"Serius, apa yang kau lakukan di sini?"
"Apa aku tidak boleh menemui kekasihku sendiri?"
Kedua tanganku makin erat memeluk badan gelas. Hangatnya sudah berkurang dan mungkin aku sudah bisa minum sekarang. Namun, di samping senang sekaligus bingung melihat Alby ada di sini, aku juga kehilangan nafsu meminum Eggnog Latte ini. Sejak tadi pagi aku mengira kalau menerima pesan darinya saja akan membuatku bahagia, tetapi setelah melihatnya datang tanpa ada beban sedikit pun, aku tidak bisa merasa lega. Kesal yang ada.
Ada apa dengan diriku? Kenapa membingungkan sekali?
"Ini untukmu." Dia mendorong piring berisi dua Croissant tadi hingga membentur badan gelas yang tidak tertutup tanganku.
Aku menghargai perhatiannya, tetapi aku tidak bisa menerimanya ketika dia tidak memesan apa pun untuk dirinya sendiri.
"Aku tidak lapar." Piring itu kudorong kembali ke arahnya. "Kau pulang saja, Nate akan menjemputku. Kami pulang bersama."
Agar Eggnog-ku tidak terbuang sia-sia, aku menyesapnya sedikit-sedikit. Meski sudah bekerja, aku tetap harus berhemat mengingat ada target yang harus dicapai.
"Kau masih marah padaku soal kemarin?"
"Apakah wajar kalau aku tidak marah?" Aku memberinya tatapan malas. Apa dia tidak ingin berbasa-basi dulu? Atau sekadar bertanya bagaimana kabarku hari ini?
Ini benar-benar di luar ekspektasiku. Kukira perasaanku akan membaik setelah bertemu dengannya, tetapi ini justru membuat perasaanku makin memburuk. Kuharap Nate cepat datang menjemputku.
"Well, kau marah padaku. Tapi jujur saja, aku hanya terlalu terkejut ketika tuduhan itu dilayangkan kepadanya." Alby kembali mendorong piring Croissant-nya ke arahku dan sekarang menopang kepalanya untuk menatapku. "Kau ... sebaiknya tidak mencari tahu terlalu banyak. Kita tidak ada urusannya dengan itu. Biar jadi urusan mereka saja."
Aku hampir luluh dan rasa kesal itu mulai menguap ketika dia menyampirkan beberapa helai rambutku ke belakang telinga. Tangannya hangat ketika tanpa sengaja menyentuh daun telingaku. Sampai detik ini, aku tidak tahu kalau sudah merindukan sentuhannya. Ini bahkan belum dua puluh empat jam sejak kejadian semalam, tetapi aku sudah merasa seperti ini.
Aku menghela napas, memalingkan wajah dan kembali menatap ke luar jendela dan berpura-pura sibuk dengan menyesal Eggnog lagi. Dengan begitu, aku tidak lagi merasakan sentuhannya.
"Apa pun yang kulakukan, itu terserahku, 'kan? Aku sedang tidak ingin membicarakan tentang itu sekarang, Alby. Pikiranku sedang sangat kacau dan aku tidak menganggap itu masalah besar. Jadi, tolong, kalau kau menemuiku hanya untuk melontarkan pembelaan, sebaiknya pergi saja."
Kepalaku terjatuh di atas kedua telapak tangan. Harapanku, setelah kuangkat kepala, dia sudah tidak ada--walau aku tahu itu tidak mungkin terjadi. Alby terlalu sulit untuk disingkirkan. Dan keberadaanya di sini, dengan aroma parfumnya yang khas, mencemari aroma kopi yang sempat sudah berhasil membuat diriku sedikit merasa lebih nyaman. Sekarang aromanya tercium jauh lebih kuat ketika tangannya terkalung di leherku.
"Maaf, seharusnya aku bisa sedikit lebih peka, padahal aku sudah melihatmu tampak tidak baik-baik saja dari jendela, tetapi aku justru memedulikan hal lain. Mau kuantar pulang?"
"Apa kau tidak mendengar? Kubilang Nate akan menjemputku." Aku mengerang di ujung kalimat.
"Aku bisa menelepon Nate agar tidak menjemputmu."
"Tidak bisakah sekali saja tidak memakai kekuasaanmu sebagai atasan padanya untuk kepentingan pribadi? Aku tidak ingin pulang denganmu, sesederhana itu permintaanku, apa sulit untuk dikabulkan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart to Break [✔]
Romance[Song Series][Completed] Ava, seorang layouter majalah, tidak pernah sesial ini dalam hidupnya; kekasihnya setuju dijodohkan dengan wanita lain, dan dia juga harus kehilangan pekerjaan di saat yang bersamaan. Orang bilang, di balik kesialan, akan di...