Inara 8

575 52 9
                                    

Zain sampai di rumah tepat pada pukul 21.00. Untuk pertama kali ia pulang malam seperti ini. Kalau menurutkan kata hati, ia benar-benar malas untuk pulang. Tetapi, nasihat dari ayah dan ibunya ketika ia mampir ke sana sepulang kerja tadi, membuat ia kembali menguatkan hati. Bahwa ia harus bersabar dan bersabar lagi.

Sudah hampir empat bulan ia menikahi Inara. Selama itu, mereka tidak pernah bisa berkomunikasi dengan baik. Hubungan mereka tidak selayaknya suami istri. Atau setidaknya dua orang sahabat baik yang saling menerima satu sama lain. 

Inara sibuk dengan dunianya sendiri. Perempuan itu seperti tidak pernah menganggap Zain ada. Semua hal yang dilakukan oleh Inara adalah hal-hal yang tidak baik. Hal-hal yang bertentangan dengan agama. 

Pergi seharian, berkumpul dengan teman laki-laki dan perempuan, tidak mau menutup arat dan tidak pernah bersikap baik kepada Zain sebagai seorang suami. Zain sudah berulang kali menasihati Inara. Bahwa apa yang dilakukan oleh INara itu tidak baik. Tidak diperbolehkan dalam agama. Tetapi, Inara selalu membantah semua ucapan Zain.

Sebagai seorang suami, Zain tahu bahwa ia memiliki tanggung jawab untuk mendidik Inara menjadi perempuan yang lebih baik. Zain memiliki tanggung jawab dunia akhirat kepada Inara. Namun, apalagi yang bisa dilakukan laki-laki itu, jika Inara menutup hatinya begitu rapat untuk menerima nasihat dan kebaikan yang diberikan oleh Zain.


  

Zain sering berpikir, tidak ada satu alasan pun yang membuatnya harus mempertahankan pernikahan mereka. Namun, untuk saat ini tentu saja ia belum bisa meninggalkan Inara. Ia harus memikirkan dan menimbang perasaan Pak Atmaja dan Bu Nadya. 

Apalagi Pak Atmaja selalu saja memohon agar Zain mau bertahan sedikit lagi. Setidaknya sampai anak Inara lahir. Jauh di lubuk hatinya, Pak Atmaja sebenarnya sangat berharap agar Zain bisa mengubah Inara menjadi pribadi yang lebih baik.

Zain masuk ke rumah setelah membuka pintu dengan kunci cadangan. Ia sengaja membawa kunci sendiri agar tidak merepotkan Bi Jum dan Amelia jika pulang malam seperti ini.

Begitu menaiki anak tangga, Zain melihat Amelia menuruni anak tangga dengan tergesa.

“Alhamdulillah, untung Mas Zain pulang.” Amelia terlihat menarik napas lega.

“Kenapa Amel?” Zain berusaha menenangkan debaran di dadanya.

“Mba Inara panas banget, Mas. Sudah saya koompres dari tadi, tapi belum juga turun-turun panasnya.” Amelia menghindari tatapan Zain yang terasa begitu lekat.

“Ya, Allah. Jadi sekarang gimana?”

“Mas coba lihat aja ke kamar Mba Inara. Apa dibawa ke rumah sakit aja. Aku mau membuat teh untuk Mbak Inara.” Amelia melewati Zain tanpa menoleh. Gadis itu benar-benar ingin menjaga hatinya agar tidak semakin jatuh dalam pesona dan kebaikan laki-laki yang sekarang menjadi majikannya itu.

“Oke.” Zain pun bergegas menuju kamar Inara.

Zain membuka pintu kamar Inara dan melangkah masuk ke dalam. Terlihat Bi Jum sedang memijit-mijit kaki Inara. 


“Gimana Inara, Bi?”


Hijrah Cinta InaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang