Lidah Tak Bertulang

10 0 0
                                    


Senyum tak lesap dari bibir gadis cantik yang kini naik di podium sana. Beberapa saat lalu ia baru saja memenangkan kejuaraan pidato bahasa arab mewakili pesantrennya.

Maranatha Eliza, nama lengkapnya. Gadis yang beberapa bulan lalu terlihat tidak bersemangat hidup. Namun, hari ini matanya kembali bernyawa. Bukan hanya teman-teman bahkan orang tuanya pun jauh-jauh datang demi menyaksikannya tampil tadi.

Livia–sang mama–terlihat menyusut air mata karena melihat perubahan pada putri tunggalnya. Ia bahkan kini tersenyum sambil sesekali menggelayut di pelukan sang suami. Bangga, terharu, bahagia dan entah rasa apa lagi namanya. Kini hatinya menghangat demi melihat Natha jauh lebih baik.

"Assalamualaikum, Ma, Pa." Gadis cantik itu berbinar sembari menunjukkan pialanya. Piala pertama yang ia persembahkan untuk orang terkasihnya.

"Masyaa Allah. Sehat, Nak?" Hanggara mengelus kepala putrinya dengan sayang.

Livia dan Hanggara sudah lebih dulu meminta izin pihak pondok untuk membawa Natha makan siang siang bersama sebelum kemari. Jadi, di sinilah mereka sekarang. Di sebuah tempat makan kekinian yang cukup terkenal. Satu buah private room dipesan Hanggara untuk makan siang mereka.

Sembari menunggu pesanan, mereka menghabiskan waktu untuk melepas rindu. Entah apakah sudah lima bulan atau lebih, inilah pertama kalinya mereka berjumpa.

"Anak papa banyak berubah, ya? Gimana di pondok, betah?" tanya Hanggara. Pria berjambang tipis itu mengelus sekali lagi piala Natha.

"Alhamdulillah, Pa. Yang paling penting, Natha udah enggak ngerasa sakit tiap kali ingat …." Gadis itu menggantung kalimatnya. Ia tersenyum manis sekali.

Hari itu ….
Sekitar setahun yang lalu, hari yang mungkin akan selalu diingatnya sepanjang hidup. Saat itu gerimis mulai turun, ia yang baru keluar dari toko kue pun mempercepat langkah. Hati-hati ia melangkah menyusuri trotoar agar tart yang dibawanya tidak rusak.

"Mas Ardan pasti suka kuenya," lirihnya. Gadis 21 tahun itu tersenyum senang.

Kediaman sang pacar suda terlihat di jarak sepuluh meter di depan. Rumah bergaya minimalis dengan kolam kecil di berandanya.

Sesampainya di sana, tidak ada siapa pun yang terlihat. Biasanya akan ada satu mobil terparkir di garasi, mobil milik orang tua Ardan. Kali ini hanya ada motor milik kesayangan Natha yang terparkir sembarangan.

Sebelum mengetuk pintu, Natha mempersipakan kejutannya di meja depan. Akan tetapi, gerakannya terhenti ketika mendengar suara seorang perempuan dari dalam.

Natha hafal betul suara sang calon mertua, tetapi kali ini suaranya begitu asing. Disusul dengan renyah tawa kekasihnya di dalam rumah.

Awalnya, Natha tak begitu peduli dengan suara-suara itu. Bisa saja Ardan sedang bersama dengan teman-temannya sekarang. Namun, ketika ia membuka pintu, kuenya tumpah tak berbentuk.

Bagaimana tidak, saat kedua matanya melihat apa yang tengah terjadi di hadapannya. Dua manusia berbeda jenis sedang bermesraan. Parahnya … itu adalah Ardan, sedang mencumbu seorang perempuan  cantik yang entah siapa.

"Mas Ardan," panggil Natha.

Kedua sosok itu menoleh dan tampak terkejut melihat kedatangan Natha. Terlebih Ardan, ia segera merapikan dirinya kemudian mendekati gadis itu.

"Sa-sayang, aku bisa jelaskan. Dia cuma teman kerjaku, enggak lebih," ujar Ardan. Ia terlihat gugup, mungkin malu karena ketahuan mendua.

"Ah, iya. Kalian cocok kok, sama-sama dewasa. Bukan anak kecil kayak aku," sanggah Natha.

Bagaimanapun rupa hatinya, ia adalah perempuan bergengsi tinggi. Hancur perasaannya sudah tidak penting, ia akan menangis jika hanya ada Ardan saat ini. Akan tetapi, ada perempuan lain yang menjadi sebab kesakitannya. Jadi, ia tidak ingin terlihat menyedihkan.

"Baiklah. Maaf sudah mengganggu waktu kalian." Tangannya dicekal oleh Ardan saat hendak berbalik, tapi langsung ditepis kasar.

"Satu lagi. Kita … selesai, Mas!"

Panggilan Ardan tak lagi diindahkannya. Ia nekat menembus hujan, seluruh tubuhnya basah. Apalagi yang harus ia pertahankan ketika cinta tulusnya disia-siakan?

Saat inilah ia mengeluarkan air mata, menangis sejadi-jadinya. Lalu perlahan kata-kata manis Ardan berkelindan di kepalanya.

"I Love You, Maranatha Eliza."

"Cuma kamu satu-satunya."

"Kamu dan aku selamanya."

Kata-kata yang menyemangatinya selama beberapa waktu lamanya. Namun, terasa begitu menyekitkan sekarang. Natha sesenggukkan dan terduduk di tepi jalan.

"Natha. Kamu enggak apa-apa, kan, Sayang?" Livia memegang pundak putrinya. Wajahnya terlihat khawatir karena Natha melamun lagi.

"Eh, iya. Kenapa, Ma? Maaf Natha malah ngelamun. He-he-he."

Seharusnya Natha sudah lupa, kan? Namun, ia sendiri menyadari ada hal-hala yang tidak bisa dikendalikan oleh diri kita sebagai manusia. Contohnya ya itu tadi, kita tidak bisa memilah hal mana yang harusnya diingat. Karena pada dasarnya kenangan akan memutar sendiri apa yang ingin ia putar. Entah pahit atau manis, tiba-tiba saja teringat, tiba-tiba saja datang dan melekat.

Kidung Cinta Maranatha (Versi pendek)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang