Dalam perjalanan kembali ke pondok, Natha tak sekalipun melepas genggaman sang mama. Sebentar lagi, tangan lembut itu tak akan lagi terasa kehangatannya. Waktu yang diberikan Gus Khafi masihlah belum cukup membu-nuh rindu mereka.
"Ma, Pa, sering tengokin Natha dong. Kan kangen," ujarnya.
"Maaf ya, Nak. Papamu sibuk sekali akhir-akhir ini, makanya baru bisa datang sekarang,eh, kebeneran lagi ikutan lomba," jawab Livia.
Sementara Hanggara hanya tertawa pelan di balik kemudi. Pria berkumis tipis itu juga meminta maaf karena baru sempat menyambangi sang putri.
Di situasi begini, Natha ingat saat pertama kali datang ke Nurul Ilmi. Saat itu ia yang menolak mentah-mentah ide gila sang papa, memasukkannya ke pesantren. Namun, siapa yang sangka bahwa bengkel akhlak ini begitu berperan dalam penyembuhan luka batinnya.
Usianya masih sangat muda, baru dua tahun lulus SMA. Natha yang tak terlihat gairah hidupnya, merasa dibuang oleh orang tuanya. Ia merasa semakin terpuruk karena tidak berguna. Orang tua yang harusnya merangkulnya malah membawa ke tempat asing yang terkenal dengan kekangannya.
Awalnya, Natha banyak mengalami kesulitan. Mulai dari rasa tidak betah, harus mengulang sekolah diniyah, dibully karena lama menyerap pelajaran dan macam-macam hal. Sampai suatu ketika ia terlambat masuk ke kelas yang diampu Gus Khafi–putra kedua pemilik pesantren ini.
Gus Khafi yang terkenal killer itu, nyatanya memang seperti yang sering dibicarakan para santriwati. Tampan, tetapi jarang tersenyum. Jika Natha pernah melihat senyum laki-laki itu, maka ia adalah gadis beruntung. Dan ya … Khafi tersenyum ketika pertama kali mereka berjumpa.
Di satu senja berhujan saat Natha kehilangan semangatnya. Gus Khafi lah yang membawanya pulang dan meninggalkan jaketnya tanpa sengaja.
Kali ini ….
Jangankan senyum, salam gadis itu hanya dijawab sekadarnya."Siapa yang nyuruh sampean masuk?" tanya Gus Khafi tanpa beranjak.
"Ngapunten, Gus. Saya mau ikut pelajaran," ucap Natha takut-takut.
Laki-laki dengan garis wajah tegas itu berdiri, melirik jam di tangan lalu kembali menatap Natha yang menunduk.
"Niat mau belajar, tapi terlambat setengah jam. Ngapain aja sampean?" ucapnya dingin. "Keluar kelas, baca istighfar tiga kali, dilanjut Al I'tiraf, asmaul husna dan doa sebelum belajar baru masuk," imbuhnya.
Di detik itu Natha mendapat keberanian menatap Gusnya, tetapi baru sedetik ia menunduk lagi. Ternyata menatap mata elang Gus Khafi sama saja dengan bu-nuh diri. Jadi, daripada ia menambah murka gurunya itu Natha segera pamit keluar.
Dari sanalah semuanya dimulai. Takziran demi takziran, juga aturan baru yang dikhususkan untuknya adalah satu hal yang membuat pribadi Natha cepat berubah. Dengan telaten gadis itu menjalani hukuman dan kewajibannya sebagai santriwati.
Tanpa terasa mobil yang ditumpangi Natha memasuki halaman pesantren Nurul Ilmi. Beberapa santriwati dan asatiz sudah menunggunya sedari tadi. Begitu Natha membuka pintu, suara Nissa adalah pertama yang didengarnya.
Teman sekamarnya itu sudah heboh meninggalkan yang lain menyambut kedatangan Natha. Ia langsung memeluk tubuh ramping sahabatnya.
"Selamat Natha, kami bangga padamu."
"Terima kasih, ya. Ini semua berkat kamu juga, Nissa."
Natha menatap satu per satu teman-teman dan gurunya. Air mata hampir luruh saking terharunya, baru kali ini ia merasa bisa membanggakan. Nyatanya, patah hati memang bukan apa-apa.
Di dalam hati ia mengingat sebuah lagu yang terputar ketika di perjalanan tadi.
"Ya, manusia-manusia kuat itu ternyata kita, Teman-teman. Aku dengan sejuta kesedihanku dan kalian dengan ribuan masalah kalian, lalu kita bersama-sama melewatinya." Begitu bisik hatinya.
Bu Nyai Farah, Kiai Hamid dan putra keduanya mendekat. Gus Khafi yang lebih dulu mengangsurkan buket bunga di hadapan Natha.
"Ini janji saya kemarin, Natha. Sisanya nanti setelah saya khitbah sampean," ujar laki-laki dingin itu.
Ya. Sekarang bukan lagi saat menyesali apa yang terjadi di belakang kita, karena Natha sudah berjanji mewujudkan impian barunya. Impian menjadikan dirinya pantas untuk laki-laki di depannya.