Bung, lama tak berkabar
Kau semakin kurus bak buruh tak berbayar
Kau mulai merindukan tepukan angin subuh yang tanpa permisi masuk melalui celah jendela yang tak lagi kau tutupi dengan sehelai kain koyakBiar kuberitahu,
Gedung pencakar langit dingin menatap kita dari ujung kepala hingga kaki, di setiap malam kala gelap menari bersama anginOh, kau pernah berkelahi dengan mereka juga kan? pasukan berseragam?
Ya, dibawah jembatan ituDan kini,
Kau terasing jauh dari perlindungan mu
Kau bersanding di samping batu nisan yang tertawa disebelahmuDiam-diam kau berdoa,
Inginnya melihat mentari hanya berjarak sejengkal tangan dan tubuhmu terapung di awan2
Diam-diam kau ganti doamu, biarlah fajar tak lagi kembali datang, dan angin tidak lagi menepuk pundakmu
Toko toko tak lagi bermodal untuk buka dan anak-anak tak lagi berniat ke sekolahKau membuat gang ini berkabut darah
Merombakny menjadi jalan tanpa arah
Dan terakhir kau bersujud pada tanah, yang kau yakin benar ia tak sudi menerima jasadmu di dalam pangkuannyaNamun,
Esok hari toko kembali buka dan anak2 pergi ke sekolah
Kau mulai membenci rute kereta ini
Kau ingin meloncat!
Terguling mati!
sementara kereta itu lewat pergiSekali lagi,
Cahya fajar selalu saja dapat menemukanmu
Hujan pagi mengetuk pelupuk matamu
Dan dengan lembut,
Ia membasuh lumpur pekat dalam relung hatimuDisini,
Di ibukota
Adakah yang mendengar isakan kita?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya Sampai di Ujung Mata
PoetryRangkaian puisi dari berbagai peristiwa yang sulit terucap namun perlu diungkap