Perseteruan Teman Sekamar

1 0 0
                                    

"Rahma, apa maksudnya ngomong begitu? Apa kamu ngerasa udah lebih baik dari Natha sampai bilang dia ndak pantes sama gus e?"

Nissa terlihat meradang karena mendengar ucapan teman sekamarnya yang begitu menyudutkan Natha. Gadis itu tak terima saat tahu sahabatnya dijadikan bahan ghibah.

Sementara Natha yang baru kembali dari ndalem Nurul Ilmi terlihat bingung. Teman sekamarnya beberapa kali menaruh barang dengan kasar, bahkan terkesan dibanting secara sengaja. Di ujung sana gadis bernama Rahma juga menatap sinis ke arahnya.

Natha mendekati Nissa, "Kenapa?"

Belum sempat Nissa menjawab, Rahma mendekat. Gadis bergamis maroon itu bersedekap dan langsung menyerang Nissa.

"Jangan karena kalian dekat jadi kamu seolah-olah tahu bagaimana perangai Natha. Aku cuma heran saja kenapa gus e mau sama yang ndak sekufu," sinis gadis itu.

Natha yang mulai memahami situasi segera mengajak Nissa keluar dari sana. Tidak ada gunanya meladeni seseorang yang sudah terlanjur tidak suka.

"Tapi, Nath. Harusnya kamu sumpal aja mulutnya tadi, sembarangan kalo bicara," ujar Nissa kesal.

Di satu sisi Natha bersedih karena apa yang diucapkan Rahma memanglah kenyataan. Ia bukan siapa-siapa, bahkan orang yang tidak mengenalnya sekalipun pasti akan berargumen sama. Namun, di sisi lain ia bersyukur punya Nissa yang mengerti dirinya.

Mereka bahkan baru beberapa bulan ini dekat, tetapi kedekatan keduanya tidak bisa dipandang sebelah mata. Apalagi jika melihat bagaimana sikap Nissa yang selalu membelanya. Satu sahabat sudah lebih dari cukup bagi Natha

"Sudahlah. Lagian yang dibilang Rahma kan ndak sepenuhnya salah, aku aja heran kenapa Gus Khafi mau sama aku." Gadis itu tertawa pelan membuat sang sahabat semakin kesal.

Nissa melangkah tanpa memedulikan Natha yang memanggilnya di belakang.

"Weleh, ngambek ta?" ujar Natha saat berhasil menyusul Nissa.

"Mbuh, laper aku."

Mereka lalu menuju kantin yang tampak lengang, setelah memesan dua porsi bakso dan es jeruk mereka memilih tempat paling ujung. Dekat dengan sebuah tanah lapang yang biasanya digunakan para santri berolahraga.

Di sela makan, Natha memperhatikan Nissa yang tampak nikmat mengunyah makanannya.

"Makasih ya, Nis. Kamu selalu belain aku, padahal kita ini belum lama kenal. Kamu baik banget sama aku, makasih banyak ya," ujar Natha tulus.

"Jangan ge er ya, Nath." Gadis manis itu menyeruput minumannya. "Aku tuh tadi cuma ndak mau aja kalo ada orang sembarangan ngomongin keluarga ndalem, kita ini santri. Ndak pantes rasanya ngomongin keluarga guru sendiri, ilang barokah ilmuku nanti," lanjutnya.

Natha tersenyum geli, sembari mengiyakan apa yang dikatakan sahabatnya barusan.

"Iya deh, iya."

Ya, terkadang sahabat itu bukanlah seseorang yang kita kenal begitu lama. Akan tetapi, ia adalah seseorang yang mengenal kita lebih dari siapa pun, yang membela kita dalam keadaan apa pun dan yang siap pasang badan saat dunia menyudutkan kita.

Natha berjalan lebih dulu untuk membayar semua pesanan mereka, lalu meninggalkan Nissa yang geleng-geleng kepala melihat kelakuannya.

"Jangan berubah nanti kalo kamu udah jadi ning, ya, Nath. Selama di sini, aku baru nemuin orang yang beneran tulus mau temenan sama aku. Dan itu kamu," ucap Nissa saat kembali ke asrama.

Natha terkekeh lagi. "Gimana kalo nanti kamu jadi santri ndalem aja, Nis? Biar kita tetep bisa sama-sama?"

"Ih ndak mau ya,nanti yang ada kamu nyuruh-nyuruh aku lagi," jawab Nissa.

Setelahnya mereka tertawa bersama. Bukankah hal yang hebat saat kita berhasil menemukan seseorang yang mengerti? Laiknya Natha yang bertemu Nissa, Gus Khafi pun merasakan hal sama. Laki-laki itu merasa menemukan separuh dirinya pada sosok Natha.

"Pantas saja kalian cepat dekat, dua-duanya sama. Sama-sama tulus," gumam laki-laki itu memandang keduanya dari kejauhan.

Kidung Cinta Maranatha (Versi pendek)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang