'Aku bukanlah apa-apa
Bukan pula siapa-siapa
Hanya seseorang yang menggenggam hatinya sendirian
Sebab takut dipermainkanCukuplah sembilu menggores hatiku
Dulu
Kini biarkan saja seperti ini
Karena cinta, sama halnya air yang mengalir
Butuh waktu lama bertemu muaranyaAku adalah sabda Tuhan
Yang disisipkan sukma menempati sebuah raga
Yang kau datangi tanpa tapi
Yang kau cumbui dengan sejumput keyakinanMampukah aku, Wahai ….'
Kediaman keluarga Hanggara tengah ramai beberapa orang. Ba'da Isya tadi mereka mengadakan syukuran sederhana dengan mengundang anak-anak yatim. Sedikit berbagi kebahagiaan karena Natha yang sehat dan berprestasi di pesantren.
Gadis itu ikut pulang bersama orang tuanya, setelah tadi mendapat izin dari Kiai Hamid. Pria bersorban itu juga mengatakan bahwa malam ini akan bersilaturahmi ke rumahnya.
Sejenak, pandangan Natha beradu dengan manik hitam milik Gus Khafi. Mereka berdua saling melempar senyum tanpa kata, lalu sama-sama menunduk karena sadar tak boleh menatap terlalu lama.
"Natha … mending kamu siap-siap aja di dalam, Nak. Bentar lagi Kiai Hamid pasti sampai," titah Hanggara.
"Ngapain siap-siap, sih, Pa? Gini aja kali kayak mau ada siapa aja deh," timpal gadis bergamis cokelat itu.
Livia yang mendengar tertawa pelan. Perempuan itu menggeleng karena ternyata Natha masihlah putrinya yang apa adanya. Ia belum begitu dewasa untuk mempersiapkan bagaimana menyambut keluarga calon mertua.
"Ganti baju, Tha. Dandan sedikit sana, nurut aja apa kata papamu," sahut Livia.
Akhirnya karena kalah jumlah Natha segera berlalu menuju kamar.
*
Ditemani sepupunya, Natha sekarang ada di teras samping bersama Gus Khafi. Pemuda itu terlihat berbeda malam ini.
Koko berwarna navy dan sarung hitam melekat di tubuh kekarnya. Kali ini rambutnya dibiarkan tergerai tanpa peci, sesekali disugarnya dengan sebelah tangan ke belakang.
"Mau bilang sesuatu, Dek?"
Entah kenapa, tetapi Natha menangkap getar pada pertanyaan gusnya barusan. Bukan seperti Gus Khafi yang biasanya selalu lancar berbicara.
Natha menggeleng. Gadis itu memilin ujung jilbab, kemudian menyuruh laki-laki di depannya untuk mengajukan pertanyaan apa saja.
"Saya tahu ini mendadak buat sampean, Dek. Tapi … saya ndak mau lama-lama memendam perasaan tanpa ikatan yang halal. Jadi, apa ndak masalah saya khitbah sampean seperti ini?"
Nadia–sepupu Natha–menatap Gus Khafi takjub. Naru kali ini gadis bar-bar itu terpesona pada seorang lawan jenis hanya karena kata-katanya. Namun, hal itu tak berlangsung lama karena sadar laki-laki ini calon suami Natha.
Ia yang melihat Natha hanya diam, menyenggol lengan gadis itu pelan.
"Sikat, Tha. Jangan kelamaan," bisik Nadia tepat di telingan Natha, sembari cengengesan.
Beberapa menit tidak ada kata yang keluar dari bibir Natha. Di seberang sana, Gus Khafi sedikit gelisah, apakah ia telah salah bicara?
"Dek, sampean …."
"Gus …. Matur suwun dan maaf. Hanya itu yang bisa saya ucapkan sekarang, saya ndak punya apa pun untuk dibanggakan. Tapi, semisal njenengan mencari yang siap dibimbing saya yakin saya juaranya."
Perlahan senyum merekah di bibir keduanya, diiringi lembut angin malam membelai wajah mereka. Bukankah memang lebih indah ketika bibir tidak saling bicara, tetapi hati merasakan apa yang tak sempat disampaikan lewat kata?