Natha memainkan pena, menggambar bentuk tak jelas karena entah pikirannya hari ini tertuju pada seseorang. Beberapa kali panggilan dari Ustazah Rina pun tidak didengarnya, ia masih asik dengan bulatan-bulatan kecil yang ia buat."Natha, dipanggil tuh. Hei, Natha!" Nissa menyenggol lengannya. Gadis itu malah yang jadi salah tingkah karena Ustazah Rina menatap mereka dari depan sana.
Satu kelas mulai melirik ke tempat Natha duduk.
"Maaf, Ustazah," lirih Natha akhirnya.
"Coba Mbak Natha, sudah ngerti belum sama apa yang saya jelaskan barusan. Sampean dari tadi nunduk terus ndak konsentrasi, ada apa, Mbak?" tanya perempuan berjilbab ungu itu.
"Mboten, Us. Maaf saya ndak ngerti sama sekali," ujar Natha pasrah.
Mama … Natha pengen menghilang saja!
"Sepertinya lagi ada yang dipikirkan, mikirin apa, Mbak?" Ustazah Rina berjalan mendekat, yang membuat Natha langsung menutup buku catatannya.
"Mikirin Gus e, Us." Tanpa sadar gadis itu begitu jujur mengakui perasaannya sekarang.
Duh, ya ampun!
Seisi kelas terkekeh karena jawaban Natha, termasuk Ustazah Rina. Perempuan itu urung mendekat dan kembali menulis sesuatu di papan.
Sementara Natha, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Malunya ….
Tak berselang lama, Bu Nyai Farah datang dan meminta izin membawa Natha keluar.
"Pinjam Nathanya sebentar ya, Us. Ada yang harus dipersiapkan," ujar Bu Nyai.
"Njih, Bu Nyai. Silakan …."
*
Diantar Kang Kholil, Natha, Bu Nyai Farah dan kakak perempuan Gus Khafi–Ning Zarra–bertolak ke sebuah mal tak jauh dari pesantren.
Di sepanjang perjalanan, Natha hanya diam sembari memilin ujung jilbabnya. Ia menimbang akankah mengutarakan isi hatinya pada sang calon mertua dan iparnya itu. Namun, apa waktunya tepat?
Bu Nyai Farah yang melihat gelagat berbeda Natha, menggenggam jemari gadis itu. Membuat pemiliknya mendongak kemudian tersenyum.
"Ono opo, Nduk?"
"Mboten, Bu Nyai."
"Eh, Umi, Nduk," koreksi perempuan bersahaja itu.
"Kayaknya ada yang lagi dipikirin ya? Ndak mau cerita sama umi?"
Natha melirik Ning Zarra yang duduk di samping uminya, ia terliht menikmati perjalanan sembari memainkan ponsel.
"Umi …." Natha menjeda ucapannya. "Apa ndak masalah kalo Gus e menikah dengan saya?"
Mendengar itu kening Bu Nyai Farah mengerut.
"Ma-maksud kula begini, Gus Khafi putra kiai, apa ndak masalah kalo istrinya orang biasa? Biasanya kan seorang gus itu, menikah dengan nawaning, Umi. Kula cuma takut saja ndak bisa mengimbangi Gus Khafi nantinya," ujar Natha.
"Iyo. Ada benarnya, Nduk. Umi sama Abahmu juga Gus dan Ning, tapi kami ndak pernah menentukan jodoh anak-anak kami harus dengan keturunan kiai juga. Lagi pula bukan karena keturunan siapa seseorang bahagia, Nduk. Yang terpenting adalah sifat dan sikapnya. Umi pribadi selalu mendengarkan apa yang dimau anak-anak umi.
Mbakmu Zarra ini juga suaminya bukan seorang gus. Dari keluarga biasa yang kebetulan Allah membukakan hati orang tuanya untuk merestui. Itu saja.
Dan kamu, Nduk. Umi sangat mengenal bagaimana Khafi, dia itu sangat pemilih dalam hal apa pun. Selama ini bahkan sudah berapa kiai yang melamarnya untuk putri mereka, nyatanya … putra kesayangan umi itu memilihmu. Itu artinya kamu yang terbaik untuknya, Nduk. Tugasmu hanya percaya, lalu menjadi lebih baik bersama-sama nantinya."
Kalimat panjang calon mertuanya bagaikan oase yang menyegarkan gersangnya pikiran Natha sesaat lalu. Ia bahkan tak pernah menyangka bahwa keluarga Kiai Hamid adalah orang-orang yang luar biasa.
Tanpa terasa mereka sudah sampai di pelataran mal. Setelah mengatakan akan menunggu di parkiran, Kang Kholil melajukan Fortuner hitam menjauh.
Mereka langsung menuju ke sebuah butik busana muslim langganan Zarra. Perempuan ayu itu menggandeng Natha yang tampak malu-malu.
"Akhirnya bentar lagi ada temen nggosip," ujarnya. Natha hanya membola mendengarnya.
Gosip? Duh ….
Entah sudah berapa lama ketiga perempuan itu mengitari satu galery ke galery lain membeli perlengkapan untuk seserahan. Sampai di satu waktu Zarra diminta sang umi mengantarnya ke toilet.
Sementara Natha menunggu sambil melihat barang-barang perempuan yang dipajang. Gadis itu mencoba satu demi satu sepatu yang menurutnya cocok untuknya.
"Natha …."
Suara seseorang menginterupsi kegiatan Natha. Betapa terkejutnya ia melihat siapa sosok yang mengucap namanya barusan.
Gadis itu buru-buru menjauh sebelum ada yang melihat. Ia tidak ingin berhubungan dengan lelaki itu lagi.
"Natha, tunggu!" Lelaki itu menghadang Natha. "Kamu ngehindarin aku?"
"Minggir, Mas. Kita udah ndak ada urusan," ujar Natha dingin.
Lelaki bernama Ardan itu terus mengikuti kemanapun Natha melangkah. Ia juga berjalan di sisi gadis itu, berusaha mengajak bicara dan menghentikan pangkah sosok di sebelahnya.
"Bisa ndak, ndak usah ganggu aku lagi?" Natha menekan suaranya. Sebenarnya di detik ini ia ingin sekali memaki.
Melihat Ardan di sekitarnya sama saja membuka luka lama. Sungguh, ia benci situasi ini.
"Dengerin aku, Nath. Aku cuma mau minta maaf buat semua yang udah aku lakuin. Aku mau kita kayak dulu," ujar Ardan melunak.
"Ndak ada lagi yang harus kita bahas. Kita udah berakhir, Mas. Jadi, tolong jangan pernah temuin aku lagi." Setelahnya Natha kembali berjalan.
Sayangnya, tangannya dicekal dari belakang. Ia disudutkan Ardan dan menguncinya di tembok, belanjaan Natha jatuh berantakan.
"Aku cuma minta kesempatan biar kita bareng-bareng lagi, Nath! Terlalu sulit tah, kasih aku waktu buat pembuktian?"
"Kesempatan kamu bilang? Ndak ada ya di kamusku bakal balikan sama orang yang buang aku macam sampah. Lagian aku bentar lagi nikah, jadi, jauh-jauh sana!" bentak Natha.
Gadis itu hampir menangis karena teringat masa lalunya. Sungguh, bukan benci atau dendam yang kini bercokol di hatinya. Ia hanya mau laki-laki di depannya ini sadar bahwa mereka tidak mungkin lagi bersama.
Natha hanya terlalu kesal hingga sesenggukkan sekarang. Ardan yang melihat itu merasa iba, tetapi tetap kukuh ingin kembali pada Natha. Ia tetap memaksa gadis itu menerimanya. Tangannya bergerak ingin menyentuh wajah Natha ketika sebuah pukulan mendarat di pipinya.
Bugh!
"Jangan pernah sentuh, Natha!"
Gus Khafi segera membawa Natha menjauh dari sana, tepat saat kakak dan uminya kembali dari toilet.
Natha masih terlihat shock. Ia menangis sembari berjongkok. Beberapa orang memperhatikan tingkahnya, dan Gus Khafi masih setia menemani gadis itu.
"Kenapa, Le?" tanya Bu Nyai Farah.
"Mbak, tolong bawa Natha ke mobil. Aku yang antar dia pulang, Umi sama Mbak Zarra dulu ndak apa-apa, kan?" Tanpa menjawab pertanyaan sang umi, laki-laki itu langsung berjalan mengiring kesayangannya menuju tempat parkir.
*
Entah apa yang akan terjadi jika Gus Khafi tidak muncul tadi. Namun, setidaknya Natha merasa aman bersama calon suaminya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan selama laki-laki itu ada di dekatnya.
"Sampean ndak apa-apa, Dek? Ini diminum dulu," ujar Gus Khafi seraya menyerahkan sebotol air mineral.
"Matur suwun, Gus. Saya ndak apa-apa."
Beberapa saat lalu, Gus Khafi merasakan amarahnya memuncak. Ia tidak tahan hingga melayangkan pukulan di wajah Ardan, beruntung tingkahnya tidak memancing perhatian. Saat itulah ia merasakan jadi Natha.