Bukan Kisah Yusuf dan Zulaikha

1 0 0
                                    

Memutuskan boyong bukanlah hal mudah untuk Natha, terlebih keadaanlah yang 'memaksa' ia melakukan itu. Akan tetapi, pilihan sulit itu diambilnya demi membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia sudah benar-benar hijrah.

Adanya Gus Khafi tidak berarti bisa membuatnya terbelenggu nafsu. Mungkin benar, rasa itu masih ada. Namun, bukan berarti ia menuruti rasa sukanya untuk berbuat nekat.

Ia masih terlalu waras untuk bisa terlalu jauh memperjuangkan perasaannya. Natha lebih memilih menepi sembari terus memperbaiki diri. Ditambah lagi, hari itu ia melihat sendiri betapa serasinya Gus Khafi bersisihan dengan Ning Shafa. Sungguh, sebuah pilihan tepat yang sudah diambilnya.

Gadis itu sedang sibuk di dapur untuk mencoba resep baru, saat di depan terdengar sang papa berbicara dengan seseorang. Sementara, sang mama juga tengah memberinya kode tentang siapa yang datang.

"Mama ke depan ajalah, biar Natha yang terusin," ucapnya sembari mengendikkan bahu.

Beberapa saat kemudian ia dengan cekatan meracik bumbu-bumbu juga memasukkan adonan kue ke dalam loyang.

Di ruang tamu keluarga itu, ada Bu Nyai Farah dan Kiai Hamid yang sedang berbicara serius dengan orang tua Natha.

Pertama mereka saling bertanya kabar dan basi-basi seperti biasanya. Livia segera kembali ke dapur untuk membuatkan minuman, ia juga berpesan pada Natha agar menyelesaikan masakannya saja.

"Ada tamu, Nak. Nanti ajalah kamu keluarnya, lagi ngomong penting sama papa," ujar Livia. Perempuan cantik itu tidak mau anaknya bertanya lebih jauh tentang tamu mereka.

"Nanti kalau udah siap, bawa ke depan, ya." Tanpa menunggu jawaban Livia melenggang sembari membawa 3 cangkir minuman hangat.

*

"Maaf karena baru bisa sambang sekarang, Pak. Saya dan keluarga sedang mengurus sesuatu akhir-akhir ini." Kiai Hamid mengelus jenggotnya yang panjang.

"Juga … kedatangan kami kemari ingin memperjelas bagaimana kelanjutan hubungan anak saya dengan Nduk Natha," lanjut pria itu.

Livia menatap suaminya yang terdiam. Mereka sudah mengira bahwa Natha pulang mendadak, pasti karena telah terjadi sesuatu.

"Sebenarnya saya sendiri merasa heran, Yai. Natha itu ndak pernah menghindari kami saat membahas sesuatu, tapi sejak hari itu dia selalu enggan membahas alasannya minta pulang. Saya juga minta maaf karena anak saya lancang meninggalkan pesantren tanpa pamit seperti itu," jawab Hanggara setelah beberapa saat.

Lalu mengalirlah cerita secara bergantian dari Kiai Hamid dan Nyai Farah tentang apa yang terjadi. Itulah mengapa, sebagai orang tua Gus Khafi mereka sampai merasa harus datang kemari. Apalagi rasa tak tega ketika melihat putranya yang murung sepanjang hari.

"Jadi begitu, Pak, Bu. Saya sebagai uminya Khafi, meminta maaf atas semua yang terjadi. Dan berharap jika Nduk Natha mau kembali ke Nurul Ilmi." Kali ini Bu Nyai Farah yang berbicara.

Suasana kembali cair saat Livia mengungkapkan hal yang sama. Ia juga ingin Natha kembali ke pondok, semata-mata karena perubahan gadis itu. Jikalau akhirnya Natha berjodoh dengan Gus Khafi, tentu itu sebuah bonus yang menambah kebahagiaan mereka.

*

Di sinilah Natha sekarang ….
Ia menatap sekeliling halaman Nurul Ilmi yang tampak sama seperti terakhir kali dilihatnya. Masih terhias dengan daun-daun yang berguguran di pavingnya. Tiba-tiba sebuah jeritan menyapa telinga gadis itu. Suara cempreng Nissa yang langsung menubruknya tanpa ampun. Tubuhnya sampai terhuyung karena terkejut.

"Astaghfirullah, Nis! Pelan-pelan," ucapnya sambil membalas pelukan sang sahabat.

Mereka berdua berjalan beriringan ke arah pondok putri, tetapi urung saat Bu Nyai Farah memanggil Natha.

"Mau ke mana, Nduk? Kamu tidurnya di ndalem saja, di kamarmu yang lama sudah diisi sama santriwati baru."

"Yah,Bu Nyai. Berarti Nissa ndak bakal sekamar lagi sama Natha," keluh gadis berjilbab lebar itu.

"Sudah Mbak Nissa balik asrama dulu, biar Nduk Natha istirahat," titah Bu Nyai.

Akhirnya Nissa pun berlaku setelah mencium tangan istri pengampu pondok itu, dan mengucap salam.

Di ndalem Nurul Ilmi, Natha terlihat celingukan. Rasanya ia belum siap bertemu dengan Gus Khafi sekarang. Entah, malu saja rasanya sudah menaruh curiga padanya beberapa hari lalu.

"Sampean nyari Khafi, Nduk?" tanya Bu Nyai.

"Inggih, Umi." Natha memperlihatkan deretan giginya.

"Wong orangnya lagi ke Jepara kok, paling besok baru pulang. Sudah sana kamu istirahat di kamarnya, soale kamar tamu belum diberesin lagi sama mbak ndalem."

Natha sempat menolak dan ingin tidur di kamar tamu saja, tetapi Nyai Farah memaksanya dengan menarik koper Natha ke kamar sang putra. Akhirnya Natha memasuki kamar lengang itu, dan beristirahat karena lelah yang mendera.

*

Di kamar ini Natha membayangkan pemiliknya. Jaket yang disampirkan padanya hari itu tergantung di balik pintu. Sesekali Natha masih mencium aroma mint yang seringkali menguar dari kesayangannya itu di sini. Jadi, ia memasang pengharum ruangan rasa lavender di sana.

Natha tak berani menyentuh barang-barang milik gusnya, ia takut merubah posisi barang itu dan membuat si empunya marah nanti. Yang ia lakukan hanyalah mengitari kamar itu sembari sesekali tersenyum saat melihat potret lelakinya di di dekat jendela.

"Lucu banget gus e waktu kecil," gumamnya.

Tak lama kemudian ia mengempaskan tubuh di ranjang bersprei putih milik Gus Khafi. Saking nyaman atau karena mengantuk ia pun ketiduran dan melewatkan makan malam.

Pagi harinya ia langsung membantu mbak ndalem dan Nyai Farah memasak usai salat subuh. Dengan cekatan ia memotong sayuran dan juga telah menyiapkan teh jahe.

"Umi, Natha ke depan sebentar ya. Mau kasih ini ke Kiai Hamid," pamitnya.

"Sekalian dua cangkir ya, Nduk. Tadi umi lihat Khafi wis bali bar subuhan."

Duh … kok udah pulang, sih?

Natha berjalan pelan ke ruang depan, biasanya di sana Kiai Hamid duduk melihat santri yang nderes di teras masjid. Namun kali ini, yang duduk di kursi itu adalah seseorang yang paling dirindukannya. Gus Khafi.

Laki-laki itu terlihat lelah karena baru pulang, meskipun wajah dan rambutnya masih sedikit basah. Nyatanya, tidak menutupi gurat lelah di wajahnya.

"Monggo, teh jahenya, Gus."

Natha berucap pelan, takut jika Khafi menyadari siapa dirinya.

"Nggih. Makasih, Mbak–" Kalimat Khafi terputus. Laki-laki itu bangkit dan menatap Natha seolah tak percaya.

"Natha?"

Disambutnya senyum itu. Sungguh Natha berharap waktu berhenti barang sebentar, agar bisa menikmati euforia dalam dadanya. Ada ribuan kembang api yang meletup di sana, hanya karena kembali melihat senyum laki-laki itu.

"Asytaaqu ilayki," lirih Gus Khafi.

*

"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi wallahu waliyu taufiq."

Kini lebur sudah segala penantian panjang dua anak manusia itu. Saat Natha memutuskan melepas hal duniawi justru Allah memberinya kejutan dengan kedatangan orang tua Khafi.

Begitu pula dengan Gus Khafi, yang awalnya ingin melupakan saja kisah asmara yang ia kira akan kandas. Namun, saat kepulangannya adalah saat paling tepat dirinya memiliki Natha dengan jalan halal.

Mereka adalah bagian dari hamba yang menyadari bahwa kebahagiaan tidak harus dicari. Kebahagiaan adalah saat dimana kita pandai menikmati situasi, mensyukuri segala yang diberi dan dimiliki.

Kidung Cinta Maranatha (Versi pendek)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang