Antara Shafa dan Natha

2 0 0
                                    


"Bukannya ndak mau rembukan sama Njenengan, Mas. Cuma memang mendadak kemarin itu," ucap Kiai Hamid.

"Lha apa alasannya? Rumah kita lho ndak jauh-jauh amat, apa memang sudah ndak ngehargain aku jadi sulihe Romo?" sanggah Kiai Mada.

Pria sepuh itu merasa tidak dihargai lantaran keluarga adiknya yang telah melamar Natha sebagai calon istri Gus Khafi. Beliau kurang berkenan karena Natha yang bukan seorang nawaning. Lagi pula, Kiai Mada sudah beberapa kali meminta adiknya agar menikahkan Gus Khafi dengan putri sahabatnya.

"Pakdhe, nyuwun ngapunten. Saya yang bersalah di sini, bukan Abi atau Umi karena saya yang meminta untuk segera mengkhitbah Dek Natha. Saya ndak mau terus-terusan berdosa karena memiliki rasa pada lawan jenis tanpa ikatan yang jelas, Pakdhe."

Kali ini Gus Khafi berani tampil berbicara di depan kiai sepuh itu. Rasanya ia sudah tidak bisa menahan diri, selama ini Kiai Mada seperti sudah terlalu banyak ikut campur mengenai ranah pribadinya.

"Apa menariknya perempuan itu dibanding Ning Shafa, Le?"

Lirih Gus Khafi beristighfar. Ternyata pakdhenya belum menyerah menjodohkan dirinya dengan Ning Shafa, putri pemilik pesantren yang cukup terkenal di kota sebelah.

"Mencari jodoh itu sama halnya memilih baju ta, Pakdhe. Khafa cuma memilih yang sekiranya pas dan cocok untuk Khafa pakai–"

"Apa kamu masih ndak mikir juga gimana ngaruhnya Ning Shafa kalau kalian menikah? Banyak untungnya, Le. Kalian sekufu, nasabnya sudah pasti baik dan orangnya juga cantik serta saliha. Ditambah lagi yang paling penting, dengan menikahi Ning Shafa pesantren milik pakdhe dan abimu bisa semakin terkenal," potong pria itu.

Natha yang tadi diberi titah Bu Nyai Farah membawa minuman mendengar semuanya. Ia jadi tahu bahwa di keluarga ini ada yang tidak setuju dengan pernikahannya. Gadis itu segera memutar langkah, tidak jadi ke depan membawa minuman.

Ia kembali ke dapur dan duduk menenangkan hatinya yang tiba-tiba terasa gundah. Baru beberapa hari ia merasa menjadi gadis paling beruntung, tetapi hari ini ia seperti disadarkan oleh ucapan Kiai Mada.

"Loh, Natha, kamu ndak jadi bawa minuman sama camilannya ke depan?" tanya Nuri, salah satu mbak ndalem.

"Minta tolong kamu aja yang kasih ke depan ya, Mbak?"

Setelahnya ia pamit akan kembali ke asrama lewat pintu belakang. Sudah tidak ada lagi kepentingan yang membuatnya harus ada di ndalem Nurul Ilmi sekarang.

Sementara di ruang tamu, Nyai Farah dan Gus Khafi sedikit terhenyak karena yang membawa minuman bukan Natha. Rencananya, gadis itu akan dikenalkan dengan Kiai Mada. Siapa tahu dengan begitu persepsi pria itu sedikit berubah setelah melihat sosok Natha.

Akhirnya, Gus Khafi mengikuti Mbak Nuri ke dapur kemudian menanyakan keberadaan Natha.

"Ndak tahu, Gus. Kalo ndak keliru Natha balik ke asrama tadi lewat pintu belakang."

Tanpa mengucap apa pun lagi Gus Khafi melesat menyusul kesayangannya. Ia melewati lorong di samping masjid agar sampai di pondok putri lebih cepat. Namun, langkahnya melambat saat melihat sosok yang dicarinya berada di pinggir kolam.

Natha terlihat sedang melemparkan pelet ke dalam kolam, yang langsung disambar ikan-ikan kecil di dalamnya. Gadis itu tersenyum samar, membayangkan semua persiapan yang ia lakukan nyatanya harus menuai kegagalan.

"Assalamualaikum," sapa Gus Khafi.

Sedikit kaget dijawabnya salam laki-laki itu oleh Natha. Namun, sejurus kemudian ia melangkah menjauh. Gus Khafi segera menarik ujung jilbab Natha hingga mau tak mau gadis itu berhenti.

"Sampean kenapa, Dek?"

Natha hanya diam tidak berani berbalik atau pun menjawab karena lidahnya kelu sekarang. Bahkan bibirnya bergetar menahan tangis. Yang bisa dilakukannya hanyalah berkedip dengan cepat agar air matanya tidak tumpah.

Gus Khafa yang tidak sabar memilih membalikkan tubuh Natha menghadapnya. Ia melihat mata gadis itu kemerahan menahan isak.

"A-apa pernikahan kita bakal gagal, Gus?"

"Kenapa berpikir sejauh itu? Hm?"

"Aku ndak sengaja dengar tadi tentang pembicaraan kalian sama Kiai Mada. Aku juga ndak kenal sama Ning Shafa, Gus, tapi … kalau dia beneran nawaning aku udah pasti kalah segala-galanya."

Kini setetes embun jatuh di pipi halus Natha. Ungkapan bahwa ia sedang tidak baik-baik saja sekarang. Yang ia tahu …. Nawaning adalah ia yang berpakaian menutup aurat dengan sempurna. Yang baik juga cantik fisik dan akhlaknya. Ditambah menurut yang ia dengar tadi, keluarga Ning Shafa pastilah berpunya.

Sedangkan dirinya?

Susul menyusul air mata Natha mulai mengalir tanpa henti, ia usap dengan kasar dan yang lain datang lagi. Begitu seterusnya hingga beberapa menit. Sampai sebuah suara menenangkan kewarasannya.

"Apa artinya nawaning yang sempurna kalau cuma kamu yang bisa bikin saya bahagia, Natha? Saya memilihmu dan saya ndak menyesal membuat keputusan seperti itu. Jadi, bisakah berhenti menangis karena kita pasti akan selalu sama-sama?"

Kidung Cinta Maranatha (Versi pendek)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang