Balai Desa sudah terlihat ramai. Beberapa tenda sudah terpasang di halamannya. Anak-anak muda pun tampak sibuk membereskan meja, kursi bahkan spanduk pun sudah siap untuk dipasang. Ya, besok lusa akan diadakan acara donor darah massal di sini. Pak Syahdin, Pak Wahyu, Pak Ibrahim, Pak Guruh Sanjaya dan bapak-bapak lainnya juga terlihat mempersiapkan acara ini.
“Akhirnya acara ini bisa terselenggara lagi ya, Pak,” kata Pak Guruh Sanjaya memulai pembicaraan mereka.
“Iya, Pak. Saya sangat senang, ternyata generasi-generasi muda kita begitu menyadari pentingnya kesehatan,” jawab Pak Ibrahim menimpali.
“Saya juga heran, kok bisa tahun ini mereka menanggulangi biaya acara ini sendiri. Padahal biaya makanan, minuman dan yang lainnya itu gak sedikit,” lanjut Pak Wahyu pula.
“Ini semua juga berkat Mbak Mawar, Pak. Dia yang mengerahkan anak-anak muda dan pengusaha-pengusaha bawahannya untuk mengumpulkan sedikit demi sedikit hasil usaha mereka dalam bulan ini. Alhamdulillah, tidak ada yang keberatan dan akhirnya acara ini kembali terlaksana,” jelas Pak Syahdin pula.
“Mawar?” tanya Pak Ibrahim, Pak Guruh dan Pak Wahyu keheranan.
Pak Syahdin mengangguk perlahan. “Bapak-bapak ini seperti tidak tahu saja sifat Mbak Mawar. Dia tidak pernah mau orang lain tahu tentang rencana-rencana baiknya atau hal-hal besar yang dia lakukan. Katanya, dia ikhlas melakukannya seperti melakukan untuk Tuhan, jadi orang lain gak perlu tahu,” lanjut Pak Syahdin pula menjelaskan.
“Bapak harus bangga punya anak seperti Mbak Mawar,” ujar Pak Ibrahim sembari menepuk bahu Pak Wahyu.
“Lho, bukan cuma harus bangga, Pak. Sangat bangga! Lah, saya saja bangga pernah punya tangan kanan seperti Mawar. Apalagi bapaknya sendiri,” goda Pak Guruh pula disambut tawa bapak-bapak lainnya. “Oalah, Pak. Bapak ini bisa saja. Terima kasih atas pujiannya, bantu di dalam doa supaya anak saya tidak akan pernah berubah ya, Pak,” sahut Pak Wahyu rendah hati. Kemudian di-amin-kan oleh bapak-bapak lainnya. “Amiiinnn...”
🌹🌹🌹
HARI sudah semakin senja, mentari sudah hampir tak terlihat lagi. Mobil Rudi tampak parkir di pinggiran jalan keluar Desa. Sedangkan jalanan tampak begitu sepi, tak seorang pun melintas di sana. Ia sudah sangat resah sembari berusaha menghubungi seseorang, “Aduh, kok gak ada yang ngangkat sih?” Begitulah kalimat yang keluar dari bibirnya. Kemudian mengulang kembali panggilan itu.
Tanpa disadarinya kerumunan anak-anak dan remaja berjalan tak jauh dari tempatnya berdiri. Baju yang basah keringat, sepatu bola dan bola kaki seakan menjelaskan bahwa mereka baru saja selesai bermain sepak bola. “Hei, kayaknya orang itu membutuhkan bantuan kita,” ujar salah satu di antara mereka. “Iya, kasihan. Hari sudah mau gelap, takutnya dia gak dapat pertolongan orang lain,” sahut yang lebih muda.
“Ya udah, kita samperin yuk,” ajak yang lainnya.
Rudi yang masih sibuk menghubungi orang lain untuk memberinya pertolongan tiba-tiba dikagetkan oleh sebuah suara dari belakangnya, “Excuse me, Sir,” ucap suara mungil itu. Ternyata di belakang Rudi sudah berdiri kerumunan anak-anak remaja itu.
“Do you need a help?” tanya suara mungil itu. Rudi memandang pemilik suara itu yang tepat berdiri di depannya, tubuhnya masih sangat mungil, dekil, dan begitu terlihat sederhana. “Ini bukan daerah pariwisata, tapi anak-anak kecil seperti mereka saja pun sudah bisa berbahasa inggris,” ucap Rudi dalam hati.
“Sir, what can we do for you?” tanya anak lain yang memiliki perawakan tidak jauh berbeda dengan anak itu.
“Oh, iya, iya. Ini ban mobil saya pecah, tapi saya gak bisa ganti ban. Saya juga gak tahu bengkel di sekitar sini, ada yang tahu gak ya?” kata Rudi tersadar dari lamunannya.
“Wah, saya kira Bapak tidak bisa bahasa Indonesia,” jawab anak pertama yang sejak tadi berbahasa Inggris ini. Rudi menjawabnya dengan senyuman tipis.
“Gimana, Kak? Ada yang tahu bengkel dekat sini gak?” tanya anak yang lain.
🌹🌹🌹
KEDUA orang tua Rudi semakin gelisah, hari sudah hampir gelap tapi Rudi belum juga tiba di Villa. Sesekali Ibu Wijaya berusaha menghubungi Rudi namun tak ada jawaban. “Pa, ini Rudi ke mana sih? Kok sampe jam segini gak pulang-pulang?” cemas Ibu Ratih Wijaya. Pak Terah Wijaya sedang asyik menyeruput kopi hangatnya.
“Pa! Papa denger mama gak sih?” kata Ibu Wijaya terpancing emosi.
“Mama ini kenapa sih? Ini masih jam 6 sore, mungkin dia ada kerjaan ekstra, bentar lagi juga dia pulang,” jawab Pak Terah Wijaya acuh tak acuh.
“Kalo Rudi gak datang gimana? Apa kita diam aja di sini? Buang-buang waktu?” lanjut Ibu Ratih Wijaya masih dengan sikapnya yang grasa-grusu.
“Kamu ini ‘kan ibunya! Masa kamu gak kenal siapa anakmu! Tenanglah!” jawab Pak Terah Wijaya kini dengan nada kesal.
🌹🌹🌹
BEBERAPA anak remaja bahu-membahu untuk mengganti ban mobil Rudi. Sedangkan anak-anak yang kecil menjagai mereka di sekeliling mobil. Hingga akhirnya ban ini selesai diganti. “Makasih banyak ya, Dek. Sudah membantu saya mengganti ban mobil,” ujar Rudi sembari menutup pintu bagasi belakang mobilnya.
“Sama-sama, Pak,” jawab mereka hampir bersamaan.
“Oh, sebentar,” lanjut Rudi sambil merogoh saku belakang celananya dan mengeluarkan dompet.
Ia mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan lalu menyodorkannya pada anak-anak ini.
“Ini buat kalian. Anggap saja ucapan terima kasih saya,” ujar Rudi tersenyum tulus. Mereka saling berpandangan segera seorang yang paling tua diantara mereka angkat bicara, “Jangan, Pak. Kami ikhlas kok membantu Bapak.”
“Iya, saya tahu kalian ikhlas membantu saya, tapi saya juga ikhlas memberikan ini sebagai rasa terima kasih saya,” jawab Rudi pula.
Mereka berpandang-pandangan, namun tak satu jawaban pun keluar dari mulut mereka. “Dalam adat istiadat suku saya, sakit rasanya ketika meminta tapi tak diberi, tapi lebih sakit ketika memberi tapi tidak diterima. Jadi, sama saja dengan penghinaan kalo menolak pemberian orang lain,” lanjut Rudi masih berusaha meyakinkan mereka.
“Baiklah, kalau bapak memaksa. Kami akan terima, tapi uang ini akan kami berikan ke Kak Mawar untuk membantu warga,” kata yang tertua.
“Jangan panggil Pak. Panggil saya kakak,” ujar Rudi mengulurkan uangnya. Tiba-tiba terdengar suara adzan berkumandang.
“Baiklah, Kak. Kalo begitu kami pamit ya. Sudah adzan maghrib, kapan-kapan kalo kakak butuh bantuan kami, datang saja ke Balai Desa,” jawab anak tertua itu sekali lagi. Rudi hanya mengangguk sambil tersenyum ramah menghantarkan kepergiaan anak-anak ini. Namun ia masih tinggal dengan seribu pertanyaan yang menyerbu benaknya.
“Mawar? Untuk Warga? Maksudnya? Sebanyak itukah rahasia di balik perempuan sederhana ini yang belum kuketahui?” tanya Rudi pada dirinya sendiri. Dapatkah Rudi menjawab sejuta pertanyaan yang menghantuinya?
🌹🌹🌹

KAMU SEDANG MEMBACA
Sure, It's a Truly Love [On Going - Segera Terbit]
RomantikRange 15+ Bangkrutnya pemilik peternakan kuda tempat Mawar bekerja, seperti menjadi skenario Tuhan untuk mempertemukannya dengan Rudi. Mawar dengan segala keunikannya berhasil mengambil tempat istimewa di hati Rudi. Sayangnya, peternakan kuda yang d...