~ Part 27. Rencana ~

47 18 1
                                    

~ Seorang teman yang baik. Ia akan memahami bagaimana kondisi sahabatnya.'

|
|
|

~ Happy Reading ~

🍎

"Arken! Bagaimana kalau seandainya kita tungguin dulu bidadàri-bidadari kita di sini?" saran Indra. 

"Wow, Bos. Ada apa sebenarnya ini, tumben banget Anda mau menunggu istri Anda selesai kuliah? Apa Anda tidak bosan, Bos?" 

Indra menjitak kepala Arken tanpa peduli pemuda di sampingnya kesakitan ataupun tidak. "Masih tak paham juga, ya, rupanya kamu? Apa perlu saya memecatmu, supaya kamu paham dengan apa yang saya katakan tadi?" 

Sungguh. Demi apa pun Arken sama sekali tidak memahami maksud dari ucapan Indra. Memang pemuda tampan sekaligus bos dan juga sahabatnya ini mengajaknya untuk menunggui istrinya sampai selesai kuliah. Namun, apakah itu yakin? Seorang bos besar seperti Indra mau-maunya berdiri di depan gedung berjam-jam demi seorang Keisya?

Tampaknya ia harus menenangkan dulu hati dan pikirannya sebelum kembali memastikan benar atau tidak apa yang dimaksud bosnya. Arken mengusap-ngusap puncak kepalanya sendiri menahan rasa nyeri akibat jitakan bosnya. 

"Jelasin dulu napa, Bos?" pinta Arken masih tetap mengusap-ngusap kepalanya.

"Astaga. Kebiasaan dah ini orang kalau apa-apa suka minta penjelasan mulu. Nggak pernah sekali aja mengerti gitu," keluh Indra sembari menepuk jidatnya.

"Ya maaf, Bos. Tahu sendiri otak saya kadang agak suka geser dikit, tapi kayaknya penyakit saya ini bisa sembuh deh, Bos. Kalau saya bisa berhasil nikah sama Madina. Gadis pujaan saya," sahut Arken lagi. 

Arken tetaplah Arken. Pemuda tampan keturunan arab ini tak lantas kadang suka sekali membuat Indra kesal. Termasuk dengan hari ini. Ia tidak ingin membuat kekacauan di tempat umum karena sahabatnya ini. Indra terpaksa menjelaskan maksudnya. 

"Jadi begini loh, Arken. Bisa gak sih kalau di luar kantor itu gua bilang sama lo, jangan panggil gua bos lagi. Paham? Kita ini teman, kan? Jadi, nggak usahlah terlalu formal kayak gitu. Males gua sumpah!" jelas Indra. Ia memijat-mijat keningnya dan bermaksud hendak menunggu istrinya di dalam mobil saja. 

"Terus kalau semisal maksud bos eh maksud lo nunggu bidadari-bidadari kita apaan?" 

"Arrgh!" Indra malah mengerang, " … maksud gua adalah kita gak usah pergi ke kantor, Arken lemot! Kita di sini aja nunggu cewek-cewek kita. Paham gak, sih? Apa lo mau gua suruh lo ke Bogor buat ngerjain proyek kita? Mau ke Bogor atau sayang-sayangan, jalan berdua sama Madina lo itu?" 

"Oh. Kalau gua dapat pilihan kayak gitu mah, ya mending jalan berdua sama Madina. Ngabisin waktu berdua kalau perlu gua minta nyokap bokap buat mempercepat pernikahan gua sama dia, Men! Sumpah nggak sabar dah gua pengen mempersunting gadis manis berhijab satu itu. Pengen ngerasain gimana rasanya jadi lo. Share dong pengalaman-pengalaman lo pas pertama kali jadi suaminya Keisya?" 

'Ya Tuhan. Mengapa Engkau berikan teman lemot seperti dia pada hamba? Huft, tapi meskipun Arken si lemot itu menyebalkan, dia satu-satunya sahabat hamba yang sekarang masih ada dan tetap di samping hamba.' 

"Kenapa nggak dari tadi aja, sih, Ken lo pahami maksud gue?!" bentak Indra sembari berusaha menahan kekesalannya. "Kalau kayak gini jadinya gua kagak usah jelasin panjang lebar dan oke lah kalau begitu. Intinya sekarang apa pun yang terjadi kita tunggu Keisya dan Madina selesai kuliah. Buat lo, gua minta di luar kantor jangan sebut gua bos lagi. Paham?" 

Arken mengangguk. "Iya-iya. Gua paham, Dra." 

***

Ketika mata kuliah pertama hampir saja selesai. Keisya mendapatkan gulungan kertas di lempar seseorang entah dari mana datangnya dan siapa yang telah melemparkannya. Tidakkah mereka takut jika nantinya dosen mengetahui kalau mereka melempar-lempar gulungan kertas seperti itu? 

Lantaran mode penasaran Keisya di atas rata-rata. Alhasil, dengan tetap memandang kedepan takut-takut dosennya melihat bahwa ia tidak memperhatikan materinya. Perlahan Keisya mulai membuka gulungan kertas itu. Berharap tidak menemukan sesuatu yang dapat mengundang perhatian banyak orang.

'Kei. Tadi pas aku izin ke luar buat ambil buku yang tertinggal di mobil. Aku melihat suamimu tengah bertengkar dengan seseorang. Sampai-sampai orang itu mendapatkan pukulan dari suamimu.' 

Membaca isi dari gulungan kertas itu. Keisya meneguk salivanya. Hati dan pikirannya melayang membayangkan sesuatu hal buruk terjadi pada mereka. Ia sendiri tiba-tiba hilang konsentrasi dan sesaat ia pun jadi bertanya-tanya sendiri apa yang menyebabkan suaminya sampai harus bertengkar dengan orang itu? 

"Ssssttt! Ssstttt, Kei. Keisya!" panggil Madina setengah memelankan suara. 

Yang dipanggil tidak juga menoleh. Malah sekarang ia memegangi perutnya. Hal itu menjadikan Madina merasa bahwa ada sesuatu yang dirasakan Keisya, sehingga tidak menyahut. Padahal nyatanya Keisya baik-baik saja. Hanya pikirannya saja yang sekarang ini terganggu karena membaca isi dari gulungan kertas itu.

"Pak!" Madina mengangkat tangan. 

'Lah. Madina ngapain angkat tangan? Apa dia nggak paham sama materi yang di sampaikan Pak Jojo hari ini? Tumben banget,' gumamnya dalam hati. 

"Iya. Ada apa, Madina?" tanya Pak Jojo, sesaat setelah pria paruh baya itu menyelesaikan menulis penjelasan dari pertanyaannya tadi.

Keisya dan Madina saling memandang, tetapi tak sepatah kata pun terucap dari mulut keduanya. Keisya menunggu apa yang ingin dikatakan sahabatnya pada dosen killernya itu. Namun, beberapa menit setelahnya Pak Jojo menyuruh Keisya untuk ke UKS saja. Lah, siapa yang sakit?

"Silakan, Keisya." Sekali lagi Pak Jojo mempersilakan Keisya ke ruang UKS. 

Keisya sama sekali tidak paham. "Maksudnya, Pak?" 

"Kamu sedang sakit, kan? Perutmu melilit? Maka dari itu saya sarankan kamu untuk pergi saja ke ruang UKS. Kasihan, Bapak tidak mau disalahkan, ya. Karena membiarkan mahasiswinya mengikuti materi kuliah saat lagi sakit. Ayo, Madina! Kamu antar dong Keisya," titah Pak Jojo. 

Keisya menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal. 'Kok malah jadi perut melilit sama UKS, sih? Kei lagi mikirin Kak Indra sebenernya, bukan perut melilit. Ah, Madina. Kenapa harus mengira Kei memilit perutnya, sih?' gerutu Keisya dalam hati. 

Mengalah dan mengikuti apa yang diperintahkan Pak Jojo juga Madina merupakan jalan terbaik untuk saat ini. Keisya berjanji setelah nanti ia dan sahabat karibnya tak lagi ada di ruangan ini. Akan menceramahi Madina. Karena gadis itu ia tidak mengikuti mata kuliah hingga akhir, meski masih ada pertemuan kedua. Namun, haruskah menunggu dua jam lagi?

"Kalian para perempuan apa tidak ada yang mau menolong temannya? Kasih bantuan gitu?"

Anak-anak yang lain saling bertanya-tanya satu dengan yang lainnya. "Maksudnya apa, Pak?" 

"Maksud Bapak itu bantu Madina bawa Keisya ke ruang UKS. Kalau sampai dia—-" 

Madina menyela ucapan dosennya, sedangkan Keisya terdiam mendengarkannya saja. "Tidak perlu, Pak! Saya bisa kok bawa Keisya ke UKS. Lagian kalaupun pingsan gampang, nggak masalah buat saya."

"Sssst … maksudmu apa, sih?" 

~ Bersambung ~

After Wedding [ Revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang