BAB 4

16.3K 1.1K 6
                                    

"Sebaiknya Non Esya istirahat dulu. Nanti malam Non Esya akan melakukan serangkaian pemeriksaan yang dikatakan Dokter Fyasa tadi." Ucap Bi Kara.

Esya tau sebenarnya bahwa Bi Kara mengalihkan topik pembicaraan yang tadi dipancingnya.

"Hemmm, Baik Bi."

Bi Kara pun langsung menaikkan selimut yang dipakai Esya sampai sebatas dada bagian atas. Esya mulai menutup kedua matanya.

Bi Kara duduk di kursi samping kanan ranjang pesakitan milik Esya. Bi Kara dapat melihat dengan jelas wajah cantik, manis, juga anggun dari putri bungsu Andreaxa.

Setiap pahatan wajahnya nampak mirip dengan Nyonya Andria, bak pinang dibelah dua. Sayangnya, hal itu tertutupi oleh rambut panjang yang tak pernah diikat oleh Nonanya itu.

Ditambah sifatnya yang dingin dan cuek, menghilangkan kesan manis dari gadis yang nampak tertidur itu.

Mengingat pertanyaan Esya tadi membuat Bi Kara dilanda perasaan sedih, ia tak mungkin mengatakan keluarga yang dibutuhkan Nonanya -yang kini hilang ingatan tak ada yang peduli dengan keadaannya.

"Saya harap Non Esya selalu bahagia." Ucap Bi Kara sebelum lelap menjemputnya.

Esya yang memang tak tidur sedari tadi pun membuka matanya perlahan, mengintip dahulu keadaan sekitarnya.

Setelah merasa aman, dirinya pun dengan perlahan turun dari ranjang pesakitan itu. Dirinya berusaha tidak menimbulkan suara yang cukup keras untuk membangunkan Bi Kara yang terlelap.

Esya hampir saja terjatuh karena limbung, untungnya ia dengan sigap berpegangan pada pinggir ranjang pesakitannya.

Dibawa tiang infusnya, lalu ia melangkah keluar ruangan. Esya sangat tidak menyukai hal-hal yang berhubungan dengan rumah sakit.

Kini langkahnya terhenti tepat di pinggir taman rumah sakit. Esya pun melangkah menuju ke salah satu bangku yang tersedia, bangku itu berada dibawah pohon besar.

Ia pun mendudukkan dirinya di bangku sebelah kiri dan mengosongkan space kanannya. Mulai berpikir tentang kehidupannya sekarang ini.

"Huuuh. Setelah pulang nanti biasanya ada sesi 'per-Bad Attitude Control Of Tongue-an' kalau di novel-novel transmigrasi yang aku baca." Gumam Esya menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku.

"Apa aku eh sekarang ganti lo-gue, kan biasanya gitu. Tapi, kan aku hilang ingatan. Tapi aneh gak sih? Eh aku berubah sikap dari dingin, datar, cuek, ke diri aku yang gak biasa gitu, juga bukannya termasuk aneh?"

"Apa aku ngehindar dari para tokoh inti novel, tapi kan aku juga termasuk. Mana ada dua tokoh yang satu atap ma aku. Aku juga kan mau sahabatan ma si Felencia yang kayanya satu frekuensi ma aku."

"Eh, Felencia aja pakai lo-gue. Jadi aku eh maksudnya gue bakal pakai lo-gue ajalah mulai sekarang."

"Untuk perubahan pertama nanti gue bakal potong rambut jadi Esya banget deh hehehehe. Terus gue bakal beli banyak buku novel buat bacaan. Eh, tapi kan di mansion Andreaxa pas itu dijelasin ada perpustakaan ya. Bisa deh cari novel juga di sana."

"Kalau gitu gue nanti tanya ma Bi Kara uang bulanan gue berapa ya kira-kira? Seingat gue, Nafesya tuh jarang banget pakek uang bulanannya. Heheh, siapa tau masih banyak uangnya di atm kekeke. Lumayan lah ya buat beli novel."

"Apa lagi, ya? Oh, gue belum tanya sekarang tuh tanggal berapa dan tahun berapa biar gue bisa nyesuainnya. Moga aja belum masuk SMA, jadi gue bisa deh temenan ma Felencia."

Ucapan cerewet itu terus mengalir dari mulut Esya dengan lancarnya. Kalau kita sudah tau tentang Nafesya terus bagaimana dengan Renesya?

Renesya, malaikat kecil yang dititipkan tuhan pada keluarga kecil namun harmonis. Sampai duka menyelimuti keluarga itu saat kedatangan Renesya, sang Ibu meninggal.

Dery, abang Renesya lah yang merawat Renesya sampai umur 5 tahun. Di umurnya yang ke 7 tahun, Dery akhirnya membenci sang adik.

Alasannya karena dirinya mendengar teriakan juga melihat pukulan sang ayah pertama kali yang ditujukan pada Renesya.

Saat itu dirinya mulai berfikir bahwa Renesya adalah penyebab ibunya tiada. Ia pun mulai menjauhi Renesya.

Akhirnya, Renesya pun kesepian. Hampir sama dengan Nafesya, sayangnya Renesya lebih memilih memakai topeng senyuman.

Ia akan tersenyum manis meski orang yang dihadapinya menoreh luka dalam di hatinya. Tak ada yang mau berteman dengan 'anak pembawa sial'.

Renesya, gadis dengan sifat kelewat ceria sampai dikira aneh juga cerewet tingkat dewa. Ia cerewet untuk mengisi kesunyian yang mengisi 90% hidupnya.

Sampai pada umur 10 tahun ia bertemu buku dongeng juga novel anak kecil, yang kini menjadi sahabat sejatinya.

Tanpa disadari bahwasannya sang abang, Dery juga memiliki hobi yang sama dengan Renesya yakni membaca novel.

Itulah kenapa saat Renesya bilang tentang 'Nafesya' sang abang bisa langsung ter-conect.

Renesya ini berbakat, ia pintar dalam akademik namun lemah dalam banyak pelajaran non-akademik terutama olahraga.

Hanya satu yang ia suka jika non-akademik, yakni bela diri. Ia sudah bisa menguasai semua jenis bela diri seperti karate, taekwondo, silat, dan lain sebagainya.

Untuk akademik, ia pernah ikut lomba debat. Para lawan debatnya pun pasti akan trauma dengan Renesya. Kenapa?

Karena, Renesya menanyakan berbagai hal tak masuk akal untuk dijawab pihak lawan. Renesya bahkan bisa menyindir dengan senyuman manis yang terukir di wajahnya.

Namun tetap saja, Renesya hanya gadis 15 tahun yang masih butuh kasih sayang keluarga yang tak pernah didapatkannya sejak 10 tahun lalu. Oke, cukup di sini saja pembahasan tentang Renesya.

Setelah lelah berbicara sendiri, suasana di sekitarnya pun menjadi hening. Angin sejuk menerpa dirinya yang duduk dibawah pohon rindang.

Suasananya sungguh membuat Esya diserang rasa kantuk. Esya pun memilih menyandarkan tubuhnya pada sandaran bangku. Kedua mata hazel itu pun mulai menutup untuk mengarungi mimpi.

Semenit berlalu, tiba-tiba kepala Esya mulai bergeser ke arah kanan dimana bisa dipastikan kepala itu akan jatuh dan membentur bangku.

Namun, hal itu tak terjadi saat sepasang tangan menjadi pemisah antara kepala Esya dan bangku.

Dengan pelan sepasang tangan-seorang lelaki  itu membenarkan kepala Esya. Lelaki tersebut pun memilih mendudukkan dirinya di space kosong sebelah Esya.

Ia pun menuntun kepala Esya ke arah bahu kirinya. Setelah dirasanya aman, dirinya pun melepaskan tangannya dari kepala Esya dengan pelan.

Dilihatnya wajah tenang Esya yang sedang tertidur lelap. Diliriknya kantong infus yang masih cukup banyak itu.

Lelaki itu pun memejamkan matanya, senyum tipis terukir di bibir sang lelaki. Entah apa yang membuatnya tersenyum.

Gue harap kita bisa ketemu lagi cewek aneh.

Ternyata tanpa disadari Esya, sedari tadi terdapat orang lain di taman tersebut yang tentunya dapat memdengar jelas semua perkataan Esya.

Meski suaranya terdengar lirih, namun di tengah taman yang sepi nan sunyi ini tentu perkataannya masih didengar jelas oleh lelaki tersebut.

Bakal gue inget nama lo, Esya.

TBC.

~♡~♡~♡~♡~♡~♡~♡~

Note :
Hailo! Ini dia Bab 4 yang Sya janjiin up malam ini. Nah, untuk up selanjutnya di mohon untuk menunggu ya! Tenang aja pasti seminggu sekali Sya bakal up, bahkan mungkin gak sampe seminggu.

Bagaimana menurut kalian Bab 4 ini? Sya harap readers suka heheh...

Maaf buat typo juga kesalahan lainnya yang enggak sengaja Sya lakuin ya....

Jangan lupa buat selalu tinggalin jejak kalian ya! Walau cuman vote Sya udah seneng banget, apalagi komen, pasti Sya usahin buat bales komenannya hehe

❤❤Buat yang udah baca and ninggalin jejaknya juga! See u!

Esya {end}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang