Selepas setoran hafalan pada Ustazah Rina, Natha kembali ke kamar. Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur sembari memejam sebentar. Beberapa menit kemudian matanya terbuka, lalu beringsut mengambil sebuah buku harian yang ia simpan di lemari.'Karena setelah kupikirkan sekali lagi, ada banyak perbedaan yang terlalu kentara di antara kita. Sudah kupasrahkan semua pada Sang Pemilik Jiwa. Sudah kutitipkan puisiku pada bintang semalam yang menggantung di atas sana. Namun, pada akhirnya takdirlah yang tak berpihak untuk kita …. Lalu senja berhujan itu kembali terulang, harus kulepas apa yang tak seharusnya tergenggam.'
Entah kenapa rasanya gadis itu ingin menulis kata yang demikian. Seperti firasat akan kelanjutan hubungannya dengan Gus Khafi setelah ini.
Sementara di luar sana, dua mobil memasuki halaman Pesantren Nurul Ilmi. Mobil milik Kiai Mada dan satu lagi terlihat asing bagi penghuni pesantren ini. Mobil itu milik keluarga Ning Shafa.
Kang Kholil yang menyambut mereka, setelah semuanya berkumpul di ruang tamu ndalem khodam Gus Khafi itu segera memberi tahu gusnya.
Saat ini putra kedua Kiai Hamid itu sedang berada di Distro tak jauh dari pondok. Sebuah usaha yang baru digelutinya tiga tahun ke belakang. Begitu mendengar keterangan Kang Kholil, laki-laki itu langsung melesat kembali ke rumahnya. Ia bahkan hanya berlarian karena sangking paniknya.
Sekitar sepuluh menit kemudian Gus Khafi sampai di halaman pondok. Napasnya masih terengah ketika melihat Natha yang bersimbah air mata di sana. Sendirian di bawah payungan hujan. Didekatinya gadis itu dan langsung menyampirkan jaketnya di atas kepala Natha, melindungi gadis itu dari air hujan.
"Aku sudah berusaha, Gus. Nyatanya sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengaku kalah. Aku menyerah, maaf," lirih Natha.
"Hei, apa maksudnya? Tunggu sebentar, aku tak ke dalam matur Umi sama Abi dulu. Jangan kemana-mana," ujar laki-laki itu.
Setelah mengucap salam, Gus Khafa segera menghampiri semua yang ada di sana. Ia juga tanpa basa-basi menanyakan perihal Natha yang menangis sendirian di luar. Akan tetapi, amarahnya kembali tersulut saat Kiai Mada menyampaikan maksud dan tujuannya membawa Ning Shafa.
"Orangnya saja ndak apa-apa kok, Le. Tadi pakdhe sudah ngomong sama dia, ada orang tuamu juga. Jadi, tinggal kita resmikan saja hubunganmu dengan Ning Shafa," tegas Kiai Mada.
"Ndak, Pakdhe. Mohon maaf sekali lagi, tapi Khafi ndak bisa. Pilihan Khafi sudah jelas, jadi, tolong jangan lagi memaksa."
Tanpa pamit laki-laki itu kembali ke teras, berharap Natha mendengar perkataannya. Akan tetapi, agaknya gadis itu menunggu terlalu lama hingga ia melangkah kembali ke asrama.
"Natha!"
Napas Gus Khafi masih belum teratur karena sejak tadi berlari. Ia menjelaskan singkat apa yang menjadi keputusannya pada gadis itu.
"Sudahlah, Gus. Aku ndak mau jadi egois begini, lagi pula tujuanku belajar bukan mendapatkan Njenengan. Turuti saja maunya Kiai Mada, aku ndak apa-apa," ujar Natha.
Sungguh. Segala cara sudah dilakukan gadis itu. Belajar tekun, menghafal banyak ayat juga berbicara pada sang papa agar bisa menjadi donatur utama Nurul Ilmi. Namun, semua usaha itu tidak cukup berharga di hadapan Kiai Mada. Kiai Hamid dan Nyai Farah juga begitu manut pada kakak tertuanya itu, urun rembug pun menjadi sebuah kesia-siaan ketika kiai sepuh itu sudah punya mau.
"Ya! Kamu memang egois, Natha. Kamu cuma memikirkan apa yang menurutmu terbaik untuk hubungan kita, tapi luput melihat bagaimana hatiku saat kamu memutuskan menyerah."
Langkah Natha terhenti, kata-kata gusnya barusan begitu menohok dalam hatinya. Sekejam itukah dirinya sekarang?
"Aku juga sedang berusaha, Natha. Aku juga berjuang untuk kita. Haruskah … haruskah kita berakhir saling menyakiti seperti ini?" Gus Khafi menarik napas panjang, menghalau geletar rasa sakit dalam rongga dadanya yang semakin ditahan malah semakin kentara.