Wasiat Cinta
*
*
Bab VIII
*. *
Mencoba memahami Mas Ali
*
*
Pagi telah tiba, aku baru saja selesai mengantarkan Mas Ali berengkat kekantor sampai depan rumah.
Setelah sarapan tentunya yang aku masak dari jam 5 pagi, katanya Mas Ali ingin sarapan dengan sop buntut, karena aku tidak tau cara memasaknya, aku pun meminta Bi Inem untuk mengajariku membuat menu itu.
"Udah beres, Bi?" Tanyaku pada Bi Inem yang kini sedang membereskan cucian piring kedalam rak.
"Sudah, Neng. Setelah ini Neng mau Bibi bantuin apa? Mumpung masih bisa nyantai Bibi-nya" ujar Bi Inem membuatku terdiam sejenak.
Karena urusan beres-beres seluruh ruangan dirumah besar ini dibagi ke beberapa orang pelayan yang memang memiliki tugas masing-masing, akupun berinisatif mengajak Bi Inem mengobrol santai di taman belakang rumah.
"Gimana kalo kita ke taman belakang aja? Ngopi sambil nyantai sebentar?" Tanyaku, lebih ke ngajak sih.
"Atuh gak enak Neng, masa majikan sama pembantu nyantai bareng. Bibi lanjut beres-beres yang lain aja ah" tolak Bi Inem halus.
"Oh tidak bisa! Ayok ikut, setelah itu kita lanjut bikin kue kering. Kayaknya aku pengen kue kering deh" ajakku paksa sambil membawa Bi Inem, sebelum itu aku meminta Ratih, salah satu pelayan yang lainnya untuk menyiapkan camilan untukku dan Bi Inem.
Bi Inem terkekeh pelan sambil mengusap lenganku yang memegangnya membawa pergi.
"Ada-ada aja si Neng mah. Lagi ngidam nih? Pengen kue kering segala" ujar Bi Inem dengan raut wajah senang.Ekspresi wajah senangku buyar sebentar setelah mendengar ucapan Bi Inem.
Boro-boro ngidam! Silaturahmi badan aja belom Bi! - Batinku menjerit.
"Ah, Bibi nih yang ada-ada aja. Orang kepengen sesuatu bukan berarti ngidam juga kali" sanggahku bercanda, membuat Bi Inem tertawa.
Kini kami sudah duduk bersebelahan di salah satu kursi santai di taman belakang dengan dua cangkir teh hangat dan dua kaleng keripik dan kacang goreng.
Aku menyesap cangkir tehku, lalu menatap Bi Inem sebentar.
Dengan ragu aku bertanya, "Mmm, Bibi udah berapa lama kerja disini? Kata Mas Ali, Bibi pelayan paling setia disini" ujarku.
Semoga gelagatku tidak disadari oleh Bi Inem, anggap saja aku sedang ingin mengetahui sesuatu tentang Mas Ali.
"Mungkin sekitar dua puluh tahunan lebih? Bibi lupa kalo harus di ingat-ingat. Yang Bibi ingat, Bibi pertama kerja di keluarga ini dari Den Ali usianya tujuh tahun. Waktu itu Den Alsyad dan Den Ali masih keci-kecil banget, bahkan Non Alana belum lahir waktu itu." Jawab Bi Inem sambil menerawang kembali masa-masa beliau bekerja di keluarga Mas Ali.
Aku mengangguk, "Oohhh, lama banget ya? Pantes aja kata Mas Ali, Bibi udah di anggap keluarga disini." Ujarku tersenyum tulus menatap Bi Inem.
Bi Inem tersenyum, juga menatapku tulus. Tiba-tiba dia meraih tanganku dan mengelusnya lembut.
"Bibi tau sekali sifat Den Alsyad, Den Ali dan Non Alana. Mereka sudah Bibi anggap anak sendiri, sejak kehilangan anak dan suami Bibi, arti mereka dihidup Bibi semakin bertambah. Mereka yang membuat Bibi kuat hingga sekarang. Keluarga Tuan Bima sudah banyak menolong Bibi, jadi sudah sepatutnya Bibi mengabdi kepada mereka" ujar Bi Inem dengan wajah sedikit sendu, membuat hatiku tersentuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wasiat Cinta
RomanceWARNING (21+) Ini cerita dari Kinanti Azhira, gadis cantik dari kampung bisayang harus rela dinikahkan di usianya yang baru minginjak angka 20. Memiliki orang tua yang sudah tua dan semua kakaknya sudah berkeluarga, Mama Sarni dan Bapak Adi mengin...