Hidup Tentang Pilihan

602 136 83
                                    

"Sunoo?"

Yang dipanggil menoleh. Sibuk membakar kelinci untuk santapan mereka nanti, Sunoo sampai tak sadar kalau sudah lebih dari sepuluh menit Mio memandangi nya dari belakang.

"Loh? Sejak kapan kau berdiri disana? Kenapa tidak duduk disebelahku?"

Mio tersenyum hangat, dia merapatkan kain selimut yang ia gunakan untuk hangatkan tubuh selepas mandi. Rencana nya, selesai mandi ia ingin istirahat, saat kaki nya melewati dapur dan ekor mata nya menangkap keberadaan Sunoo disana, tubuh dan hati nya justru tergerak ingin mendekat.

"Hei? Kau masih berdiri disana? Kemari lah, aku lebih senang ditemani daripada melakukan sesuatu sendirian. Ayo ajak aku bicara."

Mio bawa tubuhnya mendekat, mendudukkan diri di sebelah Sunoo.

Hangat. Hangat dari api yang Sunoo buat untuk memasak makanan.

"Ah! Aku lupa sesuatu!" Seruan Sunoo barusan mengejutkan Mio yang langsung menatap nya. "Apa? Apa yang kau lupakan?"

"Kau."

Kerutan jelas terlihat di permukaan kening milik Mio.

"Kau kan baru saja pulang bekerja, bukankah lebih baik kau bergabung dengan adik-adik mu untuk sekedar istirahat sampai makanan yang aku masak matang?"

Mio anggukkan kepala nya paham. Bibirnya keluarkan kekehan ringan. Kepala nya kembali menoleh ke depan, menatap api yang membara.

"Tadi nya diriku memang berniat seperti itu. Tapi entah kenapa saat melihat mu duduk sendirian, tungkai ku justru berjalan kemari."

"Mengapa begitu?" Tanya Sunoo dengan tangan nya yang sibuk memotong cabai dengan sebilah pisau tajam.

"Rasanya nyaman, Sunoo. Jangan salah paham, tapi ada sesuatu dari dalam diri mu yang dapat menarik semua orang untuk terus bertahan di sisi mu."

Tangan Sunoo langsung berhenti. Warna mata nya berubah menjadi abu. Rasa panas mulai menyerang mata nya, begitu juga tenggorokan yang mulai rasakan sakit. Pertahankan sesuatu agar tidak keluar.

"Begitukah?" Sunoo ragu, namun Mio langsung mengangguk untuk yakinkan dirinya bahwa apa yang diucapkan wanita itu adalah sebuah kebenaran.

"Lantas mengapa Ayah dan Rade pergi dari sisi ku? Apa salah ku hingga ditinggalkan seorang diri? Berkelana jauh tak memiliki tujuan, tidak tahu identitas asli ku, yang ku pahami hanyalah cara bertahan hidup sampai aku bisa menemukan tujuan hidupku yang sesungguhnya."

"Terima kasih, aku senang kau berfikir seperti itu, Mio."

Mio menggelengkan kepalanya, "Itu bukan hanya sebuah asumsi, Sunoo. Pastinya bukan hanya aku yang berfikir demikian. Semesta memang menitipkan mu di dunia, menjadi penghuni nya, menjaga apa yang harus di jaga. Bukan kah seperti itu?"

Sunoo tersenyum masih bersama kesibukan nya memasak, ia dengarkan ucapan Mio dengan seksama.

Mencoba pahami raut wajah Sunoo yang berubah setelah satu kalimat keluar dari bibir Mio, gadis itu merasa tak enak hati. Walaupun Sunoo tersenyum, Mio rasa ada hal menyesakkan tengah pemuda itu tahan.

"Sunoo,"

"Hm?"

"Kau.... membenci takdirmu?"

"Tidak ada hak bagi ku untuk membenci takdir, Mio. Semua sudah tersusun bahkan sebelum aku ada di dunia ini, kan? Takdir itu juga terbagi menjadi beberapa pilihan. Keputusan yang kita pilih juga akhirnya akan jadi jalan takdir sesungguhnya kan? Tidak boleh ada penyesalan ataupun ragu."

Helaan nafas keluar dari si pemuda yang mati-matian tahan agar cairan bening dari dalam mata nya tak jatuh ke bawah. Ia hanya tak ingin terlalu sering menangis.

Heaven Of White || Sunsun (Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang