"Pulang sama Mama, Nak. Temui Papa sekali saja. Nggak biasanya Papa minta ketemu kamu. Papa tahu kalau kamu masih kesel dan belum ingin pulang. Tapi ini kan sudah tujuh tahun lebih, Mel. Sampai kapan kamu akan terus begini, Nak?"
"Ma, aku masih ingat loh waktu Papa ngancam aku yang bunyinya; nggak akan pernah nganggap aku anak kalau aku tetap pergi ke Jakarta. Baik, aku sudah nurut sama Papa untuk menikah dengan pilihannya. Tahu nggak, Ma, aku sangat menyesali perbuatanku yang berdampak pada Kiara, dan ini semua salah Papa. Kenapa begitu? Papa selalu maksa, aku harus ini, aku harus itu, Papa yang bikin mentalku rusak. Yang bikin aku nyari kebahagiaan di luar. Hidup aku rusak karena Papa!"
Melinda mengamati wanita paruh baya yang duduk di depannya, seseorang yang berstatus ibu kandungnya sendiri. Tatapan Melinda datar pada wanita yang sedang mengusap air matanya dengan tisu.
"Silakan minumannya, Bu." Esti meletakkan secangkir teh chamomile dan kue kering di atas meja.
Wanita yang biasa dipanggil Ibu Artawan itu mengangguk, berusaha untuk mengulas senyum.
"Mama tahu kalau Papanya Kiara sudah bertunangan hampir setahun. Pas terakhir mengunjungiku ke Jakarta, kenapa Mama nggak bilang? Malah Mama minta aku supaya segera pulang terus ngomong seolah-olah kehadiranku di Malang ditunggu-tunggu banget sama Mangku dan Kiara. Seneng banget ya Mama bikin aku kelihatan naif?"
Ibunya buru-buru menggeleng. "Mama cuma nggak mau kamu disakiti lagi, Mama pengin kamu tinggal di Malang saja yang nggak sekeras Jakarta, Nak."
"Ya, ini buktinya aku sudah di Malang, dan apa yang aku dapat? Kiara sudah punya Mama baru. Papanya sendiri yang izinin Kiara manggil tunangannya dengan sebutan yang seharusnya untuk aku, Ma! Shocknya aku saat itu nggak akan bisa aku gambarin. Mungkin memang aku terdengar nggak tahu diri setelah semua yang aku lakukan pada anakku, aku terlalu berlebihan, tapi lain ceritanya saat Kiara hanya punya aku yang dijadikan harapan untuk jadi Ibunya."
"Nak, Mama bisa ngomong ke Mangku. Dia pasti nurut. Kamu mau kembali sama dia?"
Melinda melotot. "Gampang banget Mama ngomong kayak gitu. Tadinya aku pikir Mama sudah berubah, tapi ternyata masih saja angkuh. Berpikir mendapatkan sesuatu dengan mengandalkan kekuasaan. Mama sama Papa itu nggak pernah mikirin perasaan orang. Sebelum meminta Mangku untuk menikahiku pernahkah Papa dan Mama berpikir kalau itu membuatnya terbebani? Materi yang Papa berikan pada keluarganya ternyata nggak benar-benar ikhlas, buktinya Papa minta imbalan kan?"
Melinda ingat saat hubungannya dengan Mehdi tidak mendapat restu dari kedua orang tuanya, tiba-tiba saja ayahnya secara acak memilih lelaki untuk menikahinya. Tentu saja Melinda menolak. Ia sama sekali tidak mengenal sosok calon suami yang akan dijodohkan dengannya. Posisi Melinda semakin sulit kala penolakan terus menerus dilayangkan. Secara bersamaan, dengan tidak berperasaan, ayahnya menyita semua fasilitas termasuk mobil, kartu-kartu debit dan semua barang-barang berharga.
"Mangku sudah mau menikah, dengan perempuan baik-baik. Yang lebih cocok sama dia. Mama jangan coba-coba mengusik sesuatu yang sudah direncanakan." Lanjut Melinda penuh penekanan.
"Mangku masih mencintaimu, Nak. Kalian bisa kembali bersama. Soal Kiara, itu hanya masalah waktu. Nanti, kalau kalian sudah tinggal satu rumah, sudah terbiasa bersama, perasaan Kiara pasti akan luluh."
Melinda menggeleng, tidak habis pikir dengan kalimat yang baru saja dilontarkan ibunya.
"Mama nggak bohong. Hubungan keluarga kita dengan Ibunya Mangku masih sangat baik. Seperti besan pada umumnya. Ya, walaupun tahun lalu Ibunya Mangku minta izin untuk menggelar lamaran. Sebenarnya nggak perlu minta i ...."
"Itu bukan minta izin, itu hanya pemberitahuan, mengabari." Potong Melinda cepat. "Jangan lucu-lucu banget jadi orang, Ma. Sudah otomatis Ibunya Mangku akan ngasih tahu Mama. Kalian masih terikat cucu. Kiara yang kadang sering nginap di rumah, membuat hubungan Mama sama Ibunya Mangku terus tersambung. Kalau Mama nggak dikabari, apakah Mama nggak akan tersinggung? Kita semua tahu watak Mama."
Wanita yang sudah mengandung dan melahirkannya itu kembali terdiam. Tuhan pasti semakin benci dengan Melinda. Selain Ibu yang tidak baik, Melinda juga seorang anak yang durhaka. Setelah ini pasti hidupnya akan lebih menyedihkan.
"Temui Papamu sekali saja, Nak. Sekarang Papamu sudah semakin sakit-sakitan. Mama nggak mau kamu menyesel karena Papamu sudah pergi lebih dulu, sementara kamu belum sempat bertemu dengannya."
Yang dilakukan ayahnya memang sangat tidak adil, tapi rasa sayangnya pada lelaki yang menjadi cinta pertamanya itu benar-benar murni. Melinda hanya kecewa, dan tidak benar-benar membenci.
"Kamu mau ketemu Papa kan?" Ibunya semakin memelas.
Dihembuskan napas lelah. "Nanti aku pikirkan. Mama jangan memaksa."
"Mbak Mel, makanannya sudah siap." Esti muncul lagi untuk mengabarkan urusan dapur. Tadi Melinda meminta asistennya ini untuk menyiapkan makan malam.
"Ayo kita makan dulu, Ma." Melinda berdiri dan melangkah lebih dulu.
"Maaf, Bu, kalau saladnya kurang pas." Ujar Esti sungkan.
"Ini enak kok." Buru-buru wanita paruh baya itu menjawab. "Kamu sendiri yang bikin ya?"
Esti mengangguk. Sudah sering dia membuatkan salad untuk majikannya. Lima belas menit acara makan malam selesai. Ibunya memutuskan untuk menginap setelah Melinda yang lebih dulu menawari.
"Ibu sudah lama vegetarian, Mbak Mel?" Esti berdiri di belakang Melinda yang tengah berkutat di depan cermin, melakukan kegiatan rutinnya sebelum tidur.
"Sudah lama sih. Sejak aku masih bocah juga Mama tuh diet."
"Gilak, kalau sama-sama tuanya lebih cantikan Ibu Artawan sih ketimbang Mbak Mel. Nyaris kepala enam aja masih energik dan cantik banget. Pengin deh nanti saat tua masih menarik perhatian gitu. Hahahaha, isi dompet membawa pengaruh sih."
Melinda memilih untuk tidak menanggapi.
"Kelihatan rutin ke salon gitu ya, Mbak? Kuteknya aja kelihatan masih baru. Rambutnya juga wangi, enak banget aromanya. Mengingat, nenek-nenek umur segitu pasti kemana-mana sudah bau minyak angin deh. Perbedaan yang sangat mencolok antara orang kaya dan yang pas-pasan."
Melinda beranjak dari kursi dan melangkah keluar dari walk in closet. Sedangkan Esti melipir ke kamarnya sendiri.
Tampak Ibunya belum tidur. Melinda ikut bergabung di sebelahnya. Ini adalah momen kebersamaan yang sangat langka, dalam satu tempat tidur setelah tujuh tahun berlalu. Ibunya bergerak miring ke arahnya, sementara Melinda tetap terlentang memainkan gawai.
"Kamu ada rencana ke Jakarta dalam waktu dekat?" Tanya Ibunya.
"Bulan depan mungkin." Jawab Melinda.
"Kerjaanmu ada yang belum beres?"
"Aku ada tanggungan sama salah satu brand skincare. Ada acara gathering juga. Beberapa kali absen, besok mumpung di Jakarta mau hadir."
"Mama ikut ya? Pengin ke rumah Tante Mega. Katanya kena stroke dan sekarang orangnya nggak bisa ngapa-ngapain."
Melinda menoleh. "Serius, Ma? Sejak kapan? Terakhir aku ketemu tahun lalu Tante Mega masih sehat-sehat saja."
Melinda sangat mengenal wanita yang berstatus sahabat dekat Ibunya. Dulu saat awal-awal pindah ke Jakarta, wanita itu sering berkunjung ke apartemen sekedar untuk mengecek kondisinya. Dan Melinda baru tahu jika wanita baik hati itu sekarang sedang sakit.
"Nanti ke Bekasi sama aku, Ma. Pengin juga tahu kondisi Tante Mega."
"Iya, Nak. Tante Mega pasti senang banget. Dia sudah anggap kamu anak sendiri."
Di Karyakarsa sudah sampai bab 16 🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Persinggahan Singkat (TAMAT)
Romance"Jika memilikinya hanya sebuah mimpi, maka Tuhan ... aku memohon, sekali saja, jangan terbitkan matahari tepat waktu."