Cerita ini sudah Bab 12 di Karyakarsa ya, link ada di bio.
Selamat Membaca
"Masa lalu akan mengajarkan kita untuk menyikapi suatu masalah. Bukan menambah masalah."
***
Pagi harinya Sinta terbangun dengan pelukan dari belakang yang begitu erat, siapa lagi kalau bukan Bima. Kepala Sinta menoleh, ia melihat wajah tenang Bima, setelah selesai memandangi wajah pria itu, tangan Sinta mencoba mengangkat tangan yang menghimpit perutnya. Sinta ingin bangun.
Tadi malam, setelah Sinta mengutarakan keinginannya Bima tidak memaksa Sinta lagi. Bima yang dewasa memilih untuk mengiyakan ucapan Sinta.
"Tapi kemarin aku nggak pakai pengaman, kalau Baby hamil biarkan saja ya. Aku yang akan jaga dia." Ucap Bima, Sinta yang masih sesenggukan hanya bisa mengangguk. Sinta tidak mau anaknya merasakan kejamnya dunia seperti dirinya.
"Boleh cerita?" Saat itu posisi tubuh Bima menjadi sandaran Sinta. Mata Sinta yang bengkak menatap wajah Bima, ia terdiam sejenak. Dalam pikiran Sinta, Bima masih orang luar dimana ia tidak elok membicarakan rahasianya.
"Kalau nggak mau yaudah. Nanti kita cerita yang lainnya saja."
Akhirnya pembicaraan malam itu hanya diisi dengan cerita Bima yang kehilangan Mamanya saat usia sembilan tahun dan dibesarkan oleh Yudi sampai ia menjadi sosok seperti ini.
Tubuh Sinta yang sudah terlepas dari himpitan Bima sontak terduduk di tepi ranjang netranya menatap wajah pria itu, wajah damai dengan aura tak terkalahkan. Kalau dilihat Bima adalah sosok pria yang sangat kejam dan bengis, tapi nyatanya ia begitu hangat saat memperlakukan Sinta.
"Kamu pria kuat yang aku pernah temui." Selesai mengucapkan itu Sinta berjalan menuju dapur, ia ingin membuatkan makanan untuk sarapan Bima.
Melihat semua bahan makanan yang ada di dalam almari pendingin membuat Sinta tahu bahwa Bima sangat menjaga pola makannya. Bahkan bahan makanan yang ada juga kebanyakan jenis protein.
Sinta teringat masakan ringan yang cocok untuk menu sarapan, ia mengeluarkan dada ayam untuk dibuatnya steak dengan saus. Masalah karbohidrat ia akan menanak nasi merah.
Aroma harum khas masakan menguar ke seluruh penjuru ruangan, Bima yang terbangun dan ingin melangkah ke dapur juga mencium aroma itu.
"Kamu masak apa Baby?" Sapa Bima dengan memeluk tubuh kecil Sinta. Sinta yang tengah asyik memanggang steak mencoba melepaskan pelukan. "Aku lagi masak. Nggak usah deket-deket."
"Masa?"
"Udah tua nggak tahu diri." Gerutu Sinta dengan tangan yang sibuk membalikkan daging.
Sudut bibir Bima terangkat membentuk senyuman, "Tua gini juga buat kamu klimaks." Godanya kembali, Sinta yang mendengar ucapan tak senonok itu membuat kedua pipinya memerah. Meskipun dirinya saat itu ketakutan tetapi ia masih ingat akan rasa sesuatu hal yang belum pernah ia rasakan. Rasa yang membuat dirinya sakit dan bahagia secara bersamaan.
"Nggak usah diingat." Sambung Sinta, Bima memilih mengalah ia berjalan menuju pojok ruangan untuk membuat kopi yang akan mengisi paginya.
"Masalah pernikahan? Apa bisa kita percepat?" Ucap Bima sesaat ia menyeduh kopi, Sinta yang tengah menata makanan di atas meja sontak berhenti. Netranya menatap Bima, "Kan dua minggu lagi?"
Bukan itu, tapi ini jauh lebih penting.
"Aku rasa itu terlalu lama. Aku pikir nanti jauh lebih baik." Kenapa tiba-tiba?
"Jangan buat nikah jadi permainan!" Seru Sinta kepada Bima, ia sangat menjunjung tinggi pernikahan.
Bima mendekat, ia mengangguk. "Aku tidak membuat permainan Baby, aku jujur mengutarakan hal ini."
"Lantas maksud kamu apa?"
"Melihat kamu setiap hari seperti ini apa bisa aku menahan ini semua?" Ujarnya dengan menunjuk sisi bagian bawah tubuhnya, titik sensitif yang sangat mudah bangun itu. Bima akui dia sangat berengsek, tapi ia yakin akan pernikahan dengan Sinta karena ia menemukan rumah.
"Nikah bukan masalah itu." Tekan Sinta.
"Tapi itu ada di dalam pernikahan Baby, jangan munafik. Bahkan hukumnya akan berubah jika kita sudah siap dan ada calonnya." Kenapa dia tahu ajaran agama tapi luarannya nampak seperti preman bengis?
"Aku akan urus akad untuk pagi ini, kamu mandi setelah masak." Pungkas Bima sekenanya, ia tadi sudah menelpon Yudi untuk mencarikan ustadz dan dua orang saksi. Yang terpenting disini Bima ingin memulainya dengan cara baik meskipun kemarin ia melakukannya dengan cara salah.
"Tapi... "
"Tutup keraguanmu Baby, ada aku disini."
Setelah pembicaraan itu, Sinta memilih untuk membersihkan tubuh diikuti Bima.
"Aku mau tanya satu hal sama kamu." Ujar Sinta saat ia tengah mengeringkan rambut, sedangkan Bima tengah duduk di tepi ranjang dengan tangannya memainkan ponsel. Pemandangan yang wajar jika mereka suami istri.
Kepala Bima mendongak, netranya bertemu dengan pantulan netra milik Sinta. "Apa?"
"Kenapa kamu panggil aku Baby? Aku punya nama." Meskipun agak geli dengan panggilan itu tapi Sinta mulai terbiasa. "Baby adalah panggilan sayang aku sama kamu." Jelas Bima sekenanya.
Tapi semua itu ditolak oleh otak kecil Sinta. Mana ada rasa sayang jika mereka baru bertemu kemarin. "Pembohong."
"Aku nggak bohong bahkan aku serius akan hal itu."
"Kita baru bertemu kemarin, mana ada kata sayang." Logis, tapi itu semua membuat Bima menatap tajam ke arah Sinta. "Kita sudah bertemu lima tahun lalu, bahkan aku sering lihat kamu."
Memutar tubuhnya Sinta melangkah ke arah Bima, "Nggak usah berbohong, aku tidak suka."
Bima tertawa terbahak-bahak akan wajah Sinta yang tak terima akan penjelasannya. "Aku nggak bohong, bahkan aku bisa bersumpah akan hal itu. Em... mungkin kalau aku kasih cerita ini kamu pasti ingat. Kamu pernah keluar dari sekolah SMP Nusa Dua dengan wajah sembab, aku pikir saat itu kamu hanya berantem. Tapi nyatanya kamu memilih untuk keluar dari sekolah itu."
Sinta tertegun dengan cerita Bima, apa Bima adalah orang dari masa lalunya?
"Aku adalah orang dari masa lalu kamu Sinta, tapi kamu pasti tidak akan ingat."
Otak Sinta mengingat akan sosok Bima tapi nihil ia tak mengingatnya.
"Kalau masalah kemarin yang kita berhubungan badan itu aku memang dipengaruhi alkohol, tapi untuk masa lalu jelas aku sadar. Aku adalah orang masa lalu kamu, orang yang kamu tolong saat aku merintih kelaparan."
Kepala Sinta menggeleng, ia mengingat hal itu tapi logikanya tidak. Karena sosok yang ia temui sekarang adalah sosok orang yang terbilang mampu. "Kenapa bisa? Kamu orang berada?"
"Karena aku mau, aku ingin aja dekat sama kamu dengan jalan itu."
"Pembohong ulung, dasar."
Tubuh Sinta yang akan berbalik menjauhi Bima, sontak Bima tahan dengan menarik tangan Sinta. "Lepas!"
"Aku tahu masa lalu kamu, tapi aku tahu batasan makanya aku diam. Jadi aku mohon jadilah istri aku, maka aku akan memberikan dunia untuk kamu Baby."
Ada keraguan disana, tapi Sinta memilih diam. "Meskipun tak banyak yang aku ketahui tapi aku sadar kamu memiliki luka masa lalu yang kelam."
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengutuk Waktu ✔ (Tamat Karyakarsa-KBM)
General FictionKetika hadirmu tak dihargai orang. Dan waktu seolah berpihak ke orang lain.