Tolong Kembalilah

0 0 0
                                    

Pada akhirnya setelah perbicaraan Natha dan Gus Khafa sore itu, Natha tidak melangkah ke kamarnya. Ia berbalik ke ruang asatidz untuk menemui Ustazah Rina. Gadis itu meminjam ponsel gurunya sekitar lima menit untuk menghubungi sang papa.

Natha tidak menjelaskan apa pun, hanya saja ia meminta orang tuanya menjemput malam ini juga. Tanpa pamit pada keluarga ndalem, Natha menyeret kopernya ke halaman. Saat ini para santri sedang kajian selepas salat magrib, suasana lengang saat Natha keluar asrama.

"Assalamualaikum, Ning. Maaf, ini … mau ke mana?" Kang Kholil yang kebetulan lewat menyapa.

Usai menjawab salam santri itu Natha hanya tersenyum sekilas, kemudian kembali melangkah. Ia membiarkan tanya Kang Kholil menggantung tanpa jawaban.

"Apa harus kuberitahu gus e?" gumam Kang Kholil, sesaat setelah Natha menghilang di balik gerbang.

***

Entah sudah berapa batang rokok yang diisap Gus Khafi malam ini. Setelah gagal meyakinkan orang tuanya untuk menyusul Natha, laki-laki itu kini berdiam diri di belakang pondok.

"Sampun, Gus." Kang Kholil mencekal tangan Gus Khafi yang hendak menyalakan sebatang rokok lagi. "Napa wonten penggalih, Gus? Ngapunten, tapi ndak biasanya njenengan begini. Biasanya gus e kersa berbagi kalih kula," ucap Kang Kholil.

Yang diajak berbicara hanya diam dan membuang pandangannya ke sembarang arah. Ia juga heran dengan dirinya sendiri, ternyata kehilangan Natha begitu parah pengaruhnya.

Sekian hari berlalu ….

Gurat lelah begitu terlihat di wajah putra kiai itu. Terhitung sudah seminggu sejak terakhir kali melihat Natha. Entah berapa hari ia tidak memejamkan mata, juga makan dengan lahap. Gus Khafi hanya selalu terlibat dengan persiapan pengajian akbar yang rutin pesantrennya adakan setiap bulan. Belum lagi, ia harus terjun langsung ke distro untuk memantau perkembangan usahanya. Sebisa mungkin laki-laki itu menyibukkan diri agar terlupa, atau paling tidak terbiasa tanpa kehadiran Natha.

Nyatanya, bayangan gadis ayu itu selalu menghantuinya. Seperti sekarang ini, ia berlarian di sepanjang koridor mengejar seseorang yang diyakininya sebagai Natha. Tubuhnya tumbang tepat di depan ruang serbaguna. Kang Kholil dan santri yang lain segera berlarian ketika gusnya ambruk di depan mereka.

Setelah sadar, Gus Khafi dibawa ke kamar Kang Kholil karena sebelumnya menolak saat akan dibawa ke ndalem. Ia hanya meminta waktu beristirahat sebentar di kamar khodamnya itu.

"Aku ngerasa mulai gila, Kang. Tadi … aku ngerasa seperti melihat Natha, makanya tak kejar sampai aula." Gus Khafi menyandarkan kepalanya ke dinding. Tangan kanannya menutup mata sementara isak lirihnya mulai terdengar.

Baru kali ini Kang Kholil melihat gusnya seperti itu, sorot mata yang biasanya tajam itu kini redup bagai tak bernyawa.

Lirih kalimat istighfar beberapa kali meluncur dari bibir Gus Khafi. "Dulu Abi pernah ngendhika, Kang. Uwong yen lagi nandhang wuyung iku abot sanggane. Ternyata memang sesakit ini mengenal cinta …."

Kang Kholil sendiri bingung harus menjawab seperti apa. Ia sendiri bahkan belum pernah merasakan bagaimana mencintai seorang perempuan.

***

Nyai Farah kini sedang dirundung duka juga, menyaksikan bagaimana Gus Khafi menjalani hari akhir-akhir ini membuatnya menjadi tidak tega. Perempuan itu tahu betul bagaimana sang putra begitu menyayangi Natha. Namun, ia tidak bisa berbuat apapun untuk sang putra. Kepedihan mana lagi yang ia rasakan sebagai seorang ibu?

"Le …." panggilnya.

Ia menghampiri Gus Khafi yang termenung sendirian di teras ndalem. Tangannya memegang mushaf, tetapi matanya memandang lurus ke depan. Entah sedang melihat apa.

"Nggih,  Umi? Wonten dhawuh?" tanya laki-laki itu.

"Ndak. Umi cuma pengen ngobrol saja sama kamu, sudah lama ta kita ndak ngobrol kayak gini. Sambil nungguin abimu pulang," ujar Bu Nyai Farah.

Perempuan dengan tiga orang anak itu, melihat luka dalam sorot mata putra keduanya. Sorot kehilangan yang nyata meskipun bibirnya tengah mengukir senyum. Dan sebagai ibu … ia tahu luka macam apa itu.

"Sabar ya, Le. Salah satu tanda jodoh itu adalah ketika kalian dimudahkan, dan restu kalian dapatkan."

"Mi, boleh ndak kalo ndak usah bahas ini? Khafi ndak mau salah ngomong terus nyakitin Umi. Khafi juga ndak mau bahas Shafa, bukan dia yang kuinginkan, Mi," sanggah Gus Khafi.

Keduanya kini sama-sama terdiam. Memandang langit yang semakin kelabu, sepertinya hujan akan turun sebentar lagi. Salah satu waktu mustajab untuk berdoa.

Gus Khafi meminta pada Pemiliknya agar diberikan jalan untuk membawa Natha kembali ke Nurul Ilmi. Sementara Bu Nyai Farah meminta agar dihapuskan kepahitan yang sedang diderita oleh sang putra.

'Balik, Dek. Kembalilah ke sini agar setidaknya aku bisa lihat sampean tersenyum. Kembalilah dan lihat betapa kacaunya aku tanpamu.

Aku ndak yakin bakal kembali menjatuhkan hati, sedangkan cinta pertamaku saja rasanya sesakit ini. Tolong …. Kembalilah, Dek. Agar setidaknya aku bisa terus jaga sampean, meskipun kita ndak bisa sama-sama.'

Kidung Cinta Maranatha (Versi pendek)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang