18. Sisi Yang Asing

380 37 5
                                    

HENING. Tidak ada sepatah katapun yang terdengar di antara dua pasangan kekasih ini. Sepanjang perjalanan Denis hanya bisa diam. Begitu pula Ivan, semua gerak gerik dan mimik wajahnya jelas menunjukan kalau dia sedang menahan amarah. Pria itu memilih mengunci mulutnya rapat-rapat dan membiarkan Denis gelisah menebak-nebak sendiri hal apa yang akan terjadi selanjutnya nanti.

Ivan memfokuskan dirinya pada jalanan, memanuverkan kendaraannya dengan tenang. Selama dua puluh menit, rasanya seperti waktu berjalan begitu lama. Sehingga membuat Denis terus menerus menggigit ujung kuku ibu jarinya karena menahan gugup. Perasaan nyaman dan tenang saat bersama kekasihnya sontak kini berubah. Denis seperti tercekik, semua yang ia hendak utarakan rasanya akan jadi serba salah di hadapan Ivan.

"Aku udah pernah bilang kan-"

"Dia cuma nemenin aku nungguin Sandy Van..." sergah Denis sebelum Ivan menyelesaikan perkataanya.

Sesampainya di rumah, Ivan melempar kunci mobilnya asal ke nakas. Kemudian duduk di pinggiran ranjang, di susul dengan Denis. Tapi gadis itu memilih duduk di sisi yang berbeda karena terlanjur diliputi oleh perasaan takut.

"Kamu nggak mikir kalau di luaran sana ada yang ngenalin kamu? Gimana kalau itu sampai ke telinga Papa?" tutur Ivan sembari meremas kencang bed cover yang ia duduki. Ia menoleh pada bahu kirinya, memandang Denis lewat ekor matanya yang tajam.

Denis memang sudah tahu, kamar kekasihnya memang selalu serba hitam. Seharusnya dengan dibukanya seperuh tirai super lebar itu, cahaya bisa masuk karena langit sore terlihat cerah. Tetapi yang Denis dapati dan rasakan saat ini, kamar itu sungguh mencekam. Mungkin saja karena hawa kelabu yang Ivan bawa. Dengan degup jantung yang tak karuan, gadis itu memandangi punggung lebar kekasihnya, bibirnya entah kenapa jadi terasa begitu berat saat Ivan menyebut kata "Papa" di ujung kalimatnya.

"A-Aku nggak ada maksud kayak gitu..."

"YA MAKANYA AKU BILANG KAN DENISA??!!" Bentaknya tiba-tiba. "Jangan sekali-kali kamu keluar sama cowok tanpa aku. Kamu ngerti nggak sih posisi aku kayak gimana? Salah sedikit, habis aku Nis sama Papa. Kamu itu bener-bener... Arghhhhh...!!!!!" Ivan mengacak rambutnya frustasi.

Tubuhnya tersentak saat teriakan itu menyambar telinganya. Denis seperti kehilangan tenaga untuk membela diri. Meski begitu ia mencoba menyanggah, "tapi Van, Papa kamu juga kan tahu Nathan itu siapa..."

"JANGAN SEBUT NAMA DIA DI DEPAN AKU!" Ivan yang sejak tadi memunggungi Denis, kini mengambil tempat tepat di depan kekasihnya. Sangat dekat, tanpa jarak. Hingga Denis reflek memundurkan badan sampai punggungnya membentur sandaran tempat tidur.

DRTTTT DRTTT.......

Karena ponselnya tidak berhenti bergetar sejak tadi, Denis merogoh tas nya dan berniat untuk segera menonaktifkannya. Namun ternyata itu adalah sebuah ide bodoh. Secepat kilat, Ivan merebutnya dan membaca satu nama yang terpampang di layar. 

Sandy. Mungkin pemuda itu sedang kesal. Ia menghubungi Kakaknya karena ditinggal begitu saja tanpa kabar apapun. Ivan lalu menyerahkan ponsel itu kembali ke tangan Denis, menyuruhnya untuk segera menjawabnya. Tapi sebelum itu terjadi ternyata Sandy memutuskan panggilannya. Denis tidak beruntung, layar ponselnya memunculkan nama panggilan tidak terjawab lainnya di sana. Semakin memuncaklah kemarahan Ivan saat mengetahui ada nama Nathan yang terbaca dengan sangat jelas.

"Aku udah duga dari awal kalau kamu emang ada apa-apa kan sama dia?!" cecar Ivan.

"Ya Tuhan... Kenapa kamu bisa mikir kayak gitu sih?!"

PRANGGGGG....!!!!

Hancur. Ponsel Denis sudah tak berbentuk. Cermin walk in closet yang menjadi sasaran amukan Ivan kini berserakan berkeping-keping. Batas amarahnya sudah tak bisa ia tahan sehingga ia melampiaskannya dengan melempar ponsel itu ke sembarang arah.

Sweet Escape [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang