Inara 7

310 41 4
                                    

Zain mendorong pintu kamar Inara tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Inara terlihat sedang tengkurap di atas ranjang. Zain mendekat lalu duduk di pinggir ranjang.

“Nara … kamu tahu, dalam hidup tidak semua bisa berjalan sesuai dengan keinginan dan harapan kita. Tetapi, sebagai seorang manusia dewasa kita dituntut untuk bisa menerima dan memakluminya dengan lapang dada. Karena kita bukan makhluk individu yang bisa hidup sendiri. Ada orang tua, saudara, teman dan mungkin saat ini suami dan juga mertua yang harus kita keberadaannya. Suka atau tidak suka, kita ini memang bagian dari semua itu.”

Zain berhenti sejenak. Inara tidak menunjukkan reaksi apa-apa. Inara masih dalam posisi semula. 

“Mungkin banyak hal yang selama ini tidak kamu sukai dari hidupmu. Meski orang-orang yang berada di luar dirimu akan selalu menganggap dan mengatakan bahwa kamu adalah orang yang beruntung. Memiliki segalanya, baik itu materi maupun perhatian dan kasih sayang orang tua.”

Inara masih bergeming.

“Harusnya kamu bisa menikmati semua itu. Karena kita hanya akan merasa bahagia jika bisa menikmati hidup yang kita punya. Inara …”

“Keluar! Aku tidak membutuhkan nasihat apa-apa!” Inara berbalik dan menatap Zain dengan mata merah karena air mata.

“Baik, aku akan keluar. Tetapi, aku masih ingin meminta, tolonglah turun dan ikut bergabung dengan Papa dan Mamamu dan juga kedua orang tuaku. Mereka tidak akan datang setiap saat. Paling hanya untuk kali ini saja. Karena semuanya sudah melihat sikapmu yang tidak menerima kehadiran mereka. Dan kita pun belum tentu akan selamanya begini. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada beberapa waktu mendatang. Karena itu, mari kita berteman agar kita sama-sama merasa nyaman tinggal di dalam satu rumah. Setidaknya selama kita masih terikat dalam hubungan suami istri.”

Zain bangkit lalu melangkah menuju pintu. Inara memalingkan wajah ketika Zain menoleh sebelum keluar dari kamar.

Zain menuruni anak tangga. Laki-laki itu menarik napas lega ketika melihat orang tua dan mertuanya sedang ngobrol dengan hangat. Kue-kue dan minuman telah terhidang di meja. Bi Jum dan Amelia memang selalu bisa diandalkan.  

   

  

“Bagaimana? Masih nggak mau gabung di sini?” Pak Atmaja langsung bertanya begitu Zain telah duduk di samping Ayunda.

“Mau, Pa. Bentar lagi juga turun.” Zain tersenyum meski hatinya tidak yakin dengan apa yang dikatakannya.

“Syukurlah. Kamu memang harus banyak bersabar, ya, Zain.” 


“InsyaAllah, Pa.”

Lalu mereka pun kembali melanjutkan obrolan. Dari kuliah Ayunda yang sebentar lagi akan selesai, sampai pada kesehatan Bu Sri. Pak Atmaja dan Bu Nadya begitu perhatian pada keluarga Zain. Zain merasa terenyuh. Dan sebenarnya dari dulu, Pak Atmaja dan Bu Nadya memang sudah seperti itu kepada keluarganya. Tidak hanya sekarang aja ketika Zain telah menjadi menantu mereka.

“Pak, Bu, Mas Zain, makanan sudah siap. Kalau mau makan sekarang, silakan.” Bi Jum datang memutus obrolan mereka.

“Baik, Bi, kita makan sekarang. Ayo, Pa, Ma, Yah, Bu, kita makan.” Zain memeluk pundak Ayunda dan mengajak adeknya itu berdiri.

Hijrah Cinta InaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang