Setelah beberapa bulan, Chalqi yang sudah mengikuti klub basket di sekolah sejak kelas sepuluh akhirnya terpilih sebagai kapten basket untuk SMA Cendana. Terpilihnya Chalqi tentu saja karena kemampuannya dalam bermain basket tidak perlu diragukan lagi. Penampilan Chalqi selama pertandingan yang diikuti untuk mewakili sekolah sangat baik. Tidak salah jika para pemain basket sekolah sangat mempercayai Chalqi untuk menjabat sebagai kapten.
"Congratulation, Chalqi gue emang paling the best," ucap Jinan saat Chalqi baru saja masuk ke dalam kelas. Ucapan selamat berbondong-bondong menghampiri Chalqi dari teman sekelasnya. Namun, hanya ada satu orang saja yang sama sekali tidak menoleh atau menatap ke arah Chalqi.
"Lo nggak kasih ucapan buat gue?" tanya Chalqi di depan meja Kalaya. Yap, satu orang itu adalah Kalaya.
"Nggak penting, lagian tanpa dikasih ucapan pun lo nggak akan turun juga dari jabatan baru lo sebagai kapten basket sekolah."
"Yah, benar juga sih." Chalqi setuju dengan apa yang Kalaya ucapkan barusan. "Oh iya, nanti lo pulang bareng gue, Bang Nohan udah ngomong kan?" Kalau berdeham mengiyakan. "Tapi nanti gue mau latihan dulu."
"Apaan gue harus nungguin lo, mending gue pulang sendiri aja kalau gitu," protes Kalaya yang dibalas Chalqi dengan mengangkat bahunya.
"Terserah sih, tapi lo ngomong sendiri ke Bang Nohan kalau mau pulang sendiri nanti."
Kalaya berdecak saat mendengar kalimat yang keluar dari mulut Chalqi. Pasalnya, Nohan tidak akan membiarkan Kalaya untuk pulang sendiri kalau tidak dalam kondisi mendesak. Tapi Kalaya juga tidak mau menunggu Chalqi latihan basket. Menurut Kalaya menunggu adalah hal paling membosankan sekaligus menyebalkan.
"Lo yang ngomong dong," pinta Kalaya yang diabaikan oleh Chalqi dengan kembali ke tempat duduknya. Kalaya yang akan mengumpat pada cowok itu harus menahannya saat ada guru yang mengajar datang.
Selama pelajaran berlangsung, mood Kalaya untuk belajar sama sekali tidak bagus. Ingin rasanya jam pelajaran kali ini cepat berlangsung. Apalagi mendengarkan berbagai macam teori yang terasa memusingkan untuk di cerna di otaknya.
Waktu terus berjalan sampai dimana sekarang Kalaya sedang menunggu Chalqi latihan basket. Setalah puas memutari sekolahan yang masih cukup terlihat ramai meski tidak seramai ketika jam sekolah berlangsung, Kalaya memutuskan untuk datang ke lapangan indoor dimana Chalqi dan teman-teman satu klubnya berlatih. Kalaya mencari tempat duduk yang berada di paling atas tribun saat melihat ternyata banyak juga yang datang untuk menonton latihan hari ini.
Kalaya tersenyum tipis saat melihat Chalqi dengan lihainya memainkan bola basket yang ada di tangannya. Sorakan para siswi yang melihat semakin terdengar keras saat Chalqi berhasil melakukan three point shoot, yakni tembakan yang dilakukan di belakang garis tiga angka. Chalqi berlari pelan dan melakukan tos dengan teman satu timnya dengan senyum yang muncul di bibirnya.
"Emang nggak perlu diragukan lagi sih kemampuan basket lo," puji Kalaya saat Chalqi datang menghampirinya di tribun atas ketika latihan sudah selesai. Meski banyak cewek-cewek yang tadi menonton melihat ke arahnya dengan Chalqi, Kalaya tidak peduli.
"Akhirnya lo mengakui kalau gue emang keren," balas Chalqi yang mendudukkan dirinya di samping Kalaya. Kemudian menenggak sebotol minuman yang tadi dibawanya.
"Mau minum?" tawar Chalqi sambil menyodorkan bekas botol minumannya.
"Nggak," tolak Kalaya. "Ayo pulang," ajak Kalaya yang sudah berdiri dan berjalan turun terlebih dahulu dengan Chalqi yang mengikutinya di belakang.
"Nanti pas ada pertandingan basket lo harus nonton ya," ucap Chalqi seraya merangkul bahu Kalaya yang langsung dilepaskan oleh gadis itu. Tentu saja Kalaya merasa tidak nyaman meski sudah terbiasa dengan sikap Chalqi yang tiba-tiba bertindak seperti itu. "Woi, Kalaya!" teriak Chalqi saat Kalaya tidak membalas ucapannya.
"Apaan sih? Gue nggak budeg ya!" balas Kalaya yang jadi ikut-ikutan berteriak.
"Ayolah, ya ya ya, harus nonton pokoknya. Nanti kalau sekolah kita menang gue traktir lo apa aja yang lo mau, oke."
"Deal!"
"Deal!" Chalqi membalas uluran tangan Kalaya yang ada di hadapannya.
"Thanks, Chal," ucap Kalaya saat motor yang ditumpanginya telah sampai di depan rumah yang ditinggalinya selama ini.
"Nggak ngajak mampir dulu nih?"
"Apaan sih, udah sana pulang. Orang rumah lo tuh di depan tuh, orang dekat ngapain mau pakai mampir segala, hus hus hus," usir Kalaya seraya membuka gerbang. "Udah sana pulang," lanjut Kalaya saat Chalqi tak kunjung pergi untuk pulang ke rumahnya.
Memang benar, rumah om dan tantenya Kalaya tepat berada di depan rumah Chalqi. Jadi sudah sangat memungkinkan sekali jika Chalqi bisa main sepuasnya dan kapan saja ke rumah orang tua Nohan. Tidak heran jika Chalqi sudah biasa keluar masuk ke rumah orang tua Nohan seperti rumahnya sendiri. Hal itu terkadang menjadi hal yang menyebalkan bagi Kalaya saat awal-awal ia tinggal bersama Nohan dan orang tuanya.
"Bilangin ke Bang Nohan biar jangan pergi, gue mau main," pesan Chalqi yang diabaikan oleh Kalaya. Mau ada Nohan ataupun tidak, Chalqi juga akan tetap datang ke rumah.
Kalaya yang membuka pintu dengan perlahan mendengar sayup-sayup suara perempuan paruh baya yang sangat dikenalnya. Dengan cepat Kalaya menuju sumber suara tersebut. Bibirnya langsung tersenyum lebar saat melihat sosok perempuan yang sangat berarti baginya.
"Mama Leya," panggil Kalaya yang mengalihkan perhatian perempuan tersebut dan Nohan yang tengah berbincang tadi. Mendengar suara lembut dari Kalaya tentu saja membuat Leya tersenyum lebar seraya merentangkan kedua tangannya agar Kalaya memeluknya.
"Kangen," rengek Kalaya dalam pelukan Leya.
"Gimana kabar kamu?" tanya Leya saat pelukan Kalaya terlepas. Tangannya mengusap lembut rambut panjang Kalaya.
"Seperti yang Mama yang lihat, Kalaya sehat dan baik-baik aja."
"Masih suka ribut sama Chalqi, hmm?"
"Itu sih sudah pasti, Ma." Bukan Kalaya, melainkan Nohan yang menjawabnya.
"Ohh, jadi alasan Abang nggak jemput Kalaya karena udah tahu kalau Mama bakal pulang hari ini, iya? Curang."
Leya tersenyum saat melihat Kalaya yang sudah tumbuh menjadi seorang gadis seperti sekarang ini. Sejak kalaya di rawat olehnya dan suaminya, Kalaya memang memanggilnya dengan sebutan mama dan papa. Meski Kalaya bukan anak kandungnya, namun Kalaya tetap anak yang berharga bagi dirinya, Nohan, dan Ravin. Tidak akan dibiarkan ada orang yang menyakitinya. Sudah cukup sekali saja Kalaya merasakan rasa sakit akibat kehilangan kedua orang tuanya sekaligus.
Bagi Leya, Kalaya adalah anak yang harus dijaganya sampai nanti ia menemukan seseorang yang mampu untuk di andalkan dalam kehidupan gadis itu. Akan ia pastikan bahwa orang itu harus benar-benar memperlakukan Kalaya dengan baik. Tentu saja Leya akan selalu mendoakan segala kebahagiaan untuk Kalaya kelak.
KAMU SEDANG MEMBACA
HART VERHANDELING | ZHONG CHENLE
ФанфикSemakin banyak kata "jika" yang terlontar maka akan terdengar cerita menyedihkan dibalik kata itu.