Wen Ning menatap api perapian tanpa berkedip, aura dingin melintasi matanya. Menoleh pada masa lalu bagaikan menatap rembulan pucat di malam hari cerah. Nampak jelas dan dekat, tetapi kenyataannya jauh. Karena jauh itulah, nampaknya indah.
Tetapi kala kau mendekat, semua kesan indah hanyalah segenggam debu.
Pria itu menarik nafas panjang yang terasa lebih berat. Cahaya yang memancar dari perapian mengalir bagaikan bayangan memenuhi wajahnya yang muram.
Satu nama yang ia sebutkan, seperti gema masa lalu yang tak tertahankan.
*****
Lima belas tahun lalu
Mereka datang ke satu wilayah negara yang dirawat dengan baik, melintasi padang-padang rumput dan areal pertanian luas. Mereka menemukan beberapa lahan kosong yang subur, dibingkai barisan pepohonan yang padat. Aliran sungai jernih dan menjanjikan kehidupan. Bukit-bukit bergelombang menghijau.
Di sisi lain dari perbukitan yang angkuh, terbentang kawasan hutan lebat yang dipilih untuk lokasi persembunyian dan perlindungan. Mereka adalah kawanan bandit yang tak segan-segan menghabisi nyawa orang-orang dan sudah merajalela selama bertahun-tahun, menebarkan teror dan ancaman, terutama bagi para pejabat dan saudagar kaya.
Sang ketua bandit masih sangat muda. Sekitar dua puluh lima tahun. Tetapi mari abaikan umurnya. Meski muda dan memiliki paras indah, feminim, dan aristokrat, terlalu menawan untuk jadi pimpinan begal, dia memiliki aura kejam tak tergoyahkan. Wajah tegas, tautan alis ganas dan bibir tipis menyeringai.
Sang ketua bernama Wei Wuxian.
Kawanan anak buahnya tidak pernah berani memanggil nama itu secara langsung. Bahkan kawan yang selalu bersamanya semenjak mereka remaja, memanggilnya dengan sebutan tuan muda.
"Tuan Muda Wei!"
Derap langkah kuda diiringi satu seruan membelah keheningan lembah batu hitam. Siang yang berawan, sang ketua duduk tegak di bawah sebatang pohon beringin rindang.
Wei Wuxian mengenakan jubah panjang hitam diikat pada pinggang, talinya melambai ditiup angin. Di pinggangnya terselip sebuah seruling hitam, namun di dekatnya tergeletak pula sebuah pedang panjang bersarung hitam.
"Ada rombongan bergerak dari barat." Pemuda yang baru datang menarik kekang kuda, membuat binatang itu meringkik, berhenti seketika setelah menendang debu di depannya.
"Apa barang bawaan mereka banyak?" Wei Wuxian menggumam, tanpa menolehkan wajah ke arah temannya.
"Menurut mata-mata, kemungkinan itu iring-iringan pejabat istana. Bangsawan Jing Jixuan. Mereka mengangkut tandu kerajaan dan banyak peti besar."
Pemuda itu adalah wakil ketua gerombolan perampok, Wen Ning, teman dan tangan kanan kepercayaan sang ketua.
"Pejabat istana?" Wei Wuxian mendengus. "Bagus sekali."
"Kau yakin ini tidak terlalu beresiko?" Wen Ning meyakinkan.
Seringai bengis terbentuk di wajah Wei Wuxian.
"Berapa lama lagi mereka akan lewat di jalan ini?"
"Tidak lama lagi."
Wei Wuxian menarik satu helai kain hitam dari balik jubah, memasangnya sebagai cadar menutupi wajah. Tangannya bergerak mengenakan penutup kepala yang menyatu dengan jubah, sehingga hanya menyisakan satu garis di wajahnya. Dia berdiri dari duduknya, memasang sikap siaga. Sepasang matanya berkilau penuh hasrat membunuh.
"Kumpulkan semua. Kita serang mereka," suaranya dingin dan tajam.
Wen Ning mengangguk cepat.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐌𝐞𝐥𝐨𝐝𝐲 𝐨𝐟 𝐓𝐡𝐞 𝐍𝐢𝐠𝐡𝐭 (𝐖𝐚𝐧𝐠𝐱𝐢𝐚𝐧)
Fanfiction(🏅𝐑𝐞𝐚𝐝𝐢𝐧𝐠 𝐋𝐢𝐬𝐭 𝐄𝐝𝐢𝐬𝐢 𝐅𝐞𝐛𝐫𝐮𝐚𝐫𝐢 𝟐𝟎𝟐𝟒 @WattpadFanficID ) "Hati-hati dengan apa yang kau dengar!" Itu adalah pesan keras yang diterima Lan Wangji saat diutus oleh tetuanya untuk mengantar sebuah pusaka ke istana. Dia harus m...