”Remus dan Preston kembali melihat Eleanor yang ternyata sudah berhasil menemukan mereka. Wajah gadis itu memelas menatap Preston jantungnya berdegup kencang karena panik, sedangkan James hanya melihat Preston dan gadis itu bergantian tanpa menyadari Sirius tengah memperhatikan tingkah sahabatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SIRIUS: A Story Behind The Brightest Star
Fantasy☆☆☆☆☆☆☆☆☆ This is just fan-fiction. Half of the casts belong to JK Rowling, another half belongs to my lovely readers, and Eleanor Heath belongs to me. Everything in this story, never happens in real world. We, you and I, are just muggles, honestly.