Bab 6 : Tidak Perlu Malu

295 13 6
                                    

Embun membuka mata di pagi hari. Hal pertama yang hadir dalam pandangannya adalah punggung tegap Aby. Suaminya itu masih tertidur di sofa dalam posisi memunggunginya. Embun lalu beranjak turun dari tempat tidur. Kartu ATM pemberian Aby yang ia patahkan semalam di masukan ke dalam laci nakas.

Setelah membersihkan diri, Embun segera keluar dari kamar, meninggalkan Aby yang masih betah dalam posisinya. Bahkan Embun tak membangunkan laki-laki itu, padahal ponsel miliknya sudah beberapa kali berdering. Embun yakin panggilan itu dari Vania.

Pagi ini Embun bertekad akan memberitahu mertuanya tentang perbuatan Aby yang mengkhianati dirinya di malam pertama pernikahan mereka. Ia tak mau terus menanggung sakit hati seorang diri. Sementara Aby sama sekali tak peduli perasaannya.

"Kamu sudah bangun, sayang? " sapaan lembut sang mertua membuat Embun memulas senyum.

"Iya, Bunda. "  Wanita itu menghampiri sang bunda yang tampak sulit dengan urusan dapur. Memperhatikan berapa cekatan tangan bunda mengolah masakan di usia yang terbilang tidak mudah lagi. Bunda tidak sendirian, ada bik Rita yang memotong sayuran. "Boleh aku bantu, bunda? "

"Boleh. Kamu bantuin bik Rita potong sayuran aja, ya, "

"Iya, bunda. " Embun segera mengambil posisi di sebelah bik Rita. Meraih pisau dan membantu motong-motong sayuran. "Bunda, nanti habis masak ada sesuatu yang mau aku omongin sama bunda. Boleh?"

"Boleh. Soal apa?" Bunda melirik Embun sambil tersenyum. Namun, senyuman itu meredup kala mendapati wajah sang menantu yang terlihat pucat, lesu dan letih. Belum lagi mata Embun yang nampak sembab.

Bunda mematikan kompor setelah bubur buatannya telah matang. Lalu, mendekati Embun demi memastikan bahwa menantu pertama dalam keluarganya itu baik-baik saja. Dengan penuh kelembutan, ia membelai wajah letih itu.

"Kamu kenapa, Nak?  Mukanya lesu begini? "

"Aku nggak apa-apa, Bunda. Cuma lagi capek aja. Semalam susah tidur."

"Ya ampun," ujarnya sambil menahan senyum. Rupanya, jawaban yang di berikan Embun menciptakan salah paham bagi sang mertua. "Aby ganas juga sampai bikin kamu pucat dan kelelahan begini."

Sepasang mata Embun berkaca-kaca menatap sang bunda. Kepediahan hatinya tak terbendung lagi. "Mas Aby itu jahat, Bunda."

"Sudah, Nak. Jangan sedih ... Nanti bunda kasih kamu vitamin, biar kamu nggak gampang sakit. Laki-laki memang begitu, kalau awal menikah maunya minta jatah terus."

Mendadak suram di wajah Embun sirna dan berganti manjadi wajah merona. Ia baru mengerti bahwa bunda nya sedang salah paham. Bunda pasti mengira Aby dan Embun telah menghabiskan malam yang indah bersama.

"Bukan begitu, Bunda. Maksud aku--" Belum sempat Embun menyelesaikan kalimatnya, sudah dipotong lebih dulu oleh sang bunda.

"Kamu tenang aja. Nanti kalo ayah sudah baikan, bunda akan minta ayah yang bicara sama Aby sesama laki-laki. Kalau bunda yang kasih tahu kan nggak enak," ujarnya mencipnyakan kerutan tipis di dahi Embun.

"Ayah sakit, Bunda?" tanya Embun, mendadak khawatir. Padahal semalam ayah mertuanya baik-baik saja.

"Iya. Semalam sesak. Jantungnya kumat kayaknya. Galang belum ada kabar sampai sekarang, mungkin ayah kepikiran," Embun dapat melihat wajah sang bunda pun ikut murung saat membicarakan putra sulungnya itu.

"Jadi gimana, Bunda? Apa ayah mau di bawa ke rumah sakit?"

"Nggak, kok. Istirahat di rumah aja. Eh, tadi kamu mau bicara apa?"

Embun tampak berpikir beberapa saat. Sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat untuk memberitahu sang bunda. Ia tak ingin masalahnya dengan Aby menambah beban pikiran sang mertua.

Penghianatan di Malam PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang