🍂 56

1.3K 50 11
                                    

Dilema antara bahagia dan takut itu ternyata tipis.  Dan Mino menyadarinya saat ini.  Disatu sisi ia bahagia dengan isi pesan yang baru saja dikirimkan oleh Bu Irene, tapi di sisi lain ia jadi takut apa yang menjadi khayalannya hanya akan jatuh dan hilang semata menjadi debu.

Sial. Ia memang lemah kalau sudah menyangkut perempuan.  Sia-sia ia membangun kepercayaan diri sejauh ini kalau hanya dengan sebaris pesan saja ia bisa hancur dalam sekejap.

Bu Irene benar-benar sudah memenuhi pikiran dan hatinya.

'Tunggu sebentar'

Song Mino mendengus sejadinya, ia bahkan berjalan sambil menggerutu walaupun ia tidak tahu gerutuan ini hanya sebagai alasan atau memang sebuah kekesalan yang nampak.

Langkahnya yang sebetulnya ia perlambat ternyata terasa cepat baginya. Ah sial.  Entah kenapa ia malah terlihat ingin sekali bertemu perempuan itu saat ini. Jarak dari flat nya ke halte biasanya membutuhkan waktu sekitar lima belas sampai dua puluh menit tapi rasanya kali ini Mino berjalan hanya sekitar sepuluh menit.

"Hai Mino"

Mino sadar itu hanya sebuah sapaan, sapaan belaka Song Mino! Sadarlah.  Sapaan yang wajar diucapkan oleh setiap orang yang biasanya bertemu kan.  Sapaan biasa yang sial nya bisa membuat jantung Mino menggelepar.

"Hai, udah lama?"

Bu Irene menggelengkan kepalanya lalu menyeringai, mengulas senyuman kecil yang terlihat sekali dipaksakan.  Mino yang melihatnya buru-buru sadar dan mengedikkan bahunya memberi tanda pada perempuan itu untuk berjalan mengikutinya.

"Ayo" ajaknya pelan, tapi Bu Irene tanpa ragu membalikan tubuhnya mengikuti langkah Mino berjalan menyusuri jalanan kecil yang lumayan lengang di siang ini.  Irene bahkan sedikit bersemangat dengan senyuman kecil yang terlihat sampai kemudian ia sadar akan sesuatu.

"Mino, untukmu" ujarnya seraya menyerahkan bungkusan yang ia bawa.  Song Mino yang menerimanya hanya menunduk dan tersenyum kecil.

"Tidak perlu serepot ini" jawabnya dengan malu.  Irene yang melihatnya hanya mendengus, sedikit terhibur dengan semburat merah yang ia lihat dari pipi Mino.

"Aku tidak membelinya, itu dibelikan oleh Choi Siwon" sahutnya dengan ringan, Mino menghentikan langkahnya tiba-tiba tapi Bu Irene dengan sengaja melewatinya dan berjalan terlebih dahulu meninggalkan Mino dengan emosinya yang naik.

"Tenang saja itu masih baru, dia membeli semuanya tapi meninggalkannya begitu saja. Sungguh orang yang boros, dia gampang sekali membuang uang"

Mino mendecih mendengarnya, langkahnya yang baru saja ringan kembali terasa berat. Seolah ia memakai sandal baja di kedua kakinya saat ini.

"Jadi kau membawa semuanya dan memberikannya untukku? Mulia sekali, kau benar-benar perhatian pada mahasiswa mu yang miskin ini Bu Dosen" sindir Mino dengan smirk yang sengaja ia tampilkan.  Irene yang gantian menghentikan langkahnya tidak kuasa meledakkan tawanya membiarkan Song Mino kembali melewatinya dan membuka pintu flatnya dengan gerakan yang tidak santai.

"Bangga sekali menjadi orang miskin" balas Irene dengan senyuman tertahan.  Mino yang mendengarnya menaruh paper bag itu diatas meja dengan gerakan yang tidak santai lalu menyerahkan satu buah sandal rumah pada Irene yang langsung menerimanya dengan senyuman bahagia.

"Tentu saja aku bangga, kalau aku tidak miskin aku mungkin bisa serakah seperti Choi Siwon"

Irene menggelengkan kepalanya dan memilih duduk diruangan tengah flat Mino yang lumayan sempit.  Perempuan itu tersenyum begitu pemuda Song itu kembali dari dapur dan membawa satu gelas air kearahnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 28, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SHELTER [🔞]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang