Vote dulu dong. 😆***
"Dhis, selain spicy food kalau lagi berantakan, kamu mau lihat bintang?" tanya Rinaldy, begitu gue sampai di akhir cerita.
Posisi kami masih sama, duduk berisisian di sofa. Kopi yang tadi disuguhkan Rinaldy tanpa sadar sudah mencapai tetes terakhir. Langit di depan sana sudah dari tadi menggelap, mendung yang sempat menggantung pun nggak jadi menurunkan isinya.
Gue menoleh penuh padanya, lalu mengernyit. "Lihat bintang? Ke mana?"
Alih-alih menjawab, dia justru mengetuk layar ponselnya dua kali, menilik jam. "Sepuluh menit buat siap-siap cukup, 'kan? Bawa jaket atau baju yang anget. Kalau udah selesai langsung ke bawah, aku tunggu di sana."
Setelah mengatakan itu, Rinaldy bertolak ke kamarnya. Dan meskipun gue sempat terbengong sesaat sambil bertanya-tanya, 'Ini seriusan?' gue beranjak juga dari sofa.
Di kamar, gue langsung membuka lemari, mematung beberapa saat di depannya. Kata Rinaldy pakai jaket atau baju yang hangat. Sweater? Atau jaket? Kalau sweater, yang bulu atau rajutan dari wol? Jaketnya lebih baik yang denim, parka, atau bahan kaus? Atau pakai hoodie aja?
Wait, wait. Kalau dipikir-pikir gue apaan sih? Malah kayak anak ABG yang pertama kalinya mau pergi kencan.
Oh, come on, Adhisty! Jangan norak.
Setelah beberapa menit habis cuma bengong di depan lemari, akhirnya gue menarik sweater dan jeans. Just that. Dan setelah selesai siap-siap ala kadarnya begini, gue keluar kamar sambil membuka pesan dari Rinaldy yang mengatakan kalau dia sudah di bawah. Seraya melangkah menuju lift dan turun sampai laintai basement, gue menggulir beranda chat.
Yang membuat terasa kosong adalah nggak ada lagi pesan dari Raka. Entah itu ucapan selamat malam, menanyai kegiatan gue sepulang kuliah, atau laporan aktivitasnya seperti agenda futsal, rapat bersama anak-anak BIMA, atau keluhan hal-hal receh semacam parfum laundry yang kadang wanginya nggak sesuai dengan selera dia.
Kalau kata orang nggak ada yang namanya mantan terindah dengan alasan yang terindah nggak bakalan jadi mantan, sekarang teori itu patah dan nggak berlaku bagi gue. Bukti nyatanya ada Raka.
"Adhis!"
Suara lembut yang meninggi itu kontan membuat gue mendongak dari ponsel, mengikuti dari mana arahnya. Lalu si pemilik suara melambaikan tangannya. Dia sudah stan by, menyandarkan tubuhnya di depan kap mobil berwarna merah metalik. Sosoknya tetap terlihat keren meski hanya dalam balutan kaus abu-abu sederhana berlengan panjang yang dipadu jeans hitam. Di pundak kirinya ada hoodie kuning yang tersampir.
Ya, boleh diakui dia emang keren, selalu keren dan selalu cocok mau pakai apa pun juga. Sama kayak Raka.
"Eh? Punya Bang Satya?" tanya gue ketika tiba-tiba terfokus pada plat nomornya. B 54 TYA.
Dia mengangguk sambil berjalan memutar dan masuk di kursi kemudi. Sementara gue, masuk dan duduk di sebelahnya.
"Terus orangnya mana?"
"Di mini market. Dia bakal nginep di sini nanti," jelasnya seraya memasang seat belt, lalu menyalakan mesin. "Ada masalah?"
"Nggak sih, nanya aja."
Rinaldy nggak lagi menjawab. Seperti biasa. Dia banyak diam, agak pasif juga kalau diajak ngobrol. Jadi, ya sudah, gue memilih diam sambil mendengar alunan musik dari radionya dan berselancar di Twitter. Tapi, ah ... rasanya aneh juga di saat bareng seseorang, apa lagi dalam satu tempat, terus saling diam kayak lagi musuhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Freaky Wedding
RomanceBagaimana jadinya jika kamu dinikahkan paksa karena kepergok berzina, sementara lelaki yang akan menjadi suamimu itu belum kamu kenal sama sekali? Ini kisah tentang nasib nahas Adhisty Irawan. Gadis yang masih berstatus mahasiswi harus dinikahkan p...