"Terima kasih karena setiap tahun kamu masih berkunjung kemari, Tsukasa-kun. Maaf jika kami selalu merepotkanmu."
Seorang wanita yang mirip sekali dengan dia—hanya saja telah banyak keriput yang menghiasi paras letihnya dari tahun ke tahun-menuangkan teh oolong dan diberikan kepadaku sembari tersenyum lembut.
"Ah, bukan apa-apa, kok. Toh, hari ini aku juga libur,"cengegesku kikuk tatkala menerima cangkir keramik dari tangannya tersebut.
Ngomong-omong, saat ini aku berada di kediaman Kusanagi, bersimpuh di depan sebuah altar yang di letakkan pada sudut ruang keluarga tersebut bersama Nyonya Kusanagi. Seperti yang beliau katakan sebelumnya, setiap tahun aku memang selalu berkunjung kemari. Khususnya pada tanggal 13 agustus—hari di mana dia mati, dan 20 juli—hari di mana ia lahir.
"Rui-kun, pagi-pagi tadi mengirimiku ucapan. Dia juga lagi-lagi meminta maaf sebab tidak bisa datang kemari sepertimu. Padahal aku sudah berkali-kali bilang tidak apa-apa, soalnya dia pasti sibuk sekali melakukan penelitian di Jerman," tutur Nyonya Kusanagi. "Oh iya, ngomong-ngomong mengapa kamu tidak datang bersama Emu-chan? Biasanya kalian datang bersama."
"Emu sedang berpergian ke luar kota bersama keluarganya hari ini, jadi aku hanya datang sendiri saja," jelasku singkat. "Tidak apa-apa, 'kan?"
"Begitu ternyata, ya. Yah, tidak apa-apa, sih. Nene pun sekarang pasti senang karena kamu datang, apalagi kamu-lah yang paling rajin mengunjunginya!" sahut Nyonya Kusanagi bangga sembari menepuk-nepuk bahuku. "Nene itu meski anaknya pendiam, sebenarnya dia takut dilupakan. Dengan adanya kamu di sini yang rutin mengunjunginya, pasti bagi dia sudah lebih dari cukup."
Aku tak menimpali dengan kata-kata, namun hanya tersenyum tipis serta mengangguk-angguk pelan. Sorot mataku pun kemudian tertuju kepada sebuah figura foto yang diletakkan di atas altar, memandangi ekspresi datarnya yang tak pernah berubah dari tujuh tahun yang lalu.
Tujuh tahun yang lalu, aku berumur 18 dan dia 17 tahun.
Sekarang, aku telah beranjak menjadi 24 tahun dan dia masih saja menetap pada angka 17 itu.
Andaikata dia tidak pergi di usianya yang terbilang masih cukup muda itu, kira-kira seperti apa rupanya, ya? Aku selalu penasaran dengan hal tersebut.
Apakah dia tetap mempertahankan ekspresi datarnya meski telah beranjak dewasa? Apakah dia menggapai impianya? Apa kami masih melakukan pertunjukkan bersama-sama? Rasa penasaranku ini tidak pernah terjawab walau tahun telah berganti.
"Mau berdoa sekarang, Tsukasa-kun?" tawaran dari Nyonya Kusanagi lantas membuat kepalaku otomatis mengangguk.
Kemudian, Nyonya Kusanagi mengambil korek dari laci altar, lalu menyalakan lilin yang diletakkan di atas meja altar bersama seperangkat alat agama dan benda lainnya.
Aku membetulkan posisi dudukku agar tegap lurus menghadap foto almarhum, membunyikan sebuah benda yang mirip dengan mangkuk tersebut hingga menimbulkan suara lumayan keras, kemudian menyatukan kedua tanganku serta memejam.
KAMU SEDANG MEMBACA
ꓸ᭄ꦿ⃔☕ 𝑩𝒍𝒖𝒆 𝑴𝒂𝒓𝒎𝒂𝒍𝒂𝒅𝒆┊ NENEKASA ˎˊ-
Fanfic≡;- ꒰ °🎶 𝐏𝐑𝐎𝐉𝐄𝐂𝐓 𝐒𝐄𝐊𝐀𝐈 𝐅𝐚𝐧𝐟𝐢𝐜𝐭𝐢𝐨𝐧 𑁍ࠜೄ ・゚ˊˎ -"𝐽𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛-𝑗𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛, 𝑎𝑘𝑢 𝑘𝑒𝑚𝑏𝑎𝑙𝑖 𝑘𝑒 𝑡𝑢𝑗𝑢𝒉 𝑡𝑎𝒉𝑢𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑙𝑎𝑙𝑢?!" Tenma Tsukasa masih tidak percaya apa yang baru dialaminya saat ini. Bukan Nirwana...