Bacalah ketika hari sudah malam. Jika tidak, hentikan membaca.
|||
Kau tentu pernah dengar soal mainan truk oleng khas kota Metro. Kalau belum coba digugel dulu. Suatu ketika mainan itu kubawa dari Lampung ke air terjun Cycloops di Papua. Kumainkan dengan cara ditarik dengan tali sambil berlari. Truk itu jadi terlalu berat bagiku karena baknya dipenuhi air. Mau minta tolong ibu, susah, ibu sedang merekam diri untuk unggahan yang ditunda sampai ada kuota. Lah, mau minta tolong ayah, susah, ayah kelelahan dan tertidur di bawah pohon rindang, lelah menyetir seharian. Truk oleng kutinggalkan di dekat air terjun, aku ikut ayah bernaung di bawah pohon rindang. Melihat awan seharian, melihat ibu meliuk-liuk kemudian.
Awan mulai terlihat seperti paus berselimut asap yang berenang perlahan. Kalau jadi nelayan, aku janji tidak akan melemparnya dengan harpun. Tapi dengan garpu. Harus garpu, karena sekarang paus itu terlihat seperti permen kapas raksasa. Pastilah rasanya sangat manis. Namun, bisa saja saat dilempar garpu, kapas manis di udara itu kembali jadi paus biasa, dan berdarah. Atau tidak, karena aku yakin kulit paus tidak akan tertembus garpu.
Kami semua berjalan di landasan pacu pesawat, truk oleng masih terseret di belakang, dan Kla Project bernyanyi di telinga ayahku. Tess of the d'Urbervilles di tangan ibu. Dia memelototi paragraf ketika akhirnya Tess digantung, dan bertanya-tanya mengapa dunia ini tidak adil. Betapa dunia ini memperlihatkan bahwa jiwa manusia bisa dipentung sampai mati bukan oleh takdir, tapi oleh hirarki sosial di sekitarnya. Jiwa anak-anak bisa dipentung ayah, ibu, kakek, nenek, tante, om, kakak, kepala sekolah, guru, senior, anjing, biawak, kucing, dan masih banyak lagi. Semua ingin ikut campur soal tumbuh kembang anak orang lain.
Sial, dari sini terlihat ada kabut cukup tebal di landasan, kami sedikit khawatir dengan cuaca kali ini. Tapi ada yang aneh. Akibat kabut di landasan, pesawat yang akan mendarat itu terlihat seperti pria berkacamata hitam yang sedang merokok! Jadi kukeluarkan rokok dari saku ibuku. Hei!
Kla Project tiba-tiba berganti dengan Kantata Takwa, dengan volume suara yang terus ditambah. Lama-lama gendang telinga ayah bisa pecah mendengar suara sekeras itu di dalam telinganya. Apa ayah tidak perhitungan soal risiko itu? Bukannya dia jago matematika?
Mengapa, sebagai manusia kita dianggap tidak normal jika tak mahir matematika? Sama halnya dengan menyanyi, berenang, dan banyak cabang kecerdasan lainnya. Apa hanya pikiranku saja, mereka yang mahir matematika tentu tak luput dari ketidakbahagiaan dalam hidup 'kan? Begitu pula penyanyi, perenang, pemain bola, pelakor, pelatih kuda, dan lain sebagainya.
Kuberitahu sesuatu, pelatih kuda berumur 18 tahun yang bisa menaklukkan semua jenis kuda itu nyata. Ayahku orangnya. Dia terampil menghadapi segala macam improvisasi para kuda liar. Semua dijamin takluk dalam waktu maksimal 5 hari. Lalu, umur 33 tahun dia jatuh dari kuda. Tepatnya setahun setelah menikah. Pinggangnya memberinya nyeri yang tak hilang-hilang. Makin ke sini rasanya jadi makin ke sana. Hidupnya kini terasa tak lagi berguna. Untuk apa... untuk apa kau punya banyak rekaman keterampilan di otakmu tapi tak bisa melakukannya dengan badanmu. Kau tidak sinkron dengan apapun, merasa tidak cocok berada di manapun. Tidak sefrekuensi dengan siapapun. Tidak ada obatnya walau bagaimanapun, dan segala gejalanya bisa muncul kapanpun. Mengapa ini bisa terjadi? Mengapa kata 'mengapa' tak bisa diberi partikel ~pun?
Mengapapun.
Amoralitas tipis-tipis yang para ayah dan ibu muda lakukan di kantor-kantor pemerintahan membuat mereka lelah. Pulang kerja jiwa mereka disita oleh ponselnya, begitupun anak-anaknya, semuanya telah seirama dengan layar enam inci di depan matanya.
"Aku lelah. Anak-anak bisa kerja PR sendiri 'kan?"
"Aku lebih lelah. Tadi merapikan gudang berkas kantor. Aku tidur duluan."
"Tidur katamu? Matamu menempel pada layar ponselmu sampai otakmu berubah jadi papeda."
"Kau juga sama saja! Keranjang orensmu itu sudah mau meledak!"
Kau mungkin pernah dengar cacing Leucochloridium yang menginfeksi otak bekicot dan mengendalikannya ke ujung dahan yang mudah dilihat oleh burung pemangsa. Bekicot-bekicot menjadi mayat hidup yang kehilangan seratus persen kendali atas tubuhnya sendiri. Mata mereka tegas menggambarkan seperti apa mata manusia jaman sekarang saat menatap kotak kecil bercahaya milik masing-masing. Kosong tapi terus berdenyut mengikuti musik dan self reward dopaminergik yang menanti di tiap usapan jempol. Usapan jempol tidak akan berhenti sampai ada yang menarik. Ketika ada yang menarik, rasanya senang, meski cuma sepersekian detik, lalu bahagia instan itu lenyap seiring jempol kering yang mengusap kemudian. Kita kecanduan sensasi bahagia pendek-pendek, letupan-letupan kecil dopamin yang membahagiakan, dan suara tawa renyah warga tiongkok asma yang viral.
Sungguh membagongkan.
Nomor 5 bikin tercengang.
Ini tanggapan Besti Cancorang.Nihilis. Itu yang orang-orang bilang tentangku. Perbendaharaanku soal harapan sudah kosong. Aku berada dalam status quo psikis yang tidak membiarkanku ke mana-mana. Ditawan dalam pikiran sendiri, sementara harapan duduk santai di luar sel tawanan yang pintunya sebenarnya tidak pernah dikunci.
Selain itu, aku juga skeptis, mungkin sinis. Bagiku, tidak ada ajakan makan siang yang gratis. Selalu ada pamrih menumpang di keramahannya. Dunia politik jelas menggambarkan itu. Mulai dari politik pinggir sawah di kampung, sampai politik pinggir hotel berbintang di kota.
Suatu ketika salah satu episode Si Unyil muncul di kepalaku. Pak Raden kehilangan uang enam ratus tujuh puluh lima ribu lebih seratus rupiah yang ia simpan di dalam kendi. Dikiranya tidak bisa dicuri, baru beberapa menit saja kendi itu sudah digondol maling botak. Semua memperingatkan Pak Raden agar menabung di bank saja. Setelah kejadian itu, Pak Raden menyerah, ia menabung di bank. Namun, bukan Pak Raden namanya kalau tidak ekstrim. Tiap malam dia menginap di pos satpam bank, takut uangnya dicuri lagi.
Mungkin sekarang adalah waktu yang tepat untuk menjadi Pak Raden. Insekuritas kita soal uang akan makin menyala-nyala saat membaca berita soal milyaran uang nasabah di bank non-swasta yang notabene sangat aman itu bisa raib begitu saja. Memang kita tak mungkin lagi menginap di pos satpam. Lebih aman kalau kita menginap di bawah meja back office bank tersebut. Mengawasi uang kita 24 jam. Di mana hartamu berada, di situ hatimu berada, dan badanmu juga. Sampai harus nginap segala.
Hah, membaca tulisan di ponsel itu menjengkelkan. Terutama jika dilakukan sambil berbaring di lantai, tangan kirimu memegang ponsel. Sementara matamu terpaku pada layar ponsel, tangan kananmu mencoba menggapai bantal di atas kasur. Tapi tanganmu malah memegang betis seseorang. Dan seingatmu kau cuma sendirian di kamar.
Basa-basi di Bab 4 cukuplah. Sekarang kuharap kau tak mau lanjut ke Bab 5. Di sana cuma ada lebih banyak lagu jadul dan judul buku usang di rak perpustakaan paling jarang dikunjungi.
Jika tulisan ini membuatku terdengar seperti manusia yang buruk, mungkin itu memang kenyataannya. Tapi, pagi nanti aku akan jadi lebih baik lagi. Amin. Finger crossed.
*aku yakin kau tidak mematuhi peraturan di atas, dan tetap membaca tulisan ini meski malam belum tiba
KAMU SEDANG MEMBACA
BELUM SANGGUP MENASKAHIMU
Fiksi UmumEveryone need writer's Glock. Sebuah pelarian seribu kata dari writer's block. Harus absurd seperti halnya bapak-bapak pensiunan pegawai negeri yang ngupas nangka, bawa mini compo, bawa meja setrika, ngopi sambil dasteran di pos ronda jam 4 subuh. L...