Pasal 1.1

117 55 30
                                    

"Hanya untuk sebuah pengakuan, kita terus berlomba membuktikan siapa yang paling hebat".

Dalam hal ini kita hanya meninggalkan beberapa peran yang seharunya kita berada pada peran tersebut dan menyelesaikannya, namun kita lebih memilih untuk mengejar apa yang seharusnya tidak perlu kita kejar, demi sebuah perspektif benar atau salah. Karena seperti yang aku katakan, kita bisa menjadi hebat dimata orang lain, namun itu tidak setiap saat. Jadi apakah pantas kita meninggalkan diri sendiri hanya untuk itu semua?. Bukankah hal seperti itu hanya akan membuat diri kita merasa tidak nyaman atau tak lebih hanya seperti sebuah boneka yang bergerak sesuai apa yang diinginkan tuannya.

Bagaikan lomba lari yang tidak memiliki garis finis, lelah namun tidak kunjung sampai. Adapun sebuah pencapaian, apakah kita akan merasa puas dengan hal itu, ataukah pencapaian itu hanya sebuah ilusi yang membuat kita candu untuk terus berlomba dan saling menyingkirkan satu sama lain, tanpa mengenal rasa puas dan dapat bersyukur atas apa yang telah kita miliki, sehingga ketenangan itu pun semakin sulit untuk kita raih.

"Bagiku benar dan salah hanyalah sebuah perspektif belaka, dan kita pun tidak dapat mendeskripsikan moral, apa yang mereka anggap benar, belum hal itu tentu benar untuk orang lain, seperti halnya apa yang mereka anggap salah, semua itu karena apa yang kita lakukan dan percayai tidak ada pada mereka, maka dari itu kita dianggapnya salah."

Seperti kita memberikan penilaian terhadap orang lain, bukankah itu semuanya hanya sebatas apa yang kita ketahui dan dengar saja?, kamu menganggap mereka benar dan salah, itu semua hanya penilaian dan cara pandangmu, ketika apa yang ada pada dirimu dan juga ada pada orang lain, bukankah kamu akan menganggapnya benar?, lalu apa yang tidak kamu sukai ada pada orang lain, kamu akan menganggap hal itu salah. Sedangkan, cara pandang dan pikiran seseorang sangatlah berbeda, bagaimana mungkin kamu memaksakan dirimu ada pada orang lain.

Seperti sebuah kanan dan kiri, kamu yang berada pada jalur kanan akan tetap menganggap apa yang berada pada jalur kiri itu salah, begitupun sebaliknya. Dimana tatanan sosial telah mengekang dan membatasi manusia yang seharusnya hidup dengan natural, akan tetapi pada akhirnya hanya penuh dengan kepura-puraan. Tidakkah kita seharusnya menjadi tengah di antara kanan dan kiri tersebut, lalu tidak membenarkan yang benar dan tidak menyalahkan yang salah, namun mengambil makna dari kedua hal tersebut. Seperti abu-abu diantara hitam dan putih, bagiku abu-abu bukan berarti ketidakjelasan atau ketidakpastian, melainkan ia menerima hitam dan putih itu secara bersamaan, justru seharunya itu membuat ia lebih hebat karena memiliki keduanya. Seperti menjadi bendungan diantara dua arus yang saling bertabrakan.

Lalu hal yang seringkali kita lakukan adalah menerima hal-hal baik dan membuang hal-hal buruk, karena bagiku adalah bagaimana kita menerima yang baik dan memperbaiki yang buruk atau mengambil makna dari kedua hal tersebut.

"Mengapa bisa menjadi baik atau benar, dan bagaimana bisa menjadi buruk atau salah".

Sehingga pada akhirnya kita tidak hanya sekedar berkata benar hanya karena beberapa orang mengatakan hal itu benar, namun kita tidak tahu bagaimana orang tersebut dapat mengatakan hal itu benar dan salah atau baik dan buruk.

Buka pola pikir kita untuk menerima tatanan sosial yang terjadi tanpa perlu berpura-pura dan meninggalkan apa yang diinginkan oleh isi hati kita semestinya. Berpikirlah kapan terakhir kali kita menghargai diri sendiri?, selama ini kita terlalu sibuk memberi makan ego orang lain, memperjuangkan perasaan orang lain, sampai tidak sadar raga kita sendiri harus hancur, lalu apa pentingnya perasaan itu?, jika raga kita hancur untuk memperjuangkannya.

Aku pikir seharusnya ketika kita menjaga dan menghargai perasaan orang lain, kita pun paham bagaimana cara menghargai dan menjaga perasaan diri kita sendiri. Lalu seberapa penting, pandangan orang lain terhadap kita?, sampai membuat kita lupa pada diri sendiri. Bukankah ada saat ketika kita tidak sanggup lagi untuk melanjutkannya, lalu mengapa kita terus memaksakannya. Bahkan mungkin orang yang sedang kita perjuangkan pun tidak menginginkannya.

Di sisi lain mereka hanya dapat melihat dan menilai saja, tanpa tahu apa yang kita rasakan dan alami untuk memperjuangkan itu semua, mereka selalu bilang paham dengan apa yang kita rasakan, tetapi itu tidak sepenuhnya dan mungkin nyatanya itu hanya bualan belaka. Seperti ketika memiliki sebuah permasalahan, akan tetapi kita dapat menghadapi itu semua dengan baik-baik saja dan tenang, lalu bukankah selalu saja ada orang yang menilai kita bahwa sebenarnya kita itu tidak merasa tenang. Sehingga lambat laun penilaian itu seolah merubah mindset kita, sedari awal merasa tenang dalam menyelesaikan suatu masalah, menjadi kacau dan berantakan. 

Berusaha Menjadi ManusiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang