Aleesha terengah.Berlari sejak setengah jam lalu, rasanya kaki-kakinya mau patah. Ia menatap Brillian yang sudah jauh di depan. Cowok itu tidak mau mengurangi lajunya. Aleesha kian tertingal jauh dan jauh. Meyebalkan. Cowok itu bilang akan berbagi air. Tapi, Brillian bahkan tidak mau berhenti.
Merasa sudah tidak kuat, Aleesha memilih menghentikan larinya. Dia membenarkan kacamatanya. Ia memilih duduk, menyelonjorkan kaki di jalan setapak taman itu. Masa bodoh. Aleesha tidak peduli jika Brillian menghilang dari hadapannya atau marah padanya nanti. Aleesha benar-benar kecapekan.
"Bos macem apa yang ngelakuin penyiksaan sama sekretarisnya? Brillian Langitra emang gak ada duanya." Aleesha mendesis. Ia mengusap keringat di dahi dan lehernya. Lalu menumpukan kedua tangan ke balakang.
Jauh di depan sana, Brillian berhenti. Menolehkan kepala, menemukan Aleesha duduk di tengah jalan. Yah, Brillian sudah menduga, sih. Tapi, ia tidak mengira sekretarisnya itu memang selembek ini.
Brillian menghela napas. Dia kembali berlari ke arah berlawanan, menjemout Aleesha. Sampai akhirnya cowok itu berdiri di depan kaki-kaki Aleesha. Satu tangan Brillian berkacak pinggang. Aleesha mendongak, memasang wajah kesal.
"Ini bahkan belum setengah jam dan kamu langsung tepar."
"Saya gak pernah olahraga, Pak. Saya terlalu sibuk, gak sempet olahraga." Aleesha menjawab sinis. Ia membuang muka ke arah lain. Menarik kedua tangannya beralih memegangi lutut.
"Nih." Brillian mengulurkan botol minumnya. Aleesha berkedip dua kali. Dia menerima botol kecil itu. Botol yang mungkin akan cukup jika dimasukkan dalam saku celana yang dipakai cowok itu.
"Kok cuma segini, Pak?"
"Apa kamu berharap saya bawa galon?" Brillian menaikkan sebelah alis. Aleesha berdecak kesal. Pertanyaan Brillian kedengaran menyebalkan.
"Ini langsung habis kalau saya minum, Pak." Aleesha mengulurkan balik botol itu. Ia masih memikirkan Brillian. Aleesha tidak mau sampai Brillian kenapa-kenapa. "Buat Bapak aja."
Brillian menghela napas. Tidak menerima botol minum di tangan Aleesha, ia menelengkan kepala dan memberi tatapan jengah pada lawan bicara. "Kamu lebih kelihatan sekarat. Gak usah sok ngalah."
"Jangan protes kalo minumnya habis, ya, Pak?" Aleesha memperingati. Masalahnya ia sangat haus. Bangun tidur belum sempat minum. Brillian sudah mengajaknya lari-larian.
"Kalau itu namanya kamu gak tahu diri."
Aleesha tidak mau lagi mendengarkan. Dia membuka tutup botol itu lalu menenguk air beberapa kali. Karena dikatai Brillian tidak tahu diri, Aleesha menyisakan setengah untuk cowok itu. Walau masih haus, Aleesha tidak mungkin melupakan keberadaan cowok di depannya ini.
Kembali menutup botol, Aleesha lantas berdiri. Energinya sedikit pulih. Cewek itu memberikan lagi botol air Brillian. Tapi, si empunya malah hanya berbalik sambil berkata, "Bawa."
Mengiyakan saja. Aleesha lantas berjalan menyusul Brillian yang berlari kecil. Dia menatap punggung tegap Brillian. Berpikir lama. Bertanya-tanya dalam hati. Kenapa Brillian sebegitu membenci perempuan? Kenapa baginya perempuan adalah hama?
Karena tidak mau berdekatan dengan cewek mana pun, Brillian bahkan sampai digosipkan gay. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya cowok itu alami hingga membuatnya begitu memusuhi kaum hawa. Aleesha tidak bisa berhenti kepo. Setiap hari berhadapan dengan bos rese ini, tiap kali melihat Brillian menghindari perempuan siapa pun, kecuali mamanya, Aleesha selalu dibuat heran.
Ponsel Aleesha bergetar. Cewek itu tersentak, merogoh benda persegi panjang miliknya, melihat sang penelepon. Ia terhenyak mendapati nama Keandra terpampang di layar ponselnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GIRL IN SUIT (SUDAH TERBIT)
RomantikAleesha Wijaya rela menyamar sebagai laki-laki dan menjadi sekretaris Brillian Langitra, CEO perusahaan saingan sang kakak, Keandra, untuk mengulik informasi dan menjatuhkan perusahaannya. Demi sang kakak yang selama ini membencinya, Aleesha bahkan...