2

972 27 0
                                    

Sahlan tidak bisa berhenti memikirkan Melati meski sudah tiga bulan sejak ia tiba di Kairo. Pembelajaran di Al Azhar baru akan dimulai bulan depan dan ia masih tinggal di rumah pamannya.

Rumah pamannya besar dan luas. Ada kolam ikan dan pohon kurma di halaman belakang tempat keluarga mereka berkumpul untuk sarapan dengan kisk dan teh hitam kental yang manis setiap pagi. Kisk, bubur khas mesir yang terbuat dari gandum dan yoghurt, buatan istri pamannya, Aisha, luar biasa enak. Meskipun awalnya asing, Sahlan dengan cepat menyukai makanan itu.

Aisha adalah seorang putri bagsawan lokal yang berasal dari Dosouk, kota kecil di pinggiran sungai Nil. Ia dan paman Sahlan bertemu saat sama-sama belajar di Universitas Al Azhar lalu menikah. Mereka punya sepasang anak kembar yang manis.

Sahlan menyukai keluarga pamannya yang harmonis, udara mesir yang panas, serta aroma rerempahan yang kuat setiap kali ia berjalan-jalan di gang-gang kecil pasar dekat rumah pamannya.

Ia sama sekali tidak merindukan Balakanda, Mamaknya yang cerewet dan galak, apalagi abang-abangnya yang suka sok jagoan. Ia juga tidak merindukan Babanya yang suka membicarakan agama dan berkumpul dengan para Kiai tapi mata keranjang dan suka merogoh pantat pembantu-pembantu mereka.

Tapi ia merindukan Melati, pagi malam ia memikirkan gadis itu. Badannya, suaranya, baunya. Ia ingin menyentuhnya dan melumat bibir Melati yang manis seperti gulali. Saat ia tertidur ia memimpikannya dan saat ia terbangun ia memikirkannya. Ah betapa tersiksanya ia.

Hubungannya dengan Melati awalnya murni sayang kakak beradik. Melati lebih muda tiga tahun darinya. Mereka sering menangkap kodok di sungai dan mencuri ketela di pinggir sawah bersama-sama. Baba sering berkunjung ke rumah Melati dan berbincang sampai pagi dengan almarhum bapaknya. Baba menganggap bapak Melati bagaikan keluarga sendiri.

Setiap pagi, Melati sudah membantu ibunya di pasar. Sahlan suka mampir sepulangnya dari belajar agama di surau dan mengajaknya main di sekitar pasar. Melati bagaikan adik perempuan yang tak pernah ia miliki. Saat mendengar Babanya berjanji menikahkan Melati padanya, Sahlan merasa senang tidak dijodohkan dengan orang dari jauh seperti abangnya Umar yang menikah dengan gadis dari Bandung atau dijodohkan bukan dengan gadis bumiputera seperti abangnya Azam yang menikahi anak gadis syaikh dari Yaman.

Perasaannya berubah kira-kira setahun lalu, tak lama setelah Baba merencanakan kepergiannya ke Kairo. Ia sedang memanjat pohon rambutan lebat di pinggir sungai. Waktu itu sore, sudah hampir Maghrib. Langit berwarna merah pekat. Sahlan berniat menyikat rambutan sampai kenyang lalu ke masjid untuk maghriban. Sebuah kebetulan atau malah keberuntungan langka buah-buah di pohon ini belum digasak anak-anak kampung yang nakal dan selalu lapar seperti kera itu atau dirusak codot-codot* rakus.

Dari atas pohon, ia melihat Melati yang memakai kain lari terburu-buru untuk membasuh diri di sungai. Sahlan merasa malu karena melihat temannya berpakaian begitu terbuka. Ia ingin memalingkan mata dan segera turun dari pohon tapi setan membisikkan untuk menatap tajam ke sungai.

Ia melihat Melati dengan terburu-buru membuka kainnya, membasuh badan, dan mencuci rambutnya yang panjang.

Sahlan pernah melihat perempuan telanjang sebelumnya. Meskipun ia dibesarkan di keluarga yang paham agama, teman-teman sekolahnya bukan. Mereka suka membawa majalah selundupan dengan gambar perempuan hitam putih berpose macam-macam sambil telanjuang lalu menunjukkannya pada Sahlan. Teman-temannya juga sering mengajaknya membaca stensilan tentang persetubuhan serta percintaan binal.

Kadang mereka berkumpul dan mastrubasi bersama, mengadakan perlombaan siapa yang paling tahan lama. Sahlan pernah sekali menang, saat itu ia sedang sibuk memikirkan Babanya yang sakit demam parah akibat malaria.

Tapi sore itu perasaan yang bergejolak di hatinya berbeda. Sambil melihat tubuh telanjang Melati yang basah, Sahlan merasa badannya diterpa badai birahi dahsyat.

Melati berbadan tinggi dengan payudara matang yang agak besar. Perutnya rata dan pinggangnya kecil. Sahlan menatap tak berkedip. Matanya turun ke selangkangan Melati dan melihat bagaimana kemaluan gadis itu mulai ditumbuhi rambut halus.

Sahlan merasa wajahnya panas dan kakinya lemas. Ia berusaha mati-matian berpegangan pada dahan pohon agar tidak jatuh. Ia agak kecewa karena Melati mandi dengan cepat dan segera berjalan pulang ke rumahnya yang tak jauh dari sungai. Ditatapnya kepergian melati dengan duka lalu tersadar betapa keras kemaluannya.

Sore itu ia tidak ke masjid. Ia mastrubasi di atas pohon sambil membayangkan Melati.

.

.

.

.

.

.

Codot: Jenis kelelawar pemakan buah. 

MelatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang