Raihan baru memberitahu Arash masalah Tirta memasukkan GPS ke dalam sakunya. Kini di markas hanya ada mereka berdua, sementara Nesya, Sofia, Farida, dan Sakha sedang wisuda perpisahan di sekolah. Jujur, Arash sangat bosan dengan situasi saat ini. Apalagi hanya berdua dengan Raihan. Anak itu menurutnya sangat tidak asyik.
"Ini bakalan aman, kan? Awas aja kalau sampai Tirta tahu rumah gue!" ucap Arash antipati.
"Tenang aja, GPS-nya udah gue rusakin. Gue juga udah pastiin kalau Tirta nggak akan ngintai gue. Sekitar rumah udah gue pasang CCTV sama alarm keamanan. Jadi kalau dia diam-diam datang, gue bisa tahu!"
"Tapi lo nggak tahu kalau diam-diam dia juga bisa ngikutin lo! Tunggu! Jangan bilang lo juga bakal pasang alarm di mobil, biar kalau ada yang ngikutin lo bisa tau!"
"That's a good idea!"
"Anjir! Jangan bilang lo beneran bakal pasang alarm di mobil!"
"Harus! Karena gue nggak mau Tirta atau siapa pun ngikutin gue. Dan gue bakal pastiin nggak akan ada yang bisa mata-matain kita!"
Tidak lama setelah itu, terdengar suara ketukan pintu. Mereka saling pandang. Sedikit terkejut. Karena tidak mungkin Nesya dan teman-temannya sudah selesai wisuda, ini masih terlalu pagi.
"Itu apaan? Lo bilang kita aman. Aman apaan kayak gitu?!" teriak Arash, yang hampir saja memukul Raihan.
"Ya gue nggak tahu siapa. Lo buka aja sana! Kali aja tetangga mau minta gula!"
Arash memberanikan diri untuk membuka pintu depan. Tubuhnya mematung sesaat begitu melihat seorang gadis kecil berseragam sekolah berdiri di depannya sambil menangis. Melihatnya sebetulnya Arash kasihan. Tapi, itu Sabita; seorang adik yang tidak pernah diakuinya.
"Abang," kata Sabita sambil merintih.
"Ngapain ke sini, sih?!" kata Arash dengan nada bicara sedikit keras.
"Tadi Bita tungguin bunda jemput tapi bunda nggak datang-datang. Bita takut di sekolah sendirian, Bang. Teman-teman semua udah pulang sama mama-papanya. Jadi Bita pulang aja sendirian. Eh, Bita lupa... Bita, kan, nggak tahu rumahnya lewat mana. Karena Bita tahu rumah Abang, jadi Bita ke sini."
Mendengar ceritanya pun, rasanya tidak tega. Tapi entah kenapa, Arash masih kesal setiap bertemu dengan Sabita. Perlahan ada luka yang tidak bisa dia jelaskan.
"Anterin Bita pulang mau?" ajak gadis kecil itu.
Tidak ada jawaban. Ingin sekali Arash menjawab tidak.
"Siapa, Rash?" Raihan datang menghampirinya. Dia tersenyum melihat Sabita. "Adik lo?"
"Seharusnya sih iya, tapi buat gue bukan!" jawabnya ketus.
"Lo nggak boleh gitu sama anak kecil! Apalagi lo sedarah sama dia!"
Diberi nasihat pun Arash juga tidak suka. Kenapa Raihan jadi menyebalkan sekali.
"Bang, Bita boleh masuk, nggak?" ucap gadis itu.
"Oh, jadi namanya Bita? Boleh, dong, kamu boleh masuk. Sini! Sama Kak Raihan aja! Abang kamu emang manusia aneh, makhluk astral dari planet otokotok!" Mendengar kalimat Raihan pun Sabita tertawa.
"Sembarangan lo kalau ngomong!" Arash menyahut tak terima.
Siapa sangka, kalau seorang Raihan ternyata sangat menyukai anak kecil. Dibalik sifatnya yang kaku, tapi dia penyayang. Lihat saja Sabita, bisa langsung tertawa dibuatnya.
"Tadi di sekolah, Sabita dimarahin sama bu guru gara-gara salah bikin PR. Bita nggak tahu caranya gimana. Nggak ada yang bantu Bita ngerjain PR karena bunda sibuk ngajar, papa kerja terus, dan abang nggak pernah pulang. Bita udah jadi anak yang bodoh." Wajah manis Sabita pun terlihat lesu. Hari ini dia tampak sedang banyak masalah. Biasanya, mau sekasar apa pun sikap Arash padanya, dia tetap bisa tertawa. Tapi tidak dengan hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
UTBK : Misteri di Balik Layar
Misteri / ThrillerSemua dimulai setelah pengumuman SNMPTN. Ini pertama kalinya tercatat dalam sejarah di SMA Indonesia Persada. Dari puluhan siswa yang mendaftar hanya satu di antara mereka yang lolos. Hal itu membuat para siswa kesal dan menduga adanya tindak kecura...