"Ayah, Ibu, akan ke mana?"
"Mengunjungi Wijilangu."
"Kangmas dan Mbakyu ikut?"
"Iya." Lirsasongko kembali menjawab pendek.
"Prabaswara juga ingin ikut!"
"Tidak bisa. Kau baru saja sembuh, lebih baik istirahat saja."
"Tapi Prabaswara ingin ikut!" Prabaswara mulai cemberut. Matanya sudah berkaca-kaca.
Durmagati tersenyum dan berjongkok di hadapan putranya. "Prabaswara di istana saja, ya. Udara luar tidak baik untuk kesehatanmu. Nanti kau bisa sakit lagi. Ibu janji akan membawakanmu buah tangan."
Durmagati mencoba memberi pengertian, sayangnya tidak diindahkan Prabaswara. Anak enam tahun itu justru mulai menangis.
"Surati, amankan Prabaswara. Kami tidak bisa pergi jika dia terus merengek seperti itu," titah Lirsasongko.
"Baik, Kanjeng."
"Aku ingin ikut!" Prabaswara meraung sambil menangis saat pengasuhnya merengkuhnya. Prabaswara ingin mengejar orang tua dan kedua kakaknya, tapi mereka sudah terlalu jauh.
Lagi-lagi ia tidak diajak pergi.
"Ke... kenapa aku tidak boleh ikut? Padahal Kangmas dan Mbakyu selalu diajak."
"Kanjeng Pangeran baru saja sembuh."
"Tapi aku ingin berjalan-jalan bersama Ayah dan Ibu sekali saja."
Surati tertegun. Permintaan Prabaswara sebenarnya sederhana, tapi hingga kini belum bisa dikabulkan orang tuanya. Untuk mengalihkan perhatian Prabaswara agar tidak terus menangis, Surati harus melakukan sesuatu.
"Saya akan membuatkan susu dan kudapan. Kanjeng ingin ikut?"
"Aku mau di sini," jawab Prabaswara lirih, duduk bersandar pohon mangga.
"Baiklah. Kanjeng tunggu sebentar, ya."
Sepeninggal Surati, tangis Prabaswara yang mulai mereda akhirnya meluap lagi. Apalagi sedang tidak ada orang di sini. Saat yang tepat untuk meluapkan emosinya.
Prabaswara tidak menyadari sedari tadi ada seseorang yang melihatnya menangis dan meraung. Melihat sekelilingnya sepi, remaja lelaki itu memberanikan diri mendekati Prabaswara.
"Kangmas siapa? Mengapa Kangmas bisa di sini?"
"Saya Kenangkali. Tadi saya menyirami bunga dan mendengar Kanjeng menangis."
Mendengar jawaban Kenangkali, Prabaswara sontak menghentikan tangisnya. Entah mengapa ia jadi malu.
"Mengapa Kanjeng menangis?"
"Aku tidak bisa ikut pergi bersama orang tuaku karena aku baru sembuh," jawab Prabaswara sembari menggurat pasir di depannya.
"Jangan sedih, Kanjeng. Bagaimana jika kita bermain bersama?" usul Kenangkali. Ia tahu sosok di sampingnya adalah pangeran, tapi ia tidak memikirkan apa akibatnya bertindak sejauh ini.
"Bermain apa?" Prabaswara mendongak. Matanya mulai berbinar. "Bermain kejar-kejaran?"
"Boleh. Jika Kanjeng tidak keberatan."
"Ayo kita bermain, Kangmas!"
***
Nyatanya, kesibukan baru Kenangkali membuatnya sulit mengunjungi Puri Klawu untuk sekadar berbincang bersama Prabaswara. Jadwal pendidikannya sangat padat, dari pagi hingga petang yang sangat menguras tenaganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prabaswara [Complete√] ~ TERBIT
RomancePrabaswara adalah pangeran Kadhaton Tirta Wungu yang kehadirannya antara ada dan tiada. Prabaswara kerap mendapat perlakuan buruk dari keluarganya. Ia sangat takut tak ada putri yang mencintainya karena status dan kondisinya. Wulandari adalah putri...