⌜ ᝰ‌ ˖ 01. The Summer where you Died⭒﹆ ⌟

153 20 0
                                    

Lari, lari, dan berlari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lari, lari, dan berlari.

Lelaki bersurai kuning terang itu tiada henti berlari. Tidak memedulikan napasnya yang tersengal-sengal nyaris habis, maupun pandangannya yang mulai memburam imbas dari rasa lelah berlari tiada henti menyusuri sebuah jalan kecil.

Kadang kala kedua matanya menatap cemas kepada mentari yang terus-menerus turun ditelan oleh cakrawala, seolah mengharapkan sesuatu kepadanya.

'Belum, aku pasti belum terlambat!

Sialan! Kumohon janganlah tenggelam dulu!'

Sebuah hati yang menjerit seiring melangkah maju.

Penghujung dari jalan kecil tersebut mengantarkannya ke sebuah jalan besar yang berbatasan dengan rel kereta. Dapat terdengar dengan jelas, suara alarm peringatan dari palang kereta yang berbunyi nyaring begitu langkahnya semakin dekat.

Dia baru berhenti berlari ketika akhirnya ia sampai di depan palang yang sudah tertutup--pertanda sebuah kereta akan melintas tak lama lagi. Lelaki itu kemudian membungkuk sembari memegangi lututnya untuk menjaga keseimbangan dan berusaha mengatur napasnya yang terputus-putus.

Sungguh, dadanya terasa sakit sekali, bahkan keringat yang mengalir dari pelipisnya sampai berjatuhan membasahi aspal selayak rintik-rintik hujan gerimis, membuktikan seberapa banyak tenaga yang terkuras hanya untuk menggapai tempat itu.

Dan, apakah dia terlambat?

Untuk memastikan, lelaki itu pun mendongak agar kedua binar emasnya dapat mengamati pemandangan sekitar. Rel kereta, langit senja kebiruan, serta seorang gadis bersurai hijau panjang yang berdiri memunggunginya dari balik palang.

Matanya lantas membulat begitu menemukan figur tersebut di sana. Baru saja mulutnya terbuka dalam ancang-ancang akan meneriakkan nama milik gadis itu, tiba-tiba saja rasa sakit yang sebelumnya timbul di dadanya memukul lebih keras sehingga tiada suara apapun yang keluar selain sebuah erangan kecil menyakitkan. Dia kembali terduduk sembari meremas dadanya sendiri, mengendur rasa sakit.

Sang gadis perlahan menolehkan sedikit kepalanya ke belakang, menatap pemuda yang terlihat lemah tersebut tanpa ekspresi yang bermakna. Lalu, bibirnya pun mulai bergerak mengutarakan sesuatu.

Pemuda itu tak dapat mendengar dengan jelas apa yang gadis tersebut katakan, suaranya seolah bersatu dengan bunyi alarm kereta. Namun lewat pandangannya yang timbul-tenggelam, sedikit demi sedikit dia menangkap pergerakan bibir pucat milik gadis itu yang membentuk sepatah-dua patah kata.

"... Temanku."

Sebenarnya sebelum kata tersebut, masih ada beberapa rangkaian kata lagi yang ia tuturkan, namun lelaki bersurai kuning terang itu hanya dapat menangkap kata akhir yang si gadis ucapkan padanya sebelum sebuah kereta melintas begitu saja.

Bagaimana nasib gadis yang berdiri di atas rel kereta itu? Dia tidak tahu.

Bagaimana dengan dirinya sendiri? Sama, dia pun sama sekali tidak menahu.

Hanya saja sebelum kesadarannya benar-benar lenyap dilahap kegelapan, sebuah suara nyaring lain bergema di dalam kepala lelaki itu, menarik paksa dirinya untuk keluar dari adegan fana tersebut.

༻✦✦✦༺

Hah!

Secara spontan, Mataku terbuka lebar dan cepat-cepat bangkit untuk duduk di atas ranjang. Entah mengapa begitu bangun dari bunga tidurku yang terasa panjang, napasku tersengal-sengal, kaus serta rambutku terasa basah pula dibanjiri oleh keringat.

Mimpi macam apa yang baru saja aku lihat?

Aku tidak terlalu ingat, segalanya terlihat samar. Paling-paling hanya sedikit kilasan saja yang berputar dalam otakku perihal mimpi itu. Aku berada di daerah lintasan kereta, berdiri di dekat palang, dan ada seseorang lagi yang tak aku ingat wajahnya, dia bergumam sesuatu yang sama sekali aku tak ingat juga.

Walau samar pula, aku bisa merasakan bahwa mimpi itu berkaitan dengan kejadian beberapa tahun lalu. Jika aku benar, maka orang itu pastilah dia, yang sudah lama sekali pergi jauh tanpa pernah kembali lagi. Meninggalkan aku seenaknya saja.

Apa yang membuat dia sampai-sampai repot datang ke dalam mimpiku semalam? Apa jangan-jangan dia takut kulupakan seperti aku melupakan tujuan dari ambisiku yang telah kupupuk sejak kecil?

"Bodoh, kau berbeda dengan itu, tahu?" Aku bergumam sendiri seiring mengeluarkan kekehan kecil bentuk frustasi.

Mana mungkin aku melupakan dia, yang telah memberiku mimpi buruk yang tak kunjung hilang dari ingatanku walau tujuh tahun telah berlalu? Kalaupun aku sudah mulai lupa, lintasan kereta yang terletak di dekat sekolah kami pasti akan langsung mengingatkanku dengannya dalam sekali pandang saja.

Nit, nit, niit!

Suara alarm ponsel lantas menyadarkan aku dari lamunan. Ternyata hari ini aku bangun beberapa menit lebih awal sebelum alarm ponselku berbunyi. Aku pun berusaha menggapai nakas tempat tidur untuk meraih benda pipih tersebut. Begitu aku mematikan alarm, berbagai notifikasi langsung muncul pada layar lock screen-ku.

Ada notifikasi chat menumpuk, notifikasi beberapa rekomendasi berita dan iklan dari SNS, dan juga notifikasi peringatan dari kalender yang langsung menarik perhatianku untuk membacanya.

Kira-kira apa yang kutandai sebelumnya ya untuk hari ini? Apakah ulang tahun seseorang? Atau ada pertemuan penting?

13 Agustus : Kusanagi Nene.

Hanya ada nama itu yang dituliskan pada kolom kalender. Meski demikian, aku langsung paham kemana nama tersebut akan membawaku pada hari ini.

Bukan ulang tahun, bukanlah pula perayaan apapun yang penuh suka cita.

Melainkan sebuah peringatan tentang hari kematiannya. Kusanagi Nene.

 Kusanagi Nene

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ꓸ᭄ꦿ⃔☕ 𝑩𝒍𝒖𝒆 𝑴𝒂𝒓𝒎𝒂𝒍𝒂𝒅𝒆┊ NENEKASA  ˎˊ-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang