28. Penabrak Itu

795 91 6
                                    


Pintu lift terbuka. Brillian melangkah keluar. Jantungnya masih sama. Berdegub kencang tidak karuan. Cowok itu mendesis, merasa kesal sendiri. Brillian tidak paham kenapa hal ini terjadi padanya. Apa yang tubuhnya mau sebenarnya?

Entah mengapa, entah apa yang membuat Brillian sedikit nyaman dengan Alex. Sekretarisnya itu kadang menggemaskan. Kadang menyebalkan. Brillian tidak menampik wajahnya memang sangat feminim. Tapi, Brillian rasanya terapi ini mulai berjalan baik. Brillian bahkan mulai merasa nyaman dengan eksistensi Alex.

Tapi, kenapa rasa nyaman ini ... agak berlaju ke arah yang berbeda?

Brillian menggelengkan kepala. Membayangkan satu kemungkinam membuatnya bergidik ngeri. Memilih melupakannya adalah hal paling baik. Brillian memang harus membiasakan diri berada di sekitar Alex. Demi mengurangi rasa jijiknya terhadap perempuan. Walau sebenarnya, selama bertemu dengan petempuan, Brillian masih tidak hisa mengendalikan rasa jijiknya.

Cuma Alex yang benar-benar membuat Brillian nyaman sebagai sosok cewek  walau sebenarnya ia cowok.

"Hoy, Bri."

Brillian menoleh. Dilantai bawah, ia mendapati Darren di sana, berjalan ke arahnya sambil memutar-mutar kunci motornya. Brillian menggelombangkan dahi. Merasa agak tumben cowok ini ke apartemennya. Apalagi di waktu lebih dari pukul 21.00.

"Ngapain lo malem-malem ke sini?"

"Nganterin Alex-lah. Dia gak bilang kalau dia korban tabrak lari."

Brillian tergugu. "Bukannya penabraknya tanggung jawab?"

Darren terdiam sebentar. Terperangah mendengar penuturan Brillian. Alex pasti menyembunyikan yang sebenarnya dari cowok ini. Sialnya Darren main ceplos saja.

Tidak segera mendapat jawaban, Brillian mengulang pertanyaan, "Darren, penabraknya tanggung jawab atau enggak?"

"Enggak. Alex korban tabrak lari." Darren menjeda sejenak, mengingat-ingat kejadian beberapa saat lalu dan mengendikkan bahu, ia melanjutkan, "Kayaknya ... emang yang nabrak udah ngerencanain dari awal. Gue gak sengaja liat Alex di pinggir jalan. Waktu mau gue kasih tebengan, gue udah liat satu cowok yang ngawasin Alex terus. Dan ... yah, gitu, Alex diserempet."

"Agak syok dia tadi di rumah sakit. Lukanya agak parah. Gue pi–"

Darren menghentikan ucapannya menyadari Brillian sudah tidak ada. Kepalanya menoleh, cowok itu sudah masuk kembali dalam lift. Darren menatap jejak-jejak kepergian Brillian dengan pandangan nanar. Sedikit merasa aneh. Tidak seperti biasanya Brillian mengkhawatirkann karyawan kantornya. Bahkan Darren dan Geo yang pernah terluka tidak dipedulikan sebegitunya.

Sementara itu, Brillian kembali ke apartemennya. Menaiki tangga, mendobrak pintu kamar Alex. Cowok yang tengah duduk, berusaha melepas sepatunya itu mendongak. Menatap ke arah Brillian dengan sorot bertanya. Brillian menatapnya dingin. Melangkah menghampiri. Dia berdiri semeter di depan Alex.

"Bapak kenapa?" tanya Aleesha, mengedipkan kelopak matanya sekali. Hening. Brillian masih tidak membuka suara. Maniknya tidak bisa beralih dari luka di lutut dan siku Aleesha. Aleesha memanggil ragu, "Pak, Bapak gak apa-apa?"

"Kenapa kamu bohong sama saya?"

Aleesha terhenyak.

"Kamu bilang penabraknya tanggung jawab. Saya ketemu Darren di bawah. Dia bialng penabrak itu udah ngerencain sejak awal. Apa kamu tahu itu?"

Tercenung, Aleesha menggeleng pelan, membalas, "Kalau yang bagian akhir saya gak tahu, Pak."

"Jadi, bener kamu bohong kalau penabrak itu tanggung jawab?" Brillian mendesis. Aleesha menggigit bibir bawah, lantas mengangguk tanpa bersitatap dengan sang bos. Terdengar dengusan kasar dadi lawan bicara. Aleesha makin tidak berani mengangkat pandangan.

"Kenapa kamu pake nyembunyiin ini dari saya segala, sih? Kamu mau dipandangan kelihatan tegar, kuat, atau apalah itu?" Brillian ngegas. Mulai ada sindiran dan nada sinis dalam kalimatnya. Seperti biasanya.

"Enggak gitu, Pak. Ya, kali." Aleesha memberengut. "Saya cuma gak mau memperpanjang permasalahan, udah itu aja"

"Saya bos kamu, berani banget kamu bohongin saya, hm?"

"Saya minta maaf."

Mendengar nada suara Aleesha makin melemah, seakan pasrah akan dicincang  atau dijadikan tumbal, Brillian kembali dibuat lemah. Cowok memasukkan kedua tangannya dalam saku. Ia menatap Aleesha saksama.

"Angkat kepala kamu," ujar Brillian. Menurut, Aleesha melakukan yang diperintahkan. "Kamu inget sesuatu tentang orang yang nabrak kamu?"

"Pak, saya rasa kita gak perlu repot-repot memperpanjang masalah."

"Alex," Brillian memperingati, "dia ngawasin kamu sejak awal. Dia emang sengaja pengen nyelakain kamu. Mungkin ... ada orang yang gak suka sama kamu. Makanya kalau kamu inget sesuatu tentang penabrak itu, bilang sama saya."

Aleesha tergugu. Brillian menatapnya intens. Ini pertama kalinya ada yang sebegini pedulinya pada Aleesha selain oma dan papanya. Mamanya bahkan tega meninggalkannya hingga kini. Dan opanya tidak pernah mau berdamai dengannya.

Tapi, Brillian ... bukankah cowok itu terlalu awal untuk jadi seperhatian ini? Terlebih mereka hanya atasan dan bawahan.

Apa cuma Aleesha saya yang merasa Brillian memperlakukannta baik walau awalnya agak menyebalkan? Apa ini cuma perasaan kegeerannya saja?

"Plat motornya ... kayaknya saya agak inget." Aleesha berkata pelan.

***

"Alex gak berangkat?"

Geovan bertanya setelah beberapa saat lalu melewati meja Alex dan tidak menemukan siapa pun di sana. Cowok itu duduk di sofa. Jam istirahat. Geovan memilih nongki-nongki di ruangan Brillian. Berbeda, cowok yang memakai kacamata baca itu tampak sibuk. Mengabaikan keberadaan makhluk playboy itu.

"Lo butuh bantuan gue, gak, buat gantiin Alex sehari?" Geovan menawar. Brillian seketika mendelik ke arahnya. Dia menarik kacamata bacanya. Menaruhnya di sudut meja.

"Lo jangan kabur dari tanggung jawab lo dan ngesok mau gantiin posisi Alex."

"Dih, gue cuma nawarin. Kok kesannya lo su'udzon, sih, sama gue?"

Brillian tidak menjawab. Kembali membaca laporan di tangannya.

"Terus keadaan Alex gimana? Parah?"

"Hm. Lumayan. Buat jalan aja dia kelihatan kesusahan. Daripada ngerepotin di sini, mending dia libur dulu."

Geovan mengangguk paham.

Tiba-tiba pintu terbuka. Darren masuk seraya membawa file merah di tangan kanannya. Ia mengulurkan benda itu pada Brillian. Membuat atensi cowok itu seketika beralih. Brillian menatap Darren lama, melayangkan pandangan bertanya.

"Apaan?"

"Gue udah suruh Sigit buat nyari tahu plat motor yang nabrak Alex." Darren menjelaskan. Brillian menerima file itu, membukanya membaca memindai selama beberapa saat. Darren menarik kedua tangannya masuk dalam saku celananya.

"Surya?" Brillian bergumam. Geovan menegakkan punggung, mulai tertarik dengan kasus satu ini.

Darren mengangguk. "Gue heran kenapa si tua itu pengen nyelakain Alex. Dia punya urusan apa sama Alex coba?"

Brillian menutup file merah itu. Menyandarkan punggung, menyorot lurus. Ini pasti gara-hara masalah di toilet beberapa waktu lalu. Yah, harusnya Brillian bisa menebak sependendam apa Surya pada orang lain.

Tapi, Brillian agak tidak menyangka Surya akan sepicik itu. Seberani itu ia berurusan dengan Brillian Langitra. Pria tua itu benar-benar mencari masalah dengannya. Brillian tidak akan mengampuninya sedikit pun.

"Jadi, rencana lo abis ini apa?" tanya Geovan.

"Yang pasti si tua itu harus dikasih tahu. Bukan gitu caranya ngebunuh orang, kan?"

***

Hai! Gimana sama part ini? Semoga kalian masih betah saama Brillian dan Aleesha. Vote dan komentar dibutuhkan. Jangan lupa follow saya.

See ya!

GIRL IN SUIT (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang