Bab 3

17 1 0
                                    


Nampaknya takdir belum puas membuatku kelelahan hari ini

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Nampaknya takdir belum puas membuatku kelelahan hari ini. Romeoku mogok lagi. Untungnya aku sempat menepi tadi. Lalu lintas bisa kacau kalau Romeo mogok di tengah jalan. Minggu lalu Romeo sudah dua kali mogok, dan malam ini terjadi lagi. Kata Mama, ini bukan mobil, tapi rongsokan.

Mau gimana lagi, aku belum mampu membeli mobil sendiri sekarang. Aku tidak mungkin meminta pada Ayah. Rumah makan Ayah tidak begitu ramai. Memang cukup untuk menghidupi, tapi tidak untuk membeli barang mahal seperti mobil. Aku sedang berusaha keras menabung. Yah, kalau melihat saldo tabunganku sekarang rasanya ingin menangis saja. Entah kapan aku bisa membeli mobil baru, untuk membeli bedak saja aku harus berhemat dulu. Belum lagi perawatan wajah yang harganya sering membuat dompet menangis. Kata Mama merawat kulit itu penting, yang pertama kali dilihat orang itu pasti penampilan.

Udara malam ini terasa menggigit kulit. Angin berembus cukup kencang, mungkin sebentar lagi hujan turun. Aku menggigil saat membuka pintu dan kuputuskan untuk menunggu di dalam mobil saja. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Kalau tahu bakal begini aku tidak akan menentang larangan Ayah untuk berbelanja. Mau bagaimana lagi, bahan-bahan di dapur sudah mulai habis, dan besok aku harus lembur mengerjakan proyek penyelamatan itu. Ada yang lebih menyakitkan, baterai ponselku tersisa lima persen saja setelah menelepon Rachel tadi.

Kuketuk-ketuk kepala dengan kesepuluh jariku, siapa tahu ada ide yang muncul setelah melakukannya. Sekarang aku bingung harus meminta bantuan pada siapa. Mama dan Harris ada pekerjaan. Panggung catwalk lebih meriah di malam hari karena selalu ada pesta setelahnya. Siapa yang tidak suka pesta? Ada, Ayah dan aku.

Aku juga tidak mungkin meminta Mama mobil. Aku sudah menolak tawaran Mama seratus kali. Mama dan Harris tidak akan keberatan kalau aku meminta bantuan mereka, tapi aku sudah dewasa. Sudah saatnya aku bertanggungjawab pada diriku dan memenuhi kebutuhanku sendiri.

"Zeli sudah besar, Ma. Harus bisa mandiri." Begitu alasanku setiap Mama menyinggung ingin membelikan mobil. Mungkin aku yang terlalu bodoh. Menolak dibelikan mobil baru? Yang benar saja!

"Anak Mama sudah besar rupanya. Berarti Zeli siap dong ngenalin seseorang ke Mama. Siapa sih, calonnya?" Mama yang sedang menyisir rambut mengatakannya dengan ringan, tidak peduli denganku yang tiba-tiba membeku sambil membelalak.

"Ma, Zeli baru dua puluh tiga tahun. Masih mau senang-senang dulu, mau main, mau ngejar karir. Zeli ingin mandiri beli mobil sendiri, Ma." Aku memang tidak punya seseorang untuk dikenalkan. Bagaimana bisa mencari seseorang jika Adrian tidak pernah lepas dari pikiranku?

Meski Ayah dan Mama memilih berpisah, aku beruntung bisa dekat dengan keduanya. Dari dulu Mama dan Ayah tidak pernah bertengkar, mungkin tidak di depan anak-anaknya. Hal ini yang membuat kami, aku dan Harris, bisa nyaman setiap kali saling berkunjung. Ketika Mama ada waktu di rumah, Aku pasti menyempatkan diri untuk mampir bahkan menginap. Harris sama saja, dia itu sama sibuknya dengan Mama. Mereka punya profesi yang sama. Harris juga sering menginap di rumah Ayah. Dia tidak terlihat canggung sedikitpun.

Sekarang bagaimana? Aku sudah menghubungi Rachel, dia masih ada acara dengan keluarga kecilnya. Sarah harus menemani Ibunya ke resepsi pernikahan. Ayah pasti sibuk melayani tamu karena sekarang jam makan malam.

Ada mobil yang berhenti di depan mobilku. Sepertinya mobil itu tidak asing, tapi siapa, ya? Adrian. Oh, tidak. Aku memegang erat kemudi sambil berdoa berharap jantungku tidak copot saat itu juga. Adrian yang tampan sedang melangkah menghampiriku. Semakin dekat, lebih dekat lagi, dan.... Kuturnkan kaca mobil setelah menarik napas dalam-dalam.

"Kenapa kamu di sini? Nunggu seseorang? Kamu tidak sedang berkencan, bukan? Pinggir jalan bukan tempat yang baik untuk berkencan." Adrian tersenyum dan menunduk mendekatkan kepalanya ke jendela. Satu tangannya memegang kap atas. Ternyata Adrian tahu kalau ini mobilku. Hal sekecil ini cukup membuatku senang.

"Ini bukan seperti yang kamu kira." Bagaimana bisa dia mengira aku seperti itu? Aku sedang menunggu kencanku di pinggir jalan?

"Romeo...,"

"Romeo? Mana dia? Berani-beraninya meninggalkan wanita sendirian di pinggir jalan. Akan kupukul kepalanya nanti." Adrian berdiri tegap dengan kedua tangan mengepal.

Aku sukses melongo mendengarnya. Adrian bisa segarang ini?

"Bukan! Dengarkan aku dulu. Mobilku. Mobilku namanya Romeo. Mobilku mogok. Apa kamu punya informasi teknisi yang bisa dimintai bantuan semalam ini?" Untung otakku bisa diajak berpikir benar.

"Mobilmu mogok?"

"Yap."

"Tunggu."

Adrian menegakkan tubuh, mengeluarkan ponsel dari saku kemeja, dan menelepon seseorang. Aku tidak bisa mendengar apapun karena Adrian berjalan menjauh. Akhirnya aku memutuskan untuk menikmati pemandangan yang tersaji di depanku saja. Sampai akhirnya ketika Adrian selesai menelepon dan berbalik menghampiriku, aku pun segera mengubah fokus pandangan.

"Teknisi akan datang sepuluh menit lagi. Dia sudah terbiasa aku panggil untuk keadaan seperti ini. Bukan mobilku tentu saja. Mobilku tidak pernah mogok. Setidaknya belum. Aku tidak mungkin memakai mobil bermasalah seperti ini." Adrian tertawa menampakkan gigi putihnya yang rapi.

Apa Adrian memang sesombong ini? Tak apa. Biasanya seorang playboy memang sangat percaya diri, tapi ini lebih mirip dengan sombong. Akhirnya teknisi itu datang. Aku bisa merasakan otot-otot keteganganku sedikit mengendur. Entah apa yang dilakukannya, aku ikut menunduk memerhatikan mesin yang nampak berantakan dan kotor yang selama ini tersembunyi di bawah kap mobil. Teknisi itu tidak banyak bicara. Dia langsung memeriksa kerusakan begitu tiba. Adrian juga diam saja dari tadi memerhatikan pekerjaan teknisi yang dipanggilanya Jo itu.

"Bagaimana, Jo?" Adrian menaikkan alis melihat Jo menegakkan badan dan mengembuskan napas. Apa separah itu mobilku?

"Harus aku bawa ke bengkel. Antar kekasihmu pulang dulu, aku akan menunggu mobil dereknya tiba." Jo langsung mengeluarkan ponsel dan memanggil bantuan.

"Aku bukan," Tiba-tiba Adrian menutup mulutku dengan tangannya. Jo tidak melihatnya. Dia sedang memandangi mesin dengan wajah serius.

"Tentu. Urusi semuanya." Adrian memandangku dan melepas tangannya pelan-pelan.

"Apa tidak bisa diperbaiki sekarang?" Bagaimana dengan semua barang bawaanku? Aku tidak bisa memanggil taksi online sekarang, bateraiku habis. Aku masuk ke dalam mobil. Kepalaku mulai pusing.

"Adrian." Agak canggung memanggilanya tanpa sapaan Pak. "Boleh pinjam aplikasi ojek online-mu? Aku akan membayarnya cash nanti."

"Aku tidak punya." Adrian menggeleng.

Punggungku langsung melengkung. Bagaimana ini?

"Zel!" Adrian mengeraskan suaranya. "Ayo, aku antar pulang. Biar Jo yang mengurus mobilmu."

Aku tidak tahu mau harus bagaimana, menerima bantuannya atau menanti ada bantuan lain yang datang. "Aku pulang sendiri saja. Tidak apa-apa, kok. Sebentar lagi Rachel datang." Bohong.

"Oh, ya?" Adrian mengambil ponsel. "Halo, Rachel. Kamu mau menjemput Zeli? Tidak? Baiklah." Adrian memasukkan kembali ponselnya ke saku kemudian menatap Zeli. "Kamu dengar tadi? Dia tidak bisa."

Aku tahu Rachel memang tidak bisa menolongku. "Aku akan mencari taksi." Aku menunjuk ke belakang punggungku, ke arah jalan raya.

"Ayolah, aku antar." Adrian melongok ke belakang dan langsung membuka pintu mobil belakang tanpa aku minta. Dia mulai memindah kantong-kantong belanjaan itu ke mobilnya. "Di bagasi masih ada?"

Belum sempat aku menolak, semua barangku sudah ada di tangannya semua. "Tidak ada. Cuma ini saja."

Mau bagaimana lagi?

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 17, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Secret LoveWhere stories live. Discover now