"Baiklah, saya rasa pertemuan kita kali ini cukup sampai di sini. Untuk pembahasan selanjutnya kita akan bicarakan di pertemuan berikutnya." Bram mengakhiri rapat panjang yang sudah berlangsung sejak 2 jam lalu.
Denis lantas mendekati Bram ketika ruangan rapat nampak sudah mulai sedikit lengang. "Pembahasan rapat ini belum selesai Bram, dan lo dengan seenaknya nutup nih rapat." Denis mendesah panjang, tapi Bram seolah tak acuh dengan omelan sepupunya tersebut.
"Rapat ini uda 2 jam berjalan Denis, bahkan jika dilanjutkan sampai malam juga tidak akan menemui titik terangnya." Bram masih sibuk merapikan berkas-berkasnya di atas meja dengan terburu-buru. "Mereka masih bersikeras dengan tawaran itu, dan kita juga tak bisa mengalah secepat itu." Lanjutnya.
"Yah...terserah lo aja deh." Balas Denis pasrah yang kini mulai mengikuti langkah Bram dari belakang meninggalkan ruang rapat.
Bram melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang merayapi setiap jalanan di ibukota. Denis yang duduk di sebelahnya tampak asyik mengotak atik tablet di genggamannya.
"Oh ya, kemarin si bunda nelpon gue, katanya lo nolak cewek yang dikenalinya lagi." Tanya Denis masih fokus pada tabletnya. Ia sangat yakin pembahasannya kali ini akan membuat mood sepupunya itu berubah 180 derajat. Pasalnya ntah sudah kali keberapa Bunda Bram mengenalkan seorang wanita untuk dijodohkan dengan sepupunya itu dan sebanyak itu jugalah Bram akan menolaknya.
Tak ada balasan dari Bram, ia tampak fokus menatap ke arah jalanan di hadapannya. Wajahnya tampak tenang dan datar, tapi jika seseorang dapat menyadari matanya menyiratkan suatu kekhawatiran dan kegelisahan.
Bram menepikan mobilnya berseberangan dengan sebuah halte bus. Berusaha untuk mengambil posisi dan jarak yang aman. Ia mematikan mesin mobilnya, tapi tak lantas keluar dari mobilnya tersebut. Matanya terarah pada halte, tampak sebuah kelegaan dari desah nafasnya.
Seorang wanita memakai kemeja berwarna tosca berlengan pendek dengan rok hitam mini sebatas lutut tengah berdiri di sebuah halte. Menanti sebuah bus dengan gelisah. High hells yang ia gunakan mulai membuat otot-otot kakinya lelah, halte ini terbilang sangat penuh, hingga tak ada lagi 1 tempat duduk pun yang kosong sore itu. Peluh mengalir dari dahi dan tengkuknya. Wajahnya yang cantik dengan kulit putihnya yang bening dan mulus tampak di tekuk dengan sedikit kernyitan di dahinya. Sungguh, ia merutuki kecerobohannya saat ini karna membiarkan rambutnya tergerai. Pagi tadi, ia terlalu terburu-buru sehingga tak dapat merapikan tatanan rambutnya.
Walau cukup lama, tapi akhirnya Denis merasakan ada yang aneh dengan mobil Bram. Ia menoleh ke arah Bram kemudian mengikuti arah pandang sepupunya itu, sebuah senyum misterius tersungging di bibirnya.
"Cantik ya Bram?" Tanpa sadar Bram mengangguk. "Ajak pulang bareng aja." Ucapan Denis tadi sontak membuat Bram mendelik ke arahnya. Denis terkekeh. "Mau sampai kapan lo jadi secret admirernya?" Bram masih saja bungkam. Ia kembali melihat ke arah gadis di halte tersebut. Tapi pikiran nya terperangkap oleh kalimat Denis.
"ayolah Bram, kemana perginya Bram yang dulu? Bram si playboy SMA? Dengan prestasi rekor pacaran paling singkat?" Denis masih terus menggodanya. "Dan sekarang, yang ada justru Bram yang bersembunyi di balik mobilnya menjadi secret admirer seorang cewek di sebuah halte." Denis terbahak sendiri dengan godaannya tersebut. Sementara Bram masih saja diam, membiarkan Denis berceloteh sendiri seperti sebuah operator radio yang sedang bercuap-cuap.
Hal itu membuat Denis gemas dengan sikap Bram. "Lo keluar sekarang, samperin tu cewek, ajak kenalan. Yah, setidaknya lo tau siapa namanya kan?" Saran Denis dan Bram masih tak bergeming. "Ok! Gue yang bakal nyamperin cewek itu. Tapi jangan salahkan gue kalau gue bakal rebut dia dari lo." Ancaman Denis kali ini membuahkan hasil, tampak sekarang Bram menatap tajam ke arahnya, seolah dia siap menerkam Denis jika Denis benar-benar melakukannya. "Lo gak bakal lakuin itu kalau lo masih pengen bernafas besok." Ancam Bram.